Meski banyak mendapat kritik, Singapura tetap melaksanakan hukuman mati dengan cara digantung terhadap seorang terpidana mati kasus narkoba, Rabu (30/3). Itu merupakan eksekusi pertama di negara tersebut dalam dua tahun terakhir.
Singapura memiliki Undang-Undang (UU) anti narkoba yang keras. Namun, pelaksanaan eksekusi mati yang terdapat dalam UU itu sempat tertunda, karena pandemi Covid-19. Negeri Singa terakhir melaksanakan hukuman mati pada November 2019.
Abdul Kahar Othman jadi terpidana mati dengan digantung. Menyikapi hal ini, aktivis anti hukuman mati, Kirsten Han mengatakan, eksekusi tetap dilakukan meski ada penentangan dari aktivis Hak Asasi Manusia (HAM). Termasuk permintaan dari kantor HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengubah hukuman Kahar menjadi penjara seumur hidup.
Untuk menyampaikan aspirasi mereka, Han dan beberapa orang lainnya, sempat berjaga di luar penjara tempat Kahar ditahan pada Selasa malam (29/3).
Kahar yang berasal dari keluarga miskin, berjuang dengan kecanduan narkoba sejak masih remaja. Kata Han, Kahar lebih banyak menghabiskan waktunya di balik jeruji besi daripada di luar tahanan.
Dia dibebaskan dari penjara pada 2005. Setelah satu dekade penahanan preventif, pada 2013, Kahar dihukum lagi karena perdagangan narkoba. Dia kemudian dijatuhi hukuman mati dua tahun kemudian.
“Penahanan Kahar tanpa rehabilitasi yang layak, membuatnya sulit menempuh jalan baru,” kata Han, dilansir Associated Press, Rabu (30/3).
Han, bersama PBB dan kelompok hak asasi lainnya, telah menyatakan keprihatinan. Mereka menduga, akan ada eksekusi-eksekusi lainnya yang mungkin akan dipercepat setelah terhenti selama dua tahun.Transformative Justice Collective, sebuah kelompok yang bekerja untuk reformasi sistem peradilan pidana Singapura mengatakan, keluarga dari tujuh terpidana mati lainnya baru-baru ini menerima pemberitahuan eksekusi. Tapi, kasus mereka ditunda karena banding hukum.
Menurut lembaga itu, salah satu terpidana mati yang mungkin akan segera dieksekusi adalah warga Malaysia bernama Nagaenthran K Dharmalingama. Pria itu dianggap mengalami cacat mental. Dia tidak bisa lagi mengajukan banding, karena bandingnya ditolak pada Selasa (29/3).
Dharmalingama dijatuhi hukuman mati sejak 2010, akibat mencoba menyelundupkan sekitar 43 gram (1,5 ons) heroin ke Singapura. Pada sidang pengadilan sebelumnya, terungkap bahwa IQ-nya 69. Tingkat yang diakui secara internasional sebagai cacat intelektual. Tapi pengadilan memutuskan, Nagaenthran tahu apa yang dia lakukan melanggar UUanti narkoba Singapura yang keras.
Kelompok HAM telah mendesak Presiden Singapura, Halimah Yacob untuk mengampuni Nagaenthran, atau mengubah hukumannya. Sementara pemimpin Malaysia, perwakilan Uni Eropa dan tokoh global, seperti Richard Branson si raja bisnis Inggris juga telah bergabung dengan seruan untuk menyelamatkan nyawa Nagaenthran. [PYB/rm.id]
Tinggalkan Balasan