Usulan perpanjangan masa jabatan kepala daerah (kada), khususnya yang masa baktinya habis pada 2022 dan 2023, dinilai layak dipertimbangan, setidaknya sampai gelaran Pilkada 2024 usai.
Tapi, hal ini jangan digoreng, dijadikan inspirasi untuk memperpanjang masa jabatan presiden. Hal ini disampaikan Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, disinggung soal banyaknya kepala daerah definitif yang segera habis masa jabatannya. Mereka akan digantikan oleh penjabat (Pj) yang ditunjuk oleh Kemendagri atau pun Presiden.
Menurutnya, sekurangnya akan ada 101 kepala daerah definitif yang akan habis masa jabatannya tahun ini. Sementara tahun depan, akan ada 171 kepala daerah yang habis masa jabatannya.
“Kekosongan posisi kepala daerah selama 2022 dan 2023 adalah konsekuensi digelarnya Pilkada serentak 2024,” jelasnya.
Kekosongan jabatan ini, sebut Titi, biasanya diisi Pelaksana Tugas (Plt) atau Penjabat Sementara (Pjs), karena sifatnya berhalangan sementara atau karena sedang cuti kampanye. Tapi untuk saat ini, terkait Pilkada serentak 2024, ada situasi yang tidak lazim, dimana akan ada pengangkatan caretaker kepala daerah dari ASN, dengan waktu masa jabatan yang cukup lama, yang disebut Pj.
Peraih gelar Magister Hukum Universitas Indonesia (UI) ini menilai, adaya Pj kepala daerah bisa dibilang mencederai semangat demokrasi. Pasalnya, rakyat yang dipimpin Pj tidak mengenal pemimpinnya. Pemimpinnya itu pun bukan pilihan rakyatnya, melainkan dipilih oleh segelintir elite.
“Kalau semuanya ditentukan secara elitis, sempit. Hanya melibatkan satu atau dua orang itu sudah tentu tidak demokratis. Lagi pula, kalau sampai tiga tahun, itu bukan sementara namanya. Tapi menjadi kepala daerah tanpa perlu berkeringat ikut pilkada,” tegasnya.
Sebab itu Titi menilai, usul perpanjangan masa jabatan kepala daerah, khususnya yang masa baktinya habis pada 2022 dan 2023, layak dipertimbangan. Pasalnya, petahana, baik yang masih bisa mencalonkan kembali maupun tidak, adalah pilihan masyarakat.
“Usul ini bisa jadi pilihan. Tapi, jangan digoreng atau pun dijadikan inspirasi untuk memperpanjang masa jabatan presiden. Karena kita kan suka menghubung-hubungkan,” jelasnya.
Sekalipun begitu, lanjut Titi, untuk bisa mewujudkan hal ini, dibutuhkan perubahan terbatas dalam UU Pilkada. Kalaupun amandemen terbatas tidak bisa dilakukan, harapan lainnya adalah pada putusan Mahkamah Konstitusi. “Nah kita tunggu. Yang bisa mengubah norma dalam UU, yakni MK. Kita tunggu proses pengujiannya, apakah ada desain yang berbeda atau tidak,” tandasnya.
Sementara Guru Besar Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan menyampaikan, berdasarkan Permendagri No. 1 Tahun 2018 Tentang Cuti Di Luar Tanggungan Negara, pengangkatan Pj dari ASN memang bisa dilakukan, bila terjadi kekosongan kepala daerah. Tapi, pengangkatan itu hanya berlaku bila kepala daerah cuti di luar tanggungan negara, misalnya mengikuti kampanye.
“Sementara kini ada fenomena ketiadaan pilkada di 2022 dan 2023,” jelasnya.
Kekosongan pilkada ini, menurut Djohermansyah, mengindikasikan bahwa Permendagri No. 1 Tahun 2018 sebetulnya sudah tak lagi relevan dan memadai. Apalagi, masa jabatan kepala daerah karena keperluan Pilkada 2024, juga akan cukup panjang dibanding sebelumnya.
Diketahui, sebanyak enam pemohon dari berbagai latar domisili berbeda mengajukan gugatan atau uji materi kepada Mahkamah Konstitusi (MK), atas UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan Pemerintah pengganti UU, Nomor 1 tahun 2014, tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi UU Pilkada.
Dalam salah satu petitumnya, mereka meminta agar masa jabatan kepala daerah yang habis di 2022 dan 2023 dapat diperpanjang. [SSL]
Tinggalkan Balasan