PREDIKAT Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) bagi pemerintahan seolah menjadi ‘Tuhan’ yang disembah pemerintah d1aerah. Predikat itu dikejar demi melegitimasi pemerintahan yang seolah bersih. Dalam praktiknya, WTP seolah diobral karena kenyataannya banyak catatan yang diberikan lembaga auditor kepada pemerintah daerah di Banten.
Seluruh entitas pemerintahan daerah kabupaten/kota se-Provinsi Banten diganjar predikat WTP oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Banten. Kendati demikian, tetap didapati temuan yang dianggap menjadi ‘cacat’ atas predikat itu. Apalagi, sejumlah temuan disebut merupaakn temuan yang berulang dan menjadi catatan setiap tahunnya.
Dalam rilis yang diterima BANPOS awal pekan ini, Kepala BPK Provinsi Banten, Novie Irawati Herni menuturkan bahwa pihaknya masih menemukan permasalahan berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah. Beberapa diantaranya adalah di Pemkab Serang dan Pemkot Cilegon. Untuk Pemkab Serang, kata Novie, setidaknya, terdapat tiga permasalahan yang harus segera ditindaklanjuti.
“Permasalahan-permasalahan yang harus segera ditindaklanjuti (oleh Pemkab Serang) antara lain penganggaran Pendapatan dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang ditetapkan dalam APBD TA 2021 pada Pemerintah Kabupaten Serang belum memadai, penatausahaan Aset Tetap belum memadai dan pertanggungjawaban atas penggunaan dana BOS belum memadai,” katanya.
Selain Kabupaten Serang, WTP yang diterima Pemkot Cilegon juga tetap meninggalkan catatan. Salah satu temuan yang didapati oleh BPK Provinsi Banten pada pemeriksaan LKPD Kota Cilegon yakni pelaksanaan 12 Paket Pekerjaan Rekonstruksi dan Pemeliharaan Jalan pada Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (DPUTR) yang tidak sesuai spesifikasi kontrak.
Selain temuan pada pembangunan, pengelolaan Dana BOS pun kembali menjadi temuan. BPK menilai pengelolaan Dana BOS tidak memadai sehingga mengakibatkan penggunaan Dana BOS tidak sesuai dengan program yang telah direncanakan sebelumnya.
“(Selanjutnya) BPKAD belum mengelola Aset Tetap dan Aset Lain-Lain secara memadai, hal tersebut mengakibatkan pencatatan Aset Tetap dalam Neraca per 31 Desember 2021 belum menggambarkan kondisi yang sebenarnya (Di Pemkot Cilegon),” kata Novie.
Novie menegaskan bahwa sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 20 UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, diamanatkan bahwa pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi laporan hasil pemeriksaan.
“Pejabat wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK, tentang tindak lanjut atas rekomendasi laporan hasil pemeriksaan,” tegasnya.
Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun BANPOS, ada tiga catatan BPK RI Perwakilan Banten terhadap LHP Keuangan Pemkot Cilegon tahun anggaran 2021. Tiga catatan penting yang disampaikan BPK RI Perwakilan Banten terhadap Pemkot Cilegon atas laporan keuangan 2021.
Pertama, pelaksanaan 12 paket kegiatan rekonstruksi dan pemeliharaan jalan pada DPUTR tidak sesuai spesifikasi kontrak. Kedua, pengelolaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tidak memadai, sehingga mengakibatkan penggunaan dana bos tidak sesuai dengan program yang telah direncanakan sebelumnya. Ketiga, BPKAD belum mengelola aset tetap dan aset lain-lain secara memadai terkait pencatatan aset yang mengakibatkan ketidaksesuaian neraca aset, dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) terkait pengelolaan pasar.
Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Dadan Ramdhani, mengatakan bahwa dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), sebetulnya yang harus dikejar oleh entitas ekonomi dalam penyajian keuangan cukup dengan opini wajar saja.
“Pada dasarnya kalau SPAP itu seharusnya nggak mesti harus opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Memang sempurnanya adalah WTP, tapi kalau dengan Wajar Dengan Pengecualian (WDP) itu juga sebenarnya sudah cukup. Karena kan yang penting sudah ada opini bahwa itu wajar,” ungkapnya.
Menurut doktor di bidang akuntansi itu, dalam pelaksanaan pemberian opini terhadap laporan keuangan, tidak akan berbicara terkait dengan kebenaran. Sebab, opini terhadap laporan keuangan hanya berbicara kewajaran saja.
“Dalam akuntansi, itu tidak pernah berbicara kebenaran. Tidak pernah berbicara benar, tapi berbicara kewajaran. Itu harus bisa dibedakan antara wajar dan benar. Kalau wajar itu ketika bukti-bukti yang ada dalam laporan keuangan sama dengan data yang disajikan,” katanya.
Sebagai contoh, Dadan menuturkan ketika terdapat pencatatan kas sebesar Rp5 miliar, maka harus dirinci ada di bank mana saja uang itu, berapa cash on hand dan petty cash-nya. Hal itu yang dalam laporan keuangan disebut sebagai bukti pendukung atau supporting document.
“Kalau kita berbicara kebenaran, selain dengan antara pelaporan sudah sesuai dengan dokumen bukti pendukungnya, juga ada plusnya. Plusnya itu harus bisa dipertanggungjawabkan secara pribadi, secara entitas dan kepada Tuhan yang Maha Esa,” terangnya.
Menurutnya, jika publik mempertanyakan mengapa suatu daerah telah mendapatkan opini WTP namun tetap terjadi fraud atau korupsi, hal itu wajar. Sebab secara teoritis maupun pragmatis, opini WTP hanya menilai kewajaran suatu laporan keuangan saja.
“Sehingga ketika ada yang berkata ‘kenapa kok WTP tidak menjamin sebuah entitas itu benar’, ya iyalah tidak menjamin karena yang dinilai adalah kewajaran bukan kebenaran. Karena hakikat dari keilmuan itu kewajaran, bukan kebenaran. Wajar sesuai dengan framework kemanusiaan. Kalau kebenaran kita kembalikan kepada hati nurani orang dan pejabatnya,” tutur dia.
Bahkan menurut Dadan, tidak ada aturan baku mengenai pemberian opini wajar terhadap suatu laporan keuangan yang masih terdapat temuan. Menurutnya, tidak ada besaran persentase temuan suatu laporan keuangan dapat dikatakan wajar maupun tidak wajar.
“Kalau berbicara ketentuan Standar Akuntansi Pemerintahan maupun Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun 2010 itu tidak berbicara mengenai berapa persen, tidak ada persentasenya. Yang pasti mereka berbicara harus antara data yang disajikan dengan dokumen-dokumen itu harus sama,” ucapnya.
Kendati demikian, Dadan mengatakan dalam praktiknya auditor terkadang menentukan sendiri persentase kewajaran temuan suatu laporan keuangan. Sehingga, penilaian itu akan dikembalikan kepada masing-masing auditor.
“Tapi itu bukan harga mati, karena dalam aturan tidak ada. Cuma ada beberapa kasus proses dari auditor itu menetapkan 80 persen sudah WTP. Di bawah itu akan WDP. Nah di bawah 50 persen itu ada pertimbangan apakah tidak wajar atau bahkan tidak berpendapat,” katanya.
Terakhir, ia menuturkan bahwa opini WTP terhadap laporan keuangan daerah bukanlah hal yang menjamin suatu daerah tidak terdapat fraud. Karena WTP bukan berarti keuangan sudah berjalan dengan benar. “Di dalam kebenaran ada kewajaran, di dalam kewajaran belum tentu ada kebenaran,” tandasnya.
Koordinator Pattiro Banten, Amin Rohani, mengatakan bahwa predikat WTP yang diraih oleh seluruh Kabupaten/Kota di Banten menunjukan bahwa pelaporan keuangan pemerintah daerahnya sudah akuntabel. Artinya, secara umum telah memenuhi empat indikator WTP yang telah ditetapkan.
“Walapun demikian, jika melihat lebih dalam. harusnya sudah tidak ada lagi temuan semacam BOS. Karena, masalah tersebut bisa dikatakan terus berulang dari tahun ke tahun. Artinya kedua daerah tidak belajar dari pengalaman dan masih banyak uang rakyat yang digunakan secara tidak bertanggung jawab,” ujarnya.
Pada pengelolaan Dana BOS, Amin menuturkan bahwa hal itu sangat jelas menunjukkan jika pemerintah tidak belajar dari temuan-temuan pada pemeriksaan tahun lalu. Meskipun diakui bahwa terdapat perubahan aturan akibat Covid-19, namun menurutnya hal itu sudah berlangsung beberapa tahun.
“Tapi itu telah berlangsung selama tiga tahun mulai dari pelaporan 2019-2021 saat mulai pandemi Covid-19. Seharusnya pemerintah tidak lagi gagap dalam penggunaan dana tersebut dan dapat mengelola dana secara akuntabel,” tandasnya.(DZH/ENK)
Tinggalkan Balasan