Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelusuri aliran uang korupsi proyek infrastruktur di Kabupaten Buru Selatan 2011-2016, dan aset yang dimiliki mantan Bupati Tagop Sudarsono Soulisa.
Hal ini didalami penyidik komisi antirasuah saat memeriksa lima anggota DPRD Buru Selatan dan seorang Babinsa, di Mako Satbrimob Polda Maluku, Jumat (18/3).
“Para saksi hadir dan dikonfirmasi antara lain terkait dugaan aliran uang dan kepemilikan berbagai aset dari tersangka TSS (Tagop Sudarsono Soulisa),” ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri lewat pesan singkat, Senin (21/3).
Kelima anggota DPRD itu adalah Ahmad Umasangadhi (Fraksi PDIP), Ismail Loilatu (Fraksi Demokrat), Herlin F Seleky (Fraksi Demokrat), Moeksen Solisa (Fraksi Gerindra), dan Vence Titawael (Fraksi Golkar).
Sementara anggota TNI yang diperiksa adalah Babinsa Desa Mageswaen Ramil 1506-02/Leksula Dim 1506/Namlea Rem 151/Bny Dam XVI/Ptm Koptu Husin Mamang.
“Selain itu dikonfirmasi juga mengenai dugaan adanya penarikan sejumlah uang dari para ASN Pemkab Buru Selatan oleh tersangka TSS tanpa adanya kejelasan dasar aturan,” tambah jubir berlatarbelakang jaksa itu.
Sementara itu, tiga anggota DPRD, yakni Orpa A Seleky (Fraksi PDIP), Ahmadan Loilatu (Fraksi PAN), dan Abdul Gani Rahawarin (Fraksi NasDem), tidak memenuhi panggilan KPK. Begitu juga dengan Wakil Ketua DPRD asal Fraksi PAN, yakni La Hamidi. “Para saksi tidak hadir dan tim penyidik akan kembali melakukan penjadwalan pemanggilan ulang,” tandas Ali.
KPK menetapkan tiga tersangka kasus dugaan suap, gratifikasi, dan TPPU terkait pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Buru Selatan tahun 2011-2016.
Sebagai penerima suap, yaitu Tagop Sudarsono Soulisa dan Johny Rynhard Kasman dari pihak swasta. Sedangkan sebagai pemberi suap, yakni Ivana Kwelju dari pihak swasta.
Tagop, yang saat itu menjabat Bupati Buru Selatan periode 2011-2016 dan 2016-2021, diduga telah memberikan atensi lebih untuk berbagai proyek pada Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Buru Selatan sejak awal menjabat.
Atensi dan intervensi Tagop tersebut antara lain mengundang secara khusus kepala dinas dan kepala bidang Bina Marga untuk mengetahui daftar serta nilai anggaran paket setiap pekerjaan proyek.
Kemudian, Tagop juga merekomendasikan dan menentukan secara sepihak terkait rekanan mana saja yang bisa dimenangkan untuk mengerjakan proyek, baik melalui proses lelang maupun penunjukan langsung.
KPK menduga dalam menentukan rekanan tersebut, Tagop meminta sejumlah uang sebagai bentuk fee bernilai 7-10 persen dari nilai kontrak pekerjaan.
Khusus untuk proyek yang bersumber dari dana alokasi khusus (DAK), besaran fee-nya antara 7-10 persen ditambah 8 persen dari nilai kontrak pekerjaan.
Proyek-proyek tersebut adalah pembangunan jalan dalam kota Namrole tahun 2015 dengan nilai proyek sebesar Rp 3,1 miliar, peningkatan jalan dalam kota Namrole (hotmix) dengan nilai proyek Rp14,2 miliar, peningkatan jalan ruas Wamsisi-Sp Namrole Modan Mohe (hotmix) dengan nilai proyek Rp 14,2 miliar serta peningkatan jalan ruas Waemulang-Biloro dengan nilai proyek Rp 21,4 miliar.
Atas penerimaan sejumlah fee tersebut, Togop diduga menggunakan orang kepercayaannya, Johny, untuk menerima sejumlah uang dengan menggunakan rekening bank milik Johny. Selanjutnya, uang itu kemudian ditransfer ke rekening bank milik Tagop.
KPK menduga sebagian dari nilai fee yang diterima oleh Tagop sekitar Rp 10 miliar diberikan oleh Ivana, karena telah dipilih untuk mengerjakan salah satu proyek pekerjaan yang anggarannya bersumber dari dana DAK Tahun 2015. [OKT/RM.ID]
Tinggalkan Balasan