Provinsi Banten cukup rawan mengalami bencana alam, seperti banjir, longsor, dan gempa bumi. Hal ini setidaknya terlihat dari banyaknya bencana yang terjadi rentang waktu 2018-2021. Selain bencana alam, pada rentang waktu tersebut juga terjadi bencana non alam yaitu pandemi Covid-19. Terjadinya pandemi dan bencana pada akhirnya mengakibatkan prioritas anggaran pemerintah pusat dan daerah cukup besar untuk menangani permasalahan tersebut.
Namun ternyata, besarnya anggaran penanggulangan bencana yang ada justru berpotensi menjadi sebuah ‘musibah’ dengan terjadinya penyimpangan anggaran. Tercatat pada tahun 2018-2021, BPK menemukan beberapa temuan terkait penggunaan anggaran bencana di pemerintah daerah, seperti pembangunan hunian tetap bagi para penyintas bencana dan pembangunan infrastruktur pasca-bencana.
Beberapa bencana yang cukup menjadi perhatian publik diantaranya adalah tsunami yang terjadi di Selat Sunda Kabupaten Pandeglang, serta tanah longsor di Kabupaten Lebak.
Dua daerah tersebut tercatat cukup rawan terhadap bencana. Berdasarkan data BPS yang diolah oleh BANPOS, untuk Kabupaten Lebak, pada tahun 2019 tercatat ada 167 bencana, sedangkan pada tahun 2020 tercatat ada 171 bencana dan pada tahun 2021 ada 212 bencana. Sedangkan untuk di Pandeglang sendiri tercatat pada tahun 2019 terjadi 148 bencana dan 72 bencana pada tahun 2020.
Namun sayangnya, dengan tingginya tingkat bencana di daerah tersebut juga ternyata mengakibatkan rentannya terjadi penyimpangan. Seperti yang terjadi di Kabupaten Pandeglang, alokasi anggaran untuk hunian tetap (huntap) bagi para penyintas tsunami ternyata mengalami temuan selama dua tahun berturut-turut.
Pada tahun 2020, BPK Perwakilan banten menyatakan, terjadi pemahalan harga dan kelebihan pembayaran pada pekerjaan pembangunan hunian tetap di BPBD. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa pelaksanaan item pekerjaan pemasangan listrik tidak sesuai ketentuan. Hal tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran sebesar Rp434.698.500,00.
Akan tetapi ibarat terjerumus di lubang yang sama, temuan anggaran hunian tetap kembali terjadi pada tahun 2021. Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK tahun 2021, pada pelaksanaan paket pekerjaan Hunian Tetap (Huntap) pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan Pemadam Kebakaran (BPBDPK) Kabupaten Pandeglang, menjadi temuan BPK karena tidak sesuai dengan spesifikasi kontrak yang telah ditetapkan.
Diketahui, proyek pembangunan 233 Hunian Tetap (Huntap) untuk warga terdampak bencana tsunami yang terjadi pada tahun 2018 lalu di Desa Sumberjaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang sebesar Rp19,1 miliar ditemukan adanya kelebihan pembayaran sebesar Rp551,521 juta.
Anggaran pembangunan yang berasal dari dana hibah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebesar Rp 74,666 miliar, dimana Rp 21,087 miliar untuk pembangunan 233 huntap di Kecamatan Sumur dan setelah dilelangkan, pembangunan rumah korban bencana tsunami itu menjadi Rp19,1 miliar.
Pekerjaan tersebut dilaksanakan oleh PT Bongbong Karya Utama (BKU) sesuai kontrak Nomor 640/01/SP/BPBD/2021 tanggal 3 Juni 2021 senilai Rp 19.199.479.500. Jangka waktu pelaksanaan pekerjaan 120 hari kalender terhitung mulai 3 Juni sampai dengan 30 September 2021.
Hasil pemeriksaan atas dokumen kontrak, backup data atau final quantity, hasil pemeriksaan tim Provisional Hand Over (PHO) dan pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh BPK pada tanggal 29 Maret 2022 bersama dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK),Tim PHO, Penyedia jasa, konsultan pengawas dan Inspektorat Kabupaten Pandeglang diketahui terdapat ketidaksesuaian spesifikasi kontrak berupa kekurangan volume dan kemahalan harga senilai Rp551.521.106.45.
Rinciannya, item pekerjaan Baja CNP 95 x 33 x 10 x 1,8 + cat zincromate senilai Rp 63.478.995,18, item pekerjaan Jendela JK 1 senilai Rp24.963.336,20. Selanjutnya, item pekerjaan Cat daun pintu senilai Rp2.636.885,32, item pekerjaan instalasi penerangan senilai Rp 80.850.880,00, item pekerjaan Sambungan PLN 900 Watt senilai Rp150.894.500,00, item pekerjaan baru sebanyak 16 item senilai Rp228.696.509,75. Dengan jumlah sebesar Rp 551.521.106,45.
Sekretaris BPBDPK Pandeglang, Rahmat Zultika mengakui adanya kelebihan pembayaran pada proyek Huntap terhadap pelaksana. Namun, pihak ketiga atau pelaksana sudah mengembalikan dan melakukan pembayaran secara bertahap ke kas daerah.
“Iya memang ada temuan itu. Tetapi, pihak pemborong sudah membayar Rp 100 juta di awal, kemarin-kemarin Rp 350 juta lebih. Sisanya kemungkinan bulan depan,” kata Rahmat Zultika kepada BANPOS beberapa waktu lalu.
Sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam proyek pembangunan Huntap tersebut, pihaknya membantah bahwa temuan BPK tersebut bukan akibat kelalaian BPBD saat membayar pekerjaan tersebut.
“Bukan tidak kita awasi, tetapi kan pihak teknis ada pihak perencana, ada juga konsultan yang mengawasi. Kalau saya kan percaya saja sama mereka, karena memang mereka yang dilapangan,” ujarnya.
Namun begitu, lanjut Rahmat, temuan BPK tersebut menjadi catatan penting bagi instansinya agar kedepan tidak terulang kembali. Untuk pihak pelaksana sendiri, pihaknya telah memberikan teguran dan meminta untuk bertanggung jawab agar persoalan tersebut bisa segera diselesaikan.
“Jadi catatan kita, penting ini. Saya sudah sampaikan supaya diselesaikan, karena kalau tidak tentunya akan menjadi beban kita,” katanya.
Terpisah, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) Huntap, Lilis Sulistiyati membantah apabila temuan tersebut kelalaian pihaknya. Dia berdalih, temuan tersebut merupakan hal biasa sebagai manusia dan bisa diperbaiki.
“Setiap pekerjaan pasti ada temuan. Sudah kok, sudah kita selesaikan. Bukan hal yang aneh, namanya juga manusia,” katanya.
Menanggapi temuan BPK tersebut, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kabupaten Pandeglang menilai bahwa BPBDPK Kabupaten Pandeglang lalai dalam melakukan pengawasan.
Ketua Umum IMM Kabupaten Pandeglang, Sadin Maulana mengatakan, temuan BPK terhadap pengerjaan proyek huntap menjadi cerminan akan ketidak becusan BPBDPK dalam melakukan tugas dan fungsinya dalam melakukan pengawasan.
“Ditambah lagi proyek ini sebagai bantuan bencana yang mana sangat dibutuhkan oleh para korban tsunami selat sunda. jangan sampai dijadikan sebagai ladang untuk melakukan tindakan yang terindikasi koruptif,” katanya.
Menurutnya, dalam temuan tersebut BPK menilai bahwa Kepala BPBDPK kurang optimal dalam pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan pekerjaan.
“Selain itu PPK kurang cermat dalam pemeriksaan dan serah terima hasil pekerjaan dan PPTK kurang cermat dalam pengawasan terhadap pelaksanaan pekerjaan di lapangan. Sehingga saat dilakukan pembayaran, ada kelebihan,” terangnya.
Ditambahkannya, sebagai pelaksana, pihak perusahaan juga tidak profesional dalam melaksanakan pekerjaan, karena saat mengajukan pembayaran ada fisik yang belum dipasang dan menjadi temuan BPK.
“Kalau ada fisik yang tidak dipasang, kenapa mengajukan pembayaran seratus persen kepada BPBDPK. Sehingga hal tersebut menjadi temuan BPK,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut Sadin, pihaknya meminta agar pihak pelaksana melakukan proses pengembalian kelebihan pembayaran ke kas daerah dan untuk efek jera atas ketidak profesionalan perusahaan dalam melaksanakan pekerjaannya perusahaan tersebut untuk di blacklist.
“Segera kembalikan kelebihan pembayaran kepada kas daerah dan perusahaan tersebut di blacklist sebagai efek jera. Kami juga mendesak DPRD dan Bupati agar bersikap tegas dalam menyikapi masalah tersebut,” ungkapnya.
Penyimpangan anggaran bencana juga terjadi di Kabupaten Lebak. Anggaran bencana kebakaran yang seharusnya diberikan kepada korban kebakaran justru masuk ke kantong pribadi salah seorang pegawai Dinas Sosial (Dinsos) Lebak. Selain itu, pada BPK pada tahun 2020 juga mengeluarkan temuan adanya pemborosan keuangan negara dalam hal penanganan Covid-19 sebesar Rp314.788.176,20 yang dikarenakan adanya pengadaan barang yang tidak menggunakan e-katalog.
Terkait dugaan penyelewengan dana bantuan. Diketahui bahwa dialokasikan belanja tak terduga sebesar Rp341 juta yang bersumber dari APBD 2021 Lebak untuk para korban bencana kebakaran di Kecamatan Cigemlong, Lebak Selatan.
Saat ditelusuri, uang yang ditransfer ke rekening pribadi AT yang menjabat sebagai Kabid Linjamsos Dinsos Lebak itu malah digunakan untuk keperluan pribadinya.
Adapun modusnya, sebagaimana pernyataan Kepala Inspektorat Kabupaten Lebak saat itu, Halson Nainggolan, bahwa oknum AT telah melakukan manipulasi saat memberikan Bansos, seakan-akan Bansos sudah diserahkan, padahal, uangnya sendiri ia transfer ke rekening pribadinya.
“Jadi saat memberikan bantuan-bantuan, AT mengambil Foto dan video sendiri secara simbolis terus dia melaporkan kepada pimpinannya. Seakan-akan sudah diserahkan, padahal yang lainya belum mendapatkan,” katanya kepada BANPOS saat itu.
Begitupun setelah dilakukan ditracking, dana Bansos yang disalahgunakan oleh AT, meliputi beberapa kecamatan, diantaranya Cigemblong, Cibeber dan Cikulur yang dicairkannya pada Tahun 2021.
Dalam hal ini, Kepala Unit Tindak Pidana Korupsi (Kanit Tipikor) Polres Lebak, Inspektur dua (Ipda) Putu Ari Sanjaya menjelaskan, untuk kasus dugaan tindak pidana korupsi dana bantuan untuk korban bencana pada bulan Februari-Maret 2021 lalu pihaknya masih menunggu hasil audit kerugian negara dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Banten.
Disebutkan, pihaknya telah memeriksa ratusan saksi untuk mengungkap kasus tersebut.
“Kita sudah memeriksa ratusan saksi, tapi kita belum bisa melanjutkan proses penyidikan sebelum menerima hasil audit dari BPK Banten,” ujar Ipda Putu Ari Sanjaya.
Kepala Dinsos Kabupaten Lebak, Eka Darmana Putra saat itu, mengatakan bahwa dana yang disalahgunakan merupakan dana Bansos bagi korban bencana di Kabupaten Lebak. Eka menambahkan, bahwa gelagat AT dari awal sudah diketahui. Karena tidak semua masyarakat korban bencana menerima bantuan.
“Itu hak untuk korban bencana alam. Korban bencana kebakaran, longsor dan sebagainya. Yang nilainya kurang lebih sekitar 341 juta. Jumlah itu berdasarkan hasil investigasi di lapangan,” jelas Eka pada saat itu.
Terbongkarnya kasus itu, kata Eka, saat warga mempertanyakan bantuan yang tak kunjung diterima para korban.
“Ketika kami memberikan bantuan korban Bencana Kebakaran ke Cigemblong, masyarakat mempertanyakan bantuan bencana yang tak kunjung diterima. Setelah ditelusuri ternyata bantuan tersebut tidak diberikan” paparnya.
Terpisah, politisi PPP Lebak, Musa Weliansyah kepada BANPOS meminta agar Aparat Penegak Hukum (APH) untuk mengusut hingga tuntas dugaan penggelapan dana yang dilakukan oleh oknum AT terhadap bantuan milik para korban bencana itu.
Ditegaskan Musa, bahwa tidak ada kata toleransi dalam kasus ini, dimana seorang pejabat menggelapkan dana bantuan hak milik korban bencana yang pada saat itu tengah tertimpa musibah.
“Pokoknya saya minta jangan ada toleransi, tindak tegas. Itu harus diproses hukum hingga terbongkar semua,” tegasnya.(WDO/dhe/PBN)
Tinggalkan Balasan