Menantu WH Didesak Disanksi

SERANG, BANPOS – Aparat Penegak Hukum (APH), Kepolisian dan Kejaksaan diminta segera turun tangan mengusut tuntas dalam  kasus pembobolan pajak yang terjadi di Samsat Kelapa Dua, Tangerang yang nilainya  miliaran rupiah, dan sudah diakui oleh pejabat setempat.

Selain itu, muncul desakan agar Kepala Samsat Kelapa Dua Tangerang, Bayu Adi Putranto, yang diketahui merupakan menantu Gubernur Banten Wahidin Halim (WH), agar disanksi tegas dengan dinonaktifkan seperti pejabat lain yang sempat dihukum oleh WH.

Sementara informasi yang berkembang pembobolan pajak di Samsat Kelapa Dua, Tangerang, selama kurun waktu Agustus 2021 sampai dengan Maret 2022, mencapai angka Rp12 miliar lebih.

Ketua DPRD Banten, Andra Soni dihubungi melalui telepon genggamnya, Minggu (17/4) meminta kepolisian dan kejaksaan segera melakukan pengusutan tuntas terhadap pembobolan pajak yang dilakukan oleh oknum di Samsat Kelapa Dua.  Pihaknya juga meminta WH selaku pejabat pembina pegawai menonaktifkan sejumlah pejabat terkait.

“Mens area (niat perbuatan jahat dari seorang pelaku kejahatan) nya sudah jelas. Makanya ini harus diproses APH, dan mereka yang bertanggung jawab di Bapenda, harus diberhentikan dulu dari jabatannya,” kata Andra.

Ia berharap APH secepatnya melakukan pengusutan atas dugaan korupsi di tubuh Bapenda Banten. Ini penting dilakukan, agar kasusnya terang benderang. Siapa saja yang terlibat dan ikut menikmati uang haram tersebut, apalagi kasusnya sudah berjalan selama delapan bulan, disaat keuangan pemerintah sedang mengalami penurunan akibat Pandemi Covid-19.

“Ini kategori kejahatan besar. Masyarakat diminta untuk taat pajak. Tapi setelah membayar, uangnya diambil, dan nilainya tak tanggung-tanggung, miliaran. Dampaknya ini sangat besar. Dimana kita, saat ini sedang membangun kepercayaan kepada masyarakat, tapi ada oknum di Bapenda melakukan kejahatan sangat besar. Padahal membangun kepercayaan itu sangat sulit sekali. Saya harap ini harus diusut tuntas, agar ada pembelajaran serta efek jera,” ujarnya.

Andra Soni juga meminta Inspektorat dan BPKP melakukan audit, tidak hanya Samsat Kelapa Dua, akan tetapi kepada semua Samsat yang ada di Banten seperti Cikande, Cilegon, dan Samsat yang ada di wilayah Tangerang Raya.

“Semua samsat ini harus diaudit. Jangan-jangan, apa yang terjadi di Samsat Kelapa Dua  ada juga di samsat lainnya,” ungkapnya.

Sementara itu, Kepala Bapenda Banten Opar Sohari membantah jika pembobolan pajak di Samsat Kelapa Dua nilainya mencapai Rp12 miliar  lebih. Namun pihaknya tak menampik jika kejahatan itu dilakukan sejak Agustus 2021 lalu.

“Kata siapa angkanya segitu (Rp11 sampai Rp12 miliar). Sekitar Rp6,2 miliar. Dan uangnya itu sudah dikembalikan ke kas daerah (kasda). Sudah aman dan  diselamatkan. Jadi sudah clear (selesai), tidak ada apa-apa lagi” katanya.

Pengembalian uang Rp6,2 miliar ke Kasda lanjut Opar dilakukan oleh oknum pejabat eselon IV dibantu tiga orang staf pelaksana tersebut secara bertahap. Tidak sekaligus. “Dicicil. Saya lupa yang terakhir itu berapa, yang ngurus Pak Berly (Sekretaris Bapenda). Tapi yang jelas, uangnya sudah terselamatkan lagi dan masuk ke Kasda,” ujarnya.

Namun menurut Opar, meski angkanya Rp6,2 miliar telah masuk Kasda, akan tetapi pihaknya masih menunggu hasil audit Inspektorat dan BPKP. “Perkiraan tidak jauh dari angka itu, kita tunggu saja hasil auditnya,” ujarnya.

Kepala Inspektorat Banten, Muhtarom dihubungi melalui pesan tertulisnya membenarkan pihaknya sudah mulai melakukan pemeriksaan terkait dengan oknum Samsat Kelapa Dua masih dilakukan pendalaman. “Kami baru melakukan pemeriksaan,” katanya.

Muhtarom sendiri belum mengetahui sampai kapan pemeriksaan terhadap para pelaku yang diduga melakukan pembobolan pajak kendaraan ini dilakukan.

Direktur Eksekutif Pusat Aspirasi Warga atau Pusar Banten, Bayu Kusuma menyayangkan adanya  pembobolan pajak  di Samsat Kelapa Dua Tangerang. Pengakuan Kepala Bapenda Opar Sohari yang menyebut adanya pembobolan pajak juga  dipertanyakan.

“Kita patut mempertanyakan kenapa baru sekarang diketahui. Padahal beliau (Opar Sohari) sudah menjabat Kepala Bapenda beberapa tahun,” pungkasnya.

Namun demikian, kata dia, upaya pelibatan tim audit dari BPKP dan Inspektorat merupakan langkah baik dari Opar Sohari.

“Bila perlu Kejati turun tangan, karena statemen yang bersangkutan sudah jelas bahwa uang pajak kendaraan baru sebesar Rp12 miliar dari Samsat Kelapa Dua Tangerang itu benar lenyap,” ujar Bayu Kusuma lagi.

Bayu Kusuma menduga kuat, kasus yang sama juga dilakukan oknum pegawai di UPT Samsat lainnya di Banten. ,Opar juga harus ikut bertanggung jawab. Artinya, yang bersangkutan tidak lantas menunjuk hidung dan menyalahkan anak buahnya begitu saja.

“Sektor pendapatan merupakan lahan korupsi paling aman yang biasanya terjadi dan sulit teridentifikasi, beda dengan kasus korupsi pada sektor belanja yang kerap menjerat para pelakunya,” papar Bayu.

Dia menegaskan, kesamaan jenis korupsi dari dua sektor tersebut adalah, bahwa praktik keduanya tidak bisa dilakukan secara sendiri.

“Pasti bersama-sama, dan kita berharap ini dapat diungkap seterang-terangnya. Aparat penegak hukum harus turun tangan. Kasus ini tidak boleh berhenti sampai di Inspektorat atau BPKP saja,” tegasnya.

Koordinator Presidium Koalisi Masyarakat Sipil Banten (KMSB), Uday Suhada meminta Inspektorat Banten dan BPKP segera menyelesaikan audit investigasi terhadap Samsat Kelapa Dua, Tangerang.

Tujuannya agar persoalan menguapnya uang pajak kendaraan bermotor baru di Samsat itu menjadi terang benderang.

Tak hanya itu, audit investigasi juga harus dilakukan di seluruh Samsat yang ada di Provinsi Banten. Sebab kemungkinan besar kasus serupa juga terjadi di Samsat  lainnya.

“Agar semuanya terang benderang, maka audit investigasi oleh Inspektorat dan BPKP itu paling tepat. Tapi tak hanya di Samsat Kelapa Dua saja, tapi seluruh Samsat,” tegas Uday.

Terkait dengan sistem dan penetapan Nilai Jual Kendaraan Bermotor atau NJKB, Bapenda sebagai institusi yang berada di atas UPT Samsat, mestinya bisa mengontrolnya.

“Saya melihat pengendalian dan pembinaan di Bapenda Provinsi Banten tidak berfungsi dengan baik. Petinggi Bapenda hendaknya tidak hanya mengandalkan sistem,” kata Uday.

Dan yang harus diingat juga, lanjut dia, bahwa di lingkungan Bapenda itu insentifnya berbeda sendiri. Semua pegawai diistimewakan dari segi pendapatan atau gaji.

“Harusnya itu diimbangi oleh kinerja. Sebab dengan tidak berbuat curang saja mereka sudah sejahtera,” jelasnya.

Sementara itu Akademisi Untirta, Ikhsan Ahmad mengatakan, pembobolan pajak di Samsat Kelapa Dua itu merupakan tindakan kriminal yang mesti ditelusuri, dan segera ditetapkan siapa tersangkanya.

Yang tak kalah pentingnya lagi, menurut Ikhsan, adalah mengamankan kembali uang rakyat yang sudah dicuri itu dalam bentuk apapun.

“Kepala Samsat yang bersangkutan agar diberhentikan sementara, agar tidak ada konflik kepentingan, biar bisa diperiksa secara objektif. Tidak boleh ada diskriminasi hukum, walaupun kerabat petinggi, harus sama dimata hukum,” tegasnya.

Ikhsan pun meminta petinggi di Pemprov Banten, terutama pejabat di di lingkungan Bapenda tidak tutup mata atas persoalan itu.

“Semua harus ikut menyadari bahwa persoalan itu bukan persoalan sepele. Sebab itu sudah merugikan keuangan negara. Jangan karena sudah dilakukan audit, lantas persoalannya sudah kelar. Ini bahaya. Harus ada sanksi hukum atas persoalan ini. Segera selesaikan proses audit di seluruh Samsat,” ujar Ikhsan.

Pejabat di lingkungan Bapenda juga dianggap lalai dan ceroboh dalam melakukan pengawasan. WH dengan sisa masa jabatanya yang hanya tinggal menghitung hari,  diminta untuk melakukan evaluasi jajaran pejabat Bapenda.

“Jadi, institusi yang menangani persoalan ini hendaknya jangan hanya mengaudit keuangan. Tapi coba cek dan evaluasi juga sumber daya manusia di OPD tersebut. Tes kompetensi mereka yang sesungguhnya,” saran dia.

Sebab menurut pengamatan dirinya sejauh ini, sebagian besar pejabat dan pegawai Samsat berkaitan dengan kedekatan dan nepotisme.

“Kompetensi diabaikan. Jadi wajar kalau ada korupsi. Mereka ditengarai tidak memahami  bagaimana mengoptimalkan penerimaan pajak. Mereka lebih fokus pada bagaimana mengamankan jabatannya dengan segala cara. Tolong ini menjadi catatan,” terangnya.

Ikhsan bahkan menyarankan ada pihak luar Pemprov Banten untuk menguji kemampuan para pejabat di lingkungan Bapenda.

“Silakan diuji. Suruh itu para pejabat, misalnya seksi penerimaan di seluruh Samsat di Banten untuk menghitung pajak kendaraan. Informasi yang saya dapat, ada pejabat yang jangankan menghitung, tarif dan rumus saja ada yang tidak mengerti. Ini kan kacau,” ungkapnya.

Lalu dalam formasi jabatan pelaksana pun, kata dia, PNS yang ditempatkan di sejumlah Samsat kompetensinya kurang mumpuni. Akhirnya praktek pelayanan lebih banyak dikerjakan oleh honorer. Sejauh ini terkesan tidak ada mekanisme pengawasan yang rapi dan menjamin kelangsungan pelayanan dan keamanan transaksi keuangan dari korupsi.

“Lebih parahnya. Honorer-honorer yang ditempatkan di beberapa Samsat adalah dari “golongan sultan”. Sehingga kadang pelaksana PNS sulit juga bekerja sama.

Ini yang menyebabkan korupsi terjadi. Penyebab utamanya adalah SDM yang ambyar. SDM yang ambyar dan ditempat di tempat strategis, tentu menghasilkan pertanyaan, siapa yg menempatkan mereka,” ungkap Ikhsan Ahmad lagi.

Karenanya Ikhsan Ahmad mewanti-wanti, siapapun Penjabat (Pj) Gubernur Banten yang akan datang, harus bertindak cepat, tepat dan berani mengevaluasi seluruh pejabat yang ada di Provinsi Banten.

“Saya berharap Pj Gubernur Banten mendatang mampu mengubah iklim kerja di Pemprov Banten,” pungkasnya.

Pengamat kebijakan publik, Moch Ojat Sudrajat, merasa aneh  kepada Kepala Bapenda Opar Sohari yang mengklaim bahwasannya kasus ini yang melaporkan Kepala UPT-nya langsung kepada dirinya, yang kemudian dilanjutkan ke Inspektorat. Apalagi angka uangnya sangat besar sekali yang diduga dibobol itu.

“Jadi selama ini tanggung jawab pengawasan yang dilakukan oleh Kepala UPT seperti apa dan bagaimana,” tanyanya.

Ojat kemudian membandingkan kasus penggelapan pajak ini dengan beberapa persoalan berkenaan dengan tanggung jawab itu yang pernah terjadi dalam kurang waktu kepemimpinan Gubernur Banten Wahidin Halim (WH).

Ia melihat bagaimana sikap dari  WH yang langsung membebastugaskan terhadap Kepala Satpol-PP Provinsi Banten Agus Supriyadi yang dinilai lalai menjaga ruang kerjanya hingga sampai berhasil diduduki oleh buruh yang melakukan aksi unjuk rasa akhir tahun 2021 lalu.

Kemudian pada kasus Sekda Banten Al Muktabar yang langsung dilakukan sidang disiplin dengan tuduhan tidak pernah masuk pasca diberhentikan sementara.

Padahal sejatinya, Al Muktabar selalu masuk, namun akses untuk absensi kehadirannya ditutup. Sehingga kemudian ia membuat absensi manual setiap harinya, sebagai bukti jika suatu saat nanti dipertanyakan.

Tidak sampai di situ, penempatan kerja Sekda Al Muktabar pasca diberhentikan sementara juga tidak jelas. Meskipun dalam sehari-hari ia bertugas di BKD, namun sampai ia diangkat kembali menjadi Sekda Banten, surat perintah penugasan itu tidak pernah ia dapatkan.

“Seharusnya dalam kasus Samsat Kelapa Dua ini juga Pak Gubernur bisa bertindak tegas, seperti yang pernah ia lakukan kepada pejabat lain di Pemprov Banten,” pungkasnya.

Tidak lantas, ketika yang mempunyai kuasa itu merupakan anggota keluarganya, Gubernur Banten memperlakukan berbeda dengan pejabat lainnya.

“Padahal kalau melihat kasusnya, ini lebih parah dan fatal, sebab sudah mengarah kepada tindak pidana. Pun sekalipun kepala UPT tidak terlibat, namun di depan hukum ia harus bertanggung jawab,” katanya.

Selain itu, Ojat juga menyayangkan sikap Kepala Bapenda yang terkesan melindungi kepala UPT Samsat Kelapa Dua. Terlepas itu mungkin dirinya juga mendapat tekanan dari atasannya atau tidak.

“Karena hakikatnya seorang pemimpin itu harus mau beresiko ketika jajaran dibawahnya melakukan kesalahan, dan ia mau mempertanggungjawabkannya. Terlepas bagaimana implementasi pertanggungjawaban itu,” katanya. (RUS)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *