JAKARTA, BANPOS – Larangan ekspor minyak goreng (migor) dan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) yang dimulai sejak akhir April lalu, rupanya belum bisa jinakkan harga migor. Sampai kemarin, harga migor di pasaran masih stabil mahal. Emak-emak yang sudah bosan mengeluh, kini hanya bisa pasrah. Tak apa mahal yang penting barangnya ada.
Saat ini, keberadaan minyak goreng memang sudah tak lagi sulit dicari. Pasokannya melimpah. Berbagai merek minyak goreng kemasan sudah berjejer rapi di rak-rak ritel modern dan minimarket. Begitu juga di warung kelontong dan sayuran. Kondisi ini berbeda dibanding awal tahun lalu saat pemerintah memberlakukan harga eceran tertinggi Rp 14 ribu per liter. Saat itu, minyak goreng ngumpet. Hilang entah ke mana.
Pasokan minyak goreng yang banjir itu misalnya, tampak di Indomaret yang berada di perumahan Grand Kahuripan, Cileungsi, Kabupaten Bogor. Berbagai merek minyak goreng seperti Bimoli, Tropical, dan lain-lain, berjejer rapi di rak. Bahkan yang dipajang bukan hanya kemasan yang satu liter dan dua liter. Kemasan 5 liter dalam jerigen pun sudah tersedia. Penampakan serupa terlihat di minimarket yang berada di kawasan Munjul, Cipayung, Jakarta Timur. Minyak goreng sudah tak sulit dicari.
Pasokan minyak goreng memang mulai membanjiri pasar. Di Indomaret maupun Alfamart sudah tersedia. Sayangnya, harganya masih relatif mahal. Belum bisa balik lagi seperti di akhir tahun lalu. Apalagi sesuai dengan keinginan pemerintah.
Harga minyak goreng kemasan misalnya, masih dibanderol sekitar Rp 25-27 ribu per liter, dan Rp 50 ribu untuk kemasan 2 liter. Sementara untuk minyak goreng curah masih dibanderol Rp 20 ribu per kilogram.
Harga tersebut masih tak jauh beda sebelum larangan ekspor minyak goreng dan CPO diberlakukan 28 April lalu. Padahal, dengan kebijakan larangan ekspor diberlakukan itu pemerintah ingin pasokan minyak goreng dalam negeri melimpah dan harganya murah.
Menanggapi harga migor yang tak mau turun, emak-emak hanya bisa pasrah. Ibu Dina, warga Cileungsi, Bogor misalnya, mau tak mau membeli migor dengan harga tinggi. Ia mengaku sudah bosan mengeluh dan berharap pada pemerintah.
“Sekarang yang penting barangnya ada. Tak antre lagi kalau beli,” kata Dina, kepada Rakyat Merdeka (BANPOS grup), tadi malam.
Menurut dia, sejak larangan ekspor migor diberlakukan, harga minyak goreng memang turun sekitar Rp 500- Rp 1000 per liter. Ada yang turun banyak, tapi karena program diskon atau promosi.
Ibu Arsih, penjual nasi uduk dan gorengan di kawasan Munjul, pun mengungkapkan hal serupa. Kata dia, harga minyak goreng yang mahal sebenarnya membuatnya bingung. Setelah libur Lebaran, ia belum berjualan lagi. Nunggu harga minyak goreng turun. “Kalau tidak turun, ya mau gimana lagi,” ucapnya.
Harga minyak goreng memang masih relatif tinggi. Dalam situs Informasi Pangan Jakarta per hari kemarin misalnya, harga minyak goreng curah masih ada di kisaran Rp 19.528 per kilogram. Namun, menurut Kementerian Perdagangan, harga minyak goreng curah terpantau sudah mengalami penurunan.
Begitu juga dengan minyak goreng kemasan. Menurut Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan (Kemendag), harga minyak goreng curah pada Jumat (13/5), turun dari Rp 1 7.600 menjadi Rp 17.400 per liter.
Di linimasa Twitter, harga minyak goreng yang tinggi ini masih jadi obrolan. Akun @elinadio menyebut, kemarin-kemarin emak-emak sampai berbaris antri, minyak gorengnya ngumpet. “Sekarang minyak goreng berbaris rapi, emak-emaknya yang ngumpet,” ujarnya, sambil menyisipkan emoticon tertawa ngakak.
Kenapa harga migor masih mahal? Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core), Piter Abdullah mengatakan, harga minyak goreng memang akan sulit mencapai level yang ditentukan. Kata dia, adanya larangan ekspor CPO dan turunan, telah menyebabkan over supply. Sementara supply chain hanya dikuasai oleh industri besar.
Di sisi lain, industri besar yang sudah kehilangan keuntungan dari larangan ekspor. Karena itu untuk menekan kerugian industri tetap menjual migor di dalam negeri dengan harga yang cukup tinggi.
“Sudah terbukti sejak larangan ekspor CPO dan minyak goreng, harga minyak goreng tidak turun signifikan. Harga minyak goreng tetap mahal,” kata Piter, kemarin.
Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menyampaikan hal serupa. Kata dia, larangan ekspor ternyata membuat pengusaha mengkompensasi kehilangan pendapatan ekspor CPO dengan menaikkan margin keuntungan minyak goreng di dalam negeri.
Faktor lain yang membuat minyak goreng curah sulit capai HET ialah rantai pasok minyak goreng curah terlalu panjang, bahkan hingga 7 titik distribusi sampai ke level konsumen. Sedangkan, pengawasan minyak goreng curah sangat sulit dibanding dengan minyak goreng kemasan.[BCG/PBN]
Tinggalkan Balasan