Kisruh 3 Periode Jabatan Presiden, Residu Demokrasi yang Tak Usai

Oleh
ZUNNUR ROIN
Sekretaris Jenderal PB HMI MPO)

2019 Ganti Presiden Vs Jokowi 3 Periode, Konstitusional ?
Akhir maret lalu Saya hadir sebagai pembicara dalam sebuah diskusi yang bertajuk “Mengurai Benang Kusut Demokrasi”. Karena dianggap tidak memperhatikan Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945, pendapat Saya dibantah oleh pembicara lainnya. Saya berpendapat bahwa apabila masyarakat politik menggerakkan #2019GantiPresiden dan #Jokowi3Periode apple to apple sebagai dua sikap politik yang Konstitusional. Saya mengulas, yang pertama di instrumentasikan sebagai kampanye politik elektoral untuk mengalahkan Jokowi pada Pemilu presiden 2019. Lalu yang kedua di instrumentasikan sebagai aspirasi untuk mempengaruhi proses politik hukum sehingga merubah klausul yang diperlukan jika UUD 1945 di Amandemen.
Pembantah mengatakan bahwa pandangan Saya keliru, karena Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, menurutnya jelas sebagai sumber hukum untuk menghalau wacana 3 Periode tersebut. Karena UUD 1945 nyatanya telah membatasi masa jabatan Presiden. Bantahan tersebut tidak cukup waktu untuk kami diskusikan lebih lanjut. Tulisan ini ingin mencukupi pembahasan yang terhenti tersebut, karena memang syarat dengan diskursus.
Syahdan, Saya berhemat bahwa kedua sikap tersebut bagian dari kedaulatan yang juga dinormatifkan oleh UUD 1945. Yaitu dalil yang memberikan kebebasan kepada warga negara untuk ‘’…berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Dalil yang bersumber dari pasal 28 UUD 1945 tersebut menurut Saya berhubungan dengan konstitusionalitas kedua sikap tersebut. Apakah kemudian kedua sikap itu mampu diaplikasikan dan terwujud, Konstitusilah yang kemudian memiliki supremasi untuk membatasinya. Dan apakah UU yang mengaturnya relevan dengan ruh pasal tersebut, itu masalah yang debatable dalam kapabilitas proses legislasi kita. Menyoal tegak atau tidaknya supremasi Konstitusi tersebut, merupakan variabel lain yang turut dipengaruhi proses pendalaman dan konsolidasi demokrasi yang sedang berjalan. Perjalanan yang menuai kritik dari banyak Ahli, bahwa Demokrasi kita tengah mengalami Regresi.
Sebelumnyapun saya memunculkan argumentasi atas dua sikap itu untuk mengkritik corak rezim Joko Widodo dalam merespon Gerakan demokratis warga negara. Menurut Saya hiruk pikuk prilaku demokratis warga negara selama rezim ini telah terkooptasi berdasarkan “untung dan rugi”. Gerakan yang menguntungkan dirawat, sebaliknya akan mendapat perlakuan yang berlebihan apabila rezim merasa dirugikan secara politik. Sependek yang saya yakini, Resource politik rezim akan bergerak secara konfrontatif bernuansa otoriter untuk melindungi tafsir sepihak demokratis dalam kalkulasi untung rugi itu. Fakta tersebut tampak dari dua aktifitas Gerakan #2019GantiPresiden dan #Jokowi3Periode yang masing-masing menuai pola pelarangan dan pembiaran yang berbeda-beda.
Disamping itu, Saya meyakini bahwa kami sebetulnya satu frekuensi untuk menolak “bencana reformasi” tatkala Jokowi mendapat kesempatan meraih bonus masa jabatan. Karena pembatasan masa jabatan Presiden merupakan esensi Amandemen UUD 1945 hasil reformasi. Perubahan itu nyatanya berangkat dari histori abause of power pemerintahan yang tidak memiliki filosofi limitasi secara periodik. Sehingga pembahasan masa jabatan Presiden dengan wacana yang telah bergulir dapat diprediksi memicu potensi kericuhan sosial yang tak terbendung, bahkan mengembalikan sejarah kekuasaan yang menindas.

Checking Opini Publik dan Operasi Politik Hukum yang Tertunda atau Gagal ?
Sejak bergulir akhir 2019 lalu, kita dapat melihat pihak yang melontarkan wacana tersebut bervariasi. Diantara yang ingin saya jelaskan adalah pihak Istana, Partai Poltik dan Kelompok Masyarakat. Dari unsur Istana, Wacana tersebut justru disampaikan oleh Pembantu Presiden Jokowi dengan dalih-dalih yang mengarahkan Jokowi layak untuk 3 periode atau diperpanjang masa jabatannya. Meskipun belakangan ada peringatan dan keterangan dari Jokowi, sikap tersebut tampaknya belum menggambarkan kepastian. Sebab dalam mengukur fakta objektif ucapan Jokowi dapat kita buktikan sebagai ucapan yang dinamis bahkan syarat dengan kebohongan. Kesadaran publik semacam ingin di uji, bahwa ucapan para menterinya bukan bagian dari Komunikasi Politik Presiden. Dapatkah publik mempercayai itu jika tidak dilakukan evaluasi yang serius terhadap para Pembantu-pembantunya tersebut ?. Jika tidak, tentu akan membuka tabir keraguan-keraguan baru, bahwa Istana sedang tidak solid ?, Atau memang sedang merencanakan operasi politik hukum dengan target capaian masa jabatan presiden ?.

Dilain pihak, wacana yang digulirkan oleh petinggi PKB,PAN,dan GOLKAR tidak dapat di simplifikasi sebagai wacana demokrasi yang biasa. Mengingat partai adalah entitas politik di MPR RI yang memiliki power politik dalam urusan politik hukum Indonesia. Terlebih ketiga Partai tersebut adalah bagian dari koalisi Politik di MPR RI yang mendukung Pemerintahan Jokowi- Maaruf Amin. Apakah partai-partai tersebut memiliki produk kajian menyoal aspek konvensi ketatanegaraan secara komprehensif, sehingga jabatan Presiden dilihat sebagai variabel yang perlu ditinjau ?. Atau hanya manuver politik untuk menjerumuskan, bahkanatau memimpikan kepemimpinan seperti Jokowi, sehingga perlu dicalon dan dimenangkan kembali pada periode selanjutnya ?. Menukil perspektif dari tulisan yang ditulis Adian Napitupulu, memberi kesan pembelaannya terhadap Jokowi dan tudingannya kepada Pihak-pihak tersebut dengan istilah “Lempar Batu Sembunyi Tangan”, bahkan sampai pada kesimpulan tanya mengenai upaya penggulingan kekuasaan Jokowi. Hingga tulisan ini ditulis, belum ada keterangan maupun bantahan untuk meluruskan asumsi Adian tersebut.

Belakangan Menkopolhukam,Mahfud MD menegaskan proporsionalitas Jokowi sebagai Presiden, dengan mengatakan Jokowi tidak setuju dan taat Konstitusi. Mahfud MD sempat mengulang sikap awal Jokowi tentang tiga kategori orang yang menginginkan Jokowi 3 Periode (Menampar muka,menjilat dan menjerumuskan). Jokowi pun telah melengkapi pernyataan tentang pelaksanaan Pemilu yang on schedule di 2024 nanti, mulai dari tahapan hingga politik anggaran dan lain-lain terkait Pemilu diperintahkannya untuk dilaksanakan sesuai rencana.

Sesungguhnya kita perlu menelaah bahwa sikap-sikap tersebut belum cukup sebagai upaya untuk menghentikan kekisruhan ini kedepan. Tanpa benar-benar ada kepastian politik hukum yang mengenyampingkan wacana Jabatan Presiden secara formal dan mengikat. Sebab Kontitusi merupakan produk hukum yang halal untuk dirubah melalui prosedur Politik Hukum yang legal. Legitimasi politik lah yang kemudian mampu menciptakan tingkat kualitas produk nya. Jika kemudian masa jabatan presiden di anggap sebagai variabel kualitatif, tidak menggugurkan legitimasi Politik Rezim Jokowi sebagai subjek untuk menakar hal tersebut, sehingga bisa di otak-atik sebagai klausul hukum yang baru dalam UUD 1945. Peluang itu terbuka, dan Jokowi punya hak untuk menaati Konstitusi tersebut.

Gerakan Jokowi 3 Periode, Gerakan Mahasiswa dan Residu Demokrasi Indonesia
Di level masyarakat sipil, wacana Jabatan Presiden justru terang benderang sebagai gerakan untuk menginginkan Jokowi 3 Periode. Sebagai contoh, Koalisi Bersama Rakyat (Kobar) mendeklarasikan dukungannya terhadap Jokowi untuk kembali memimpin Indonesia. Deklarasi dilaksanakan secara maraton diberbagai daerah oleh simpul relawan Jokowi. Saya memantau, Gerakan tersebut turut dipelopori oleh pendukung Jokowi yang aktif sebagai Komisaris di salah satu BUMN. Jargon kesetiaan dan puji-pujian atas keberhasilan kepemimpinan Jokowi mengiringi semangat mereka agar Jokowi 3 periode. Kelompok lainnya juga memantik hal yang sama, sempat ramai ketika APDESI “sempalan” berkumpul dan secara verbal mendukung Jokowi 3 Periode, meskipun tidak diumumkan secara resmi.

Saya masih berpendapat bahwa Gerakan #Jokowi3periode merupakan gerakan masyarakat politik yang konstitusional secara normatif. Antitesanya barangkali perlu meminjam pandangan Zainal Arifin Mochtar. Ketua Pusat Kajian Konstitusi UGM tersebut mengatakan bahwa Konstitusionalisme tidak sempit dilihat hanya sebatas norma, bahwa ada nilai dan semangat baik. Dalam konteks kekuasaan misalnya, zainal menyebutkan banyak teori yang mengulas bahwa salah satu esensi Konstitusi adalah pembatasan dalam dua term, dari kemungkinan menyakiti rakyat dan waktu. Selain itu akar filosofis masa jabatan Presiden merupakan indikator konstitusional untuk menjalankan Pemerintahan dengan konsep ketatanegaraan Indonesia yang menganut Sistem Presidensial, karena meluaskan kekuasaan Presiden secara praktis.

Artinya 2 kali masa jabatan adalah waktu yang diberikan Konstitusi kepada Jokowi untuk menyelenggarakan kebijakannya dengan konsekuensi menghadirkan ruang demokratis bagi warga negara untuk mengekspresikan penilainnya. Baik dalam wujud mendukung dan tidak mendukung,percaya dan tidak percaya, bahkan bertahan atau berhenti. Demikian akhirnya mengapa wacana #Jokowi3Periode atau penundaan Pemilu kontaprduktif dengan konstruksi demokrasi yang ingin kita bangun disaat masih banyak residu yang belum usai diselesaikan. Apalagi tampaknya pihak-pihak tersebut mengabaikan implikasi berbahaya akibat polarisasi sosial-politik yang tajam sejak Pemilu presiden 2014 dan 2019. Selanjutnya sudah pasti pihak-pihak tersebut mengabaikan aspek kegagalan pemerintahan Jokowi-maaruf sebagai alat ukur yang objektif. Fatalnya, Gerakan tersebut jelas menghianati Konstitusi yang menghasilkan keterpilihan Jokowi sebagai Presiden untuk dua kali masa Jabatan.

Berhasil atau tidaknya Jabatan Presiden 3 Periode masih menjadi sebuah Misteri. Maka arus demokrasi harus tetap bergelombang untuk memastikan agar Konstitusi tidak di “begal” oleh relasi kuasa yang berbahaya bagi kedaulatan rakyat. Suara-suara dan Gerakan mahasiswa harus semakin tumbuh berkembang, dengan pendalaman analisis dan model gerak yang semakin teratur. Menolak 3 Periode jabatan Presiden atau penundaan Pemilu untuk saat ini merupakan kebutuhan yang mendesak disatu sisi, karena tanpa alasan yang fundamental. Disisi lainnya wacana tersebut bukanlah masalah tunggal yang perlu direspon secara reaktif, disaat masih banyak masalah kerakyatan yang membutuhkan perhatian lebih untuk dikoreksi secara terus menerus.()

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *