Komnas HAM Turun ke Banten

LEBAK, BANPOS – Perkara sengketa tanah antara ahli waris dengan SMPN 1 Malingping menjadi sorotan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sebab, sudah 34 tahun pemilik tanah dilanjutkan dengan ahli warisnya, berupaya memulihkan hak atas tanah tersebut namun tak kunjung membuahkan hasil.

Komnas HAM pun mendatangi SMPN 1 Malingping, untuk menggelar Pra Mediasi sengketa lahan tersebut. Dalam Pra Mediasi itu, hadir ahli waris dan pengacaranya, beserta Kepala Sekolah SMPN 1 Malingping.

Kepala Tim Komnas HAM sekaligus Koordinator Bidang Mediasi, Asri Oktavianti, menuturkan kedatangannya beserta tim untuk menggelar Pra Mediasi, sebagai rangkaian tahapan-tahapan penelusuran yang akan pihaknya lakukan.

“Kami juga disini untuk menelusuri lebih jauh mengenai kronologis, cerita dan bukti jika ada dari pihak ahli waris mengenai lahan SMPN 1 Malingping. Walaupun dalam surat pengaduan yang kami terima sudah ada, tetapi mungkin ada tambahan atau proses yang terlewat,” ujarnya, Rabu (27/4).

Ia menuturkan bahwa pihaknya telah mengirimkan surat klarifikasi kepada Pemkab Lebak pada 2021 lalu. Surat klarifikasi tersebut menurutnya sudah mendapatkan jawaban dari pihak terkait.

“Materi aduan itu lahan sekitar 4.000 meter lebih. Surat klarifikasi kepada Bupati Lebak dan pihak terkait pun sudah dilayangkan. Dinas Pendidikan Lebak Agustus tahun 2021 sudah menjawab klarifikasi, sedangkan dari Bupati Lebak Oktober 2021. Namun kalau dari BPN Lebak belum,” terangnya.

Ryan pun mengatakan pihaknya akan bertemu dengan Pemkab Lebak sebagai tindak lanjutnya. “Besok kami pun dijadwalkan akan bertemu dengan pihak Pemkab Lebak, untuk membahas permasalahan ini,” ungkapnya.

Kuasa hukum ahli waris, Haetami, mengatakan bahwa perkara lahan tersebut bermula pada tahun 1973, ketika seorang kontraktor bernama Sabren dan Kepala Sekolah bernama Pardi menemui dan meminta izin secara lisan kepada mendingan Jahir sebagai pemilik tanah.

“Izin itu untuk meminjam tanah digunakan membangun sementara Sekolah Menengah Pertama (SMP) swasta, dengan alasan di Kecamatan Malingping belum ada sekolah SMP,” ujarnya.

Tanah tersebut yakni tanah seluas 4.740 M2, berdasarkan surat persil No. P.69 S.III Kikitir No. C.361 dan seluas 1.290. M2 berdasarkan Persil No. P.68 S.III yang terletak di Blok Kontan Jainah, Desa Rahong, Kecamatan Malingping, Kabupaten Lebak.

Ia mengatakan, hasil kesepakatan antara Jahir, Pardi dan Sabren adalah tanah tersebut dipinjamkan untuk sementara waktu, demi mendukung pendidikan bagi masyarakat Malingping.

“Almarhum Jahir mengizinkannya dengan syarat tanah tersebut hanya sementara dan tidak untuk dimiliki pihak sekolah,” ungkapnya.

Pada tahun 1998, Darma selaku Kepala Sekolah SMPN 1 Malingping pada saat itu meminjam surat tanah (Kikitir) atas nama mendingan Jahir. Namun, Darma ternyata tidak mengembalikan kikitir tersebut.

“Pada tahun 2013 dibangun pagar mengelilingi sekolah dengan alasan untuk menjaga anak anak sekolah, tapi ternyata pagar tersebut dijadikan pembatas tanah sekolah SMPN 1 Malingping,” terangnya.

Menurutnya, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 0188/0/1979 tentang Pembukaan Sekolah berjumlah 149 diantaranya adalah SMPN 1 Malingping, ditentukan beban biaya pelaksanaan pembukaan dan pendirian sekolah ada pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.

Namun menurutnya, hingga saat ini anggaran ganti rugi tanah SMPN 1 Malingping tersebut tidak kunjung diberikan dan/atau tidak sampai kepada ahli waris.

“Dan harga tanah saat ini diperkirakan per meter Rp3 juta. Secara immaterial ahli waris almarhum banyak dirugikan yaitu secara biaya, waktu, energi, pikiran dan nama baik keluarga besar almarhum Jahir di masyarakat sekitar,” ucapnya.

Sementara itu, Kepala Sekolah SMPN 1 Malingping, Endi Sugandani, mengaku bahwa kejadian tersebut terjadi sebelum dirinya menjabat sebagai Kepala SMPN 1 Malingping. Akan tetapi dirinya mengaku telah mendengar mengenai permasalahan tersebut.

“Ketika saya pindah, saya cuma dibekali putusan Pengadilan Negeri (PN) Rangkasbitung. Jadi kejadian ini sempat berperkara di PN Rangkasbitung tahun 2016, dan di amar putusannya pun penggugat kalah. Akan tetapi saya tidak akan menghalangi jika ada warga yang sedang berupaya memperjuangkan haknya, ” terangnya.

Kuasa hukum Haetami sedikit memperjelas mengenai amar putusan yang dimaksud oleh Endi. Menurutnya, amar putusan itu hanya untuk eksepsi yang diajukan saja, sehingga belum inkrah.

“Yang dikatakan oleh pak Endi, perlu diketahui amar putusan PN Rangkasbitung itu belum inkrah, karena itu putusan hanya perkara eksepsinya saja, belum putusan pokok perkara,” tandasnya.(DZH/PBN)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *