Paradoks Kekayaan WH

PENINGKATAN kekayaan yang diraih oleh mantan Gubernur Banten, Wahidin Halim, dinilai tak sepadan dengan ‘utang-utang’ yang dia wariskan kepada penerusnya. Penjabat (Pj) Gubernur Banten yang baru dilantik, Al Muktabar pun dituntut mampu menuntaskan warisan-warisan itu dan mengembalikan pembangunan Banten ke arah yang semestinya.

Al Muktabar resmi dilantik sebagai Pj Gubernur Banten oleh Mendagri, Tito Karnavian, di Jakarta, Kamis (12/5). Mantan Sekda Banten itu diminta untuk menunjukan taringnya dan komitmennya dalam menuntaskan segudang persoalan yang muncul di era WH-Andika Hazrumi, dari soal carut-marut birokrasi hingga sengkarut korupsi.

Direktur Pusat Studi dan Informasi Regional (PATTIRO) Banten, Angga Andrias menyatakan bahwa kenaikan kekayaan dari mantan Gubernur Banten Wahidin Halim ini menjadi sebuah paradoks dengan masih banyaknya utang janji politik serta utang pembangunan daerah yang menggunakan skema pinjaman.

“Walaupun dianggap wajar dengan tanda petik, akan tetapi ini cukup paradoks dengan kondisi pandemi dimana semua sedang mengalami penurunan, tapi kekayaan pejabat malah mengalami kenaikan,” terangnya.

Selain itu, ia juga melihat, kekayaan yang naik signifikan tersebut berbanding terbalik dengan sejumlah warisan masalah yang ditinggalkan WH.

Angga memaparkan, pada persoalan pandemi Covid tahun 2020, Pemprov menyepakati melakukan pinjaman pada PT. SMI atau Sarana Multi Infrastruktur senilai Rp830,98 miliar untuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Namun realisasinya dari jumlah itu, sebanyak 50,22 persen atau senilai Rp430 miliar, dialokasikan untuk pembangunan Sport Center.

“Alokasi anggaran ini melampaui alokasi anggaran untuk kesehatan, pendidikan dan lainnya. Ini membuktikan tidak keberpihakan Pemprov Banten terhadap masyarakat,” tegas Angga.

Menurutnya, dengan tidak adanya keberpihakan tersebut, terlihat jelas dampaknya pada tahun 2022 dimana Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Banten sebagai provinsi dengan TPT (tingkat pengangguran terbuka) tertinggi, yakni sebesar 8,5 persen.

Ia juga menyampaikan, warisan permasalahan lainnya pada carut marutnya reformasi birokrasi di Pemprov Banten. Pelantikan pejabat Pemprov Banten yang gaib, karena dinilai cacat hukum tanpa memperhatikan aspek kompetensi, regulasi dan ketelitian.

“Dalam pelantikan pejabat Pemprov Banten tersebut, sebanyak 128 ASN eselon 3 – 4 dilantik, pada Senin, 9 Agustus 2021. Dari ratusan pelantikan pejabat Pemprov Banten itu, diduga hanya 2 orang yang dianggap sah secara peraturan perundang-undangan. Dampaknya banyak oknum pejabat korup yang salah penempatan seperti pada pembajakan pajak di Samsat Kelapa Dua,” jelas Angga.

Sementara, pengamat Hukum Tata Negara yang sekaligus Ketua Pusat Kajian Konstitusi Perundang-undangan dan Pemerintahan (PKK) Untirta Serang, Lia Riestadewi berharap kesalahan yang pernah dilakukan oleh WH dalam menjalankan program tidak terulang. Menurutnya, era kepemimpinan WH-Andika didapati banyak kebijakannya melanggar peraturan perundang-undangan berlaku.

“Menata regulasi, karena pada saat zaman WH beberapa regulasi yang dibuat ada yang bertentangan dengan regulasi yang lebih tinggi,” katanya.

Selain itu, Al Muktabar juga secepatnya melakukan perbaikan hubungan dengan kabupaten/kota, karena pada saat zaman WH, dana bagi hasil yang merupakan hak dari kabupaten/kota tidak diserahkan tepat waktu sehingga menimbulkan permasalahan. “Berdasarkan pengalaman seperti dana bagi hasil. Ini harus diperbaiki oleh Pak Al Muktabar,” imbunya.

Disamping itu tang tidak patut dicontoh oleh Al Muktabar dari WH lanjut Lia yakni, menjalankan roda pemerintahan seakan-akan berada dikendalinya.

“Pak Al Muktabar menjalankan pemerintahan berdasarkan kebutuhan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, karena pada saat zaman WH terkesan pemerintahan dijalankan berdasarkan keinginan walaupun harus menabrak aturan. Yang penting keinginan Gubernur terwujud,” ungkapnya.

Dan yang terpenting lagi, sikap arogan dan anti kririk jangan sampai dilakukan oleh Al Muktabar, jika ingin dikenang oleh publik.

“Siap menerima kritik atau mendengarkan keinginan masyarakat yang ingin menjadikan Banten lebih baik, karena zaman WH tidak mau dikritik dan mau menerima saran masyarakat,” katanya.

Serta harus menempatkan ASN Pemprov Banten sesuai kompetensinya. “Bukan karena suka atau tidak suka dengan ASN tersebut,” ujarnya.(RUS/PBN/ENK) 

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *