Kontroversi larangan ekspor sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang akan diberlakukan 3 hari lagi (28/4), terus berlanjut. Meskipun larangan ini bermaksud baik, yaitu untuk memastikan pasokan minyak goreng alias migor di dalam negeri aman, tapi beberapa pihak malah menentangnya. Mereka, terutama dari kalangan pengusaha dan ekonom, menganggap larangan ekspor ini akan menimbulkan masalah baru.
Namun, dari sisi politik, anggota koalisi terus memberikan dukungan ke Presiden Jokowi atas larangan ekspor itu. Mereka menegaskan, kebijakan tersebut sudah tepat, agar emak-emak tidak lagi susah dalam mendapatkan migor. Apa untung dan ruginya larangan ekspor CPO tersebut?
Berikut wawancara Rakyat Merdeka dengan Gulat ME Manurung, Ketum DPP Apkasindo.
Kenapa Anda tidak mendukung penuh larangan ekspor CPO?
Niatnya bagus, tapi tidak diikuti kesiapan kementerian terkait.
Maksudnya?
Sebagai pembantu Presiden, menteri harus siap tempur. Minggu (24/4) ada Rapat Koordinasi Terbatas diikuti dua Menko, empat menteri, dan dirjen-dirjen. Lalu, janjinya akan ada konferensi pers, tapi ternyata tidak ada. Setelah itu, baru Senin sore (25/4) sore, keluar Surat Edaran (SE) Dirjen Perkebunan. Tentu kami terkejut.
Apa dampak larangan ini ke petani?
Kami merana. Karena baru dua hari, setelah diumumkan Presiden, kami hitung kerugian petani sampai Rp 11,7 triliun.
Datanya gimana bisa rugi segede itu?
Harga Tandan Buah Segar (TBS) sebelum Jokowi pidato (umumkan kebijakan larangan ekspor CPO), itu Rp 3.800-Rp 4.050 per kilogram, tapi saat ini harganya Rp 1.200 per kilogram. Jelas kan terlihat di mana ruginya.Kami minta harga TBS dipatok Rp 3 ribu per kilogram.
Pemerintah menyatakan, kebijakan ini diambil agar migor murah dan tidak langka. Anda masa tidak melihat ini sebagai niat yang baik?
Migor itu ada di pabrik. Cuma persoalannya ada tiga. Pertama, tata cara pembayaran selisih harga keekonomian dengan pabrik gimana. Tentu, yang bayar Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS)
Kedua, Rp 12.500 di pabrik itu hanya bisa sampai ke D1 (distributor 1). Sampai ke D1, harganya sudah Rp 13.700. Dari D1 ke D2 (distributor 2) ada ongkos Rp 500 per liter, jadi Rp 14.200. Mana ada yang mau D2 bekerja. Akhirnya, distributor tidak mengedarkan migor curah.
Anda bilang migor melimpah. Memang betul?
Memang ada kok. Berlimpah di pabrik. Cek saja.
Lalu, anda punya solusi yang ditawarkan?
Harusnya, samakan saja dengan Pertamina. Seperti harga Pertalite subsidi, harganya Rp 7.650. Sama semua. Transportasinya digendong (ditanggung pemerintah). Artinya, Harga Eceran Tertinggi (HET) itu memperhitungkan biaya transportasi.
Menteri Perdagangan pernah membuat kebijakan migor 1 harga. Kenapa hal itu tidak jalan?
Tentu pengusaha ngamuk atau ngambek dengan kebijakan itu. Masa migor premium dipukul rata Rp 14 ribu. Makanya, saya sepakat dengan kalimat, tidak ekspor migor pun, migor sudah banjir.
Pengusaha yang menolak larangan ekspor CPO diragukan nasionalismenya. Anda setuju?
Seperti kata Abraham Lincoln, pengusaha itu nggak punya KTP, nggak punya status kewarganegaraan, nggak bisa kita mengatakan nasionalisme segala macam.
Jadi, harusnya bagaimana?
Biar saja ekspor. Naikkan saja pungutannya jadi 375 dolar AS. Kalau dikalikan 35 juta ton, itu bakal dapat ratusan triliun. Dana itu lalu pakai buat subsidi, bikin pangkalan migor curah di mana-mana. Saya kira ini lebih ideal dibanding melarang ekspor. [MEN/rm.id]
Tinggalkan Balasan