Amerika Serikat (AS) telah memerintahkan semua staf non-esensial di Konsulat Shanghai, China, angkat kaki dari kota itu, menyusul lockdown ketat untuk menahan penyebaran Covid-19. AS menyatakan kekhawatiran atas keselamatan warganya di sana.
Dilansir dari kantor berita Agence France-Presse (AFP), Selasa (12/4), China telah berpegang teguh pada kebijakan “nol Covid”, demi menghilangkan kasus penularan virus Corona melalui lockdown ketat, pengujian massal, dan pembatasan perjalanan.
Namun, kebijakan itu mendapat tekanan sejak Maret. Pasalnya, lebih dari 100.000 kasus di Shanghai telah menyebabkan lockdown sekitar 25 juta penduduk kota itu.
Hal ini telah memicu kemarahan publik yang meluas atas kekurangan makanan dan kebijakan yang tidak fleksibel untuk mengirim siapapun yang hasil tesnya positif Corona ke pusat karantina. Bahkan, China melakukan cara ekstrem, seperti memisahkan anak yang positif Covid-19 dari orang tuanya. Saat ini, kebijakan itu telah diperlunak.
“Departemen Luar Negeri AS memerintahkan keberangkatan tersebut karena wabah Covid yang sedang berlangsung,” jelas pernyataan Juru Bicara Kedutaan Besar AS di Beijing.
“Diplomat-diplomat Amerika juga telah menyampaikan kekhawatiran atas keselamatan dan kesejahteraan warga AS kepada pejabat Republik Rakyat China,” tambah pernyataan itu.
Kota terbesar di China itu melaporkan adanya lebih dari 23.000 kasus penularan virus Corona baru pada Selasa (12/4) waktu setempat. Sebagian besar penduduknya tetap berada di bawah lockdown ketat, meski beberapa lingkungan yang dianggap berisiko rendah terkena Corona telah diizinkan keluar rumah.
Sementara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terus mengamati secara detail kasus Covid-19 yang terjadi di China, khususnya di Shanghai. Pasalnya, jumlah kasus di negara itu tiba-tiba meledak dan varian Omicron BA.2 dianggap sebagai penyebabnya.
Direktur Program Imunisasi dan Vaksin WHO Kate O’Brien mengatakan, WHO telah menghubungi otoritas kesehatan terkait untuk mendapatkan data lengkap terkait vaksinasi di negara itu.
“Kami akan terus mengikuti situasi itu karena kasus terus muncul sehingga kami dapat memahami sifat kasus, status vaksinasi yang mendasari dan komponen lain di sana,” kata O’Brien, saat konferensi pers, di Jenewa, Swiss, kemarin.
Sedangkan Ketua Kelompok Penasehat Strategis WHO untuk Imunisasi Alejandro Cravioto mengatakan, penting untuk melihat apakah lockdown tersebut efektif. Termasuk juga vaksin Covid-19 yang digunakan China dalam menahan wabah terbaru Omicron BA.2.
“Sampai kami benar-benar melihat data yang keluar, kami tidak akan dapat memberikan komentar lebih lanjut,” jelasnya.
China tengah berjuang melawan wabah Covid terburuk sejak virus itu ditemukan di Wuhan lebih dari dua tahun lalu. Meskipun rendah berdasarkan beban kasus global, ini merupakan salah satu rekor kasus tertinggi yang dialami negara itu.
Sejumlah wilayah menjadi pusat penyebaran, termasuk pusat keuangan Shanghai. Kemarin, China juga memperketat pembatasan Covid-19 di Kota Guangzhou, Ibu Kota Provinsi Guangdong, wilayah padat pusat industri manufaktur.
Langkah ini dilakukan setelah kota itu melaporkan 27 kasus Covid-19 baru, termasuk 9 tanpa gejala, Minggu (10/4). Kota itu juga menutup kelas tatap muka untuk sekolah dasar dan menengah pada Senin (11/4). Hal itu akan diberlakukan selama sepekan.
Vaksin Covid yang sudah diberikan di China telah diperbarui untuk memerangi Omicron dan strain lainnya. Rata-rata vaksin yang dibuat dan digunakan negara itu seperti Sinovac, Sinopharm dan CanSino. Menurut Our World In Data, per 5 April 2022, 88,5 persen populasi China telah menerima setidaknya satu dosis vaksin Covid. [DAY/RM.ID]
Tinggalkan Balasan