McDonald’s yang hadir di Moskow 30 tahun lalu sebagai simbol glasnost, akhirnya menyatakan siap meninggalkan Rusia secara permanen.
Dalam bahasa Rusia, glasnost memiliki makna keterbukaan dan transparansi.
Glasnost juga diartikan sebagai kebijakan yang dilakukan selama masa pemerintahan Mikhail Gorbachev, pada pertengahan 1980-an. Kebijakan ini meliputi keterbukaan dalam semua bidang di institusi pemerintahan Uni Soviet
Keputusan minggat dari Rusia dilakukan McDonald’s, setelah raksasa makanan cepat saji itu menutup 850 gerainya pada Maret lalu. Menyusul krisis kemanusiaan yang disebabkan oleh perang Ukraina, dan situasi yang tidak dapat diprediksi.
CEO Chris Kempczinki menegaskan, kepemilikan bisnis berkelanjutan di Rusia, sudah tidak dapat dipertahankan. Tidak selaras dengan nilai-nilai McDonald’s.
“Setelah penjualan selesai, restoran kami di Rusia akan berstatus de–Arched. Tak lagi diizinkan menggunakan nama, logo, atau menu McDonald’s,” ujar Kempczinki seperti dikutip CNN International, Selasa (17/5).
Ia menambahkan, seluruh karyawan masih akan dibayar sampai transaksi ditutup.
“Keputusan ini sangat sulit bagi kami. Saya bangga, dengan 60 ribu pekerja kami di Rusia. Namun, kami memiliki komitmen terhadap komunitas global, dan harus tetap teguh pada nilai-nilai McDonald’s,” papar Kempczinski.
McDonald’s membuka restoran pertamanya di Moskow pada 31 Januari 1990. Sebelum Uni Soviet runtuh pada 26 Desember 1991.
Pakar Rusia di William College, Darra Goldstein menilai, kehadiran McDonald’s di Moskow lebih dari sekadar menjajakan Big Mac dan kentang goreng.
Dia mengatakan, munculnya resto waralaba asal AS itu adalah contoh paling menonjol dari upaya Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev, untuk membuka negaranya yang hancur ke dunia luar.
“Ada retakan yang sangat terlihat di Tirai Besi. Itu sangat simbolis tentang perubahan yang terjadi,” ucapnya.
Direktur Pelaksana GlobalData Neil Saunders menilai, minggatnya McDonald’s dari Rusia mewakili isolasionisme baru di Rusia. Sehingga, kita perlu meninjau lebih dalam lagi soal investasi dan pengembangan merek konsumen.
“McDonald’s memiliki sebagian besar restorannya di Rusia. Ini berarti, ada bisnis kaya aset untuk dijual. Namun, mengingat kondisi penjualan, tantangan keuangan yang dihadapi oleh calon pembeli Rusia, dan fakta bahwa McDonald’s tidak akan melisensikan nama merek atau identitasnya, tidak mungkin harga jual akan mendekati nilai buku pra-invasi,” jelas Saunders.
Dalam laporan pendapatan terbarunya, McDonald’s mengatakan, keputusan menutup restoran di Rusia telah menelan biaya 127 juta dolar AS (Rp 1,86 triliun) pada kuartal terakhir. Sebanyak 27 juta dolar AS (Rp 395,34 miliar) di antaranya merupakan biaya staf, pembayaran sewa dan persediaan. Sementara 100 juta dolar AS (Rp 1,46 triliun) sisanya, berasal dari makanan dan barang-barang lain yang harus dibuang.
Dokumen investor pada akhir tahun lalu menyebut, McDonald’s memiliki 847 restoran di Rusia. Bersama dengan 108 resto lainnya di Ukraina, mereka menyumbang 9 persen dari pendapatan perusahaan pada tahun 2021. [RM.ID]
Tinggalkan Balasan