Pandemi memberikan banyak pelajaran bagi sektor kesehatan. Terutama, untuk memperbaiki penanganan penyakit menular. Salah satunya, Tuberculosis (TBC).
TBC merupakan penyakit menular yang tak kalah bahaya dari Covid-19. Tapi karena bukan pandemi, maka penanganannya tidak semasif Covid-19. Pemerintah pun berencana akan menanggulangi TBC dengan strategi penanganan Covid-19.
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menjelaskan, strategi penanganan Covid-19 dengan menjalankan testing (pemeriksaan), tracing (pelacakan) dan treatment (perawatan) bisa diterapkan dalam menangani TBC.
“TBC dan Covid tidak jauh berbeda dalam pengaplikasiannya. Maka, tracing hingga testing seperti yang telah digunakan untuk deteksi Covid-19, bisa digunakan juga untuk TBC,” ujar Budi saat kunjungan kerja di Yogyakarta, kemarin.
Nantinya, testing TBC bisa menggunakan laboratorium pengujian Polymerase Chain Reaction (PCR) yang selama ini umum digunakan untuk deteksi Covid.
Prinsip kerja lab PCR, menurutnya, sama persis dengan lab Tes Cepat Molekuler (TCM) yang digunakan untuk mendeteksi TBC. “Jadi semua laboratorium PCR harusnya bisa buat nguji TBC,” imbuhnya.
Jika hasil tes positif, maka akan dilakukan tracing. Bisa dilakukan dengan door to door, mirip seperti yang dilakukan untuk penanganan Covid-19. Fasilitas pelayanan kesehatan bisa mengirim satu orang ke rumah untuk melakukan tes.
Selain TBC, strategi ini bisa digunakan dalam penanganan penyakit malaria hingga Human Immunodeficiency Virus (HIV).
“Paling kit test-nya aja yang beda-beda. Tapi bisa dengan cara itu. Maka nanti kita mau rapikan,” beber eks Direktur Utama Bank Mandiri ini.
Kemenkes juga akan mencoba mengintegrasikan aplikasi Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB) dengan sistem New All Record (NAR).
Untuk diketahui SITB merupakan sistem pencatatan dan pelaporan kasus TBC Sensitif, TBC Resistant Obat, Laboratorium dan Logistik dalam satu platform yang terintegrasi.
Sedangkan NAR merupakan sistem informasi berisi data-data terkait kasus Covid-19.
“Selama ini SITB beda dengan NAR, nah itu mau kita jadiin satu supaya bisa lebih mudah,” ucapnya.
Mantan Direktur Utama PT Inalum (Persero) ini mengakui, Pemerintah masih kesulitan mendeteksi jumlah riil penderita TBC di Indonesia.
World Health Organization (WHO) memperkirakan, ada 824 ribu orang di Indonesia yang terinfeksi TBC. Tapi, selama ini Pemerintah tak pernah bisa mendeteksi setinggi itu.
“Paling tinggi 500 ribu sampai 600 ribu orang kemudian turun lagi ke 300 ribu. Padahal orang-orang ini kalau tidak terdeteksi bisa menular ke banyak orang,” ungkap Budi.
Untuk urusan penyakit TBC, Global TB Report 2021 melaporkan Indonesia berada di posisi ketiga jumlah penderita terbanyak setelah India dan China.
Jumlah kasusnya mencapai 824 ribu dengan kematian 93 ribu setiap tahunnya. Masih dari data yang sama, ada sekitar 11 kematian akibat TBC dalam setiap jamnya di Indonesia.
Sebelumnya, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengingatkan, TBC jauh lebih mematikan daripada Covid-19.
“TB bisa membuat kematian melebihi kasus Covid ya. Pengobatan juga sempat terhenti akibat pandemi,” tutur Hasto.
Dari segi pengobatan, penyakit TBC juga tidak mudah. Jika penderita Covid-19 pada umumnya butuh waktu dua minggu, hal itu tidak berlaku untuk penderita TBC.
“TB harus minum obat 6 bulan. Tapi ada pandemi jadi banyak yang tidak kontrol, jadi putus minum obatnya,” bebernya. [JAR]
Tinggalkan Balasan