BERDASARKAN penelusuran BANPOS pada Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) pada Pengadilan Negeri yang ada di Provinsi Banten, terdapat sejumlah perkara kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, yang tengah diadili maupun yang telah mendapat putusan dari hakim dalam kurun waktu 2021 hingga 2022.
Kedua perkara tersebut diklasifikasikan dalam Pidana Kejahatan terhadap Kesusilaan dan Pidana Perlindungan Anak. Kendati informasi tersebut dapat diakses pada situs SIPP masing-masing Pengadilan Negeri, namun BANPOS tidak dapat mengidentifikasi perkara pada Pidana Perlindungan Anak, lantaran banyak informasi yang disamarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Akan tetapi, rata-rata perkara tersebut berkaitan dengan kekerasan seksual terhadap anak. BANPOS pun tidak dapat mengidentifikasi perkara yang disidangkan pada Pengadilan Negeri Serang, lantaran memiliki wilayah yuridiksi hingga tiga daerah yakni Kota Serang, Kota Cilegon dan Kabupaten Serang. Begitu pula dengan Pengadilan Negeri Tangerang yang wilayah yuridiksinya seluruh Tangerang Raya.
Di sisi lain, BANPOS cukup kesulitan dalam mengakses informasi pada SIPP PN Pandeglang, lantaran situs SIPP tersebut terjadi kerusakan. Sehingga, hanya dapat memunculkan sebanyak 20 perkara saja dalam perkara Pidana Perlindungan Anak maupun Kejahatan terhadap Kesusilaan.
Pada PN Serang, terdapat sebanyak 84 kasus teregister berkaitan dengan Pidana Perlindungan anak sejak tahun 2021 hingga 2022. Salah satu kasus yang telah mendapat putusan ialah kasus yang melibatkan terpidana berinisial BDR yang diputus bersalah dan terbukti melakukan tindak pidana ‘dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya’, dengan pidana penjara selama 13 tahun, dan denda sebesar Rp1 miliar subsidair empat bulan kurungan.
Sementara untuk Pidana Kejahatan terhadap Kesusilaan yang ditangani oleh Pengadilan Negeri Serang, didapati sebanyak delapan perkara. Salah satu perkara yang telah mendapat putusan ialah kasus yang melibatkan terpidana berinisial AHY, yang diputus bersalah lantaran terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana ‘bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya’. AHY dipidana penjara selama enam tahun.
Pada Pengadilan Negeri Rangkasbitung, didapati sebanyak 39 perkara pidana Perlindungan Anak sejak 2021 hingga 2022. Diantara 39 perkara itu, salah satunya merupakan pidana kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh orang tuanya. Dalam putusan itu, terpidana divonis terbukti telah melakukan ‘Dengan ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan oleh Orang Tua’, dengan pidana penjara selama 13 tahun dan denda sebesar Rp60 juta.
Selain kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang tua, Pengadilan Negeri Rangkasbitung juga menangani perkara kekerasan seksual yang dilakukan oleh tenaga pendidik. Pengadilan Negeri Rangkasbitung menjatuhi pidana penjara selama lima tahun dan denda sebanyak Rp20 juta kepada DYT, lantaran terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘dengan sengaja memaksa anak untuk melakukan perbuatan cabul yang dilakukan oleh Tenaga Kependidikan’. Adapun Kejahatan Kesusilaan terdapat satu perkara, itu pun pada tahun 2021.
Ketua Korps HMI Wati (KOHATI) HMI MPO Cabang Serang, Tia Meilita, menuturkan bahwa jomplangnya jumlah perkara yang masuk ke pengadilan dengan kasus kekerasan seksual terhadap anak dan wanita yang ditemukan, mengindikasikan dua kemungkinan.
“Pertama, perkara tersebut memang belum masuk ke pengadilan. Kedua, perkara tersebut ‘tidak akan’ masuk ke pengadilan karena telah selesai secara ‘kekeluargaan’,” ujarnya saat diwawancara oleh BANPOS melalui pesan WhatsApp.
Sebagai contoh, jika kasus kekerasan seksual yang terjadi pada Kota dan Kabupaten Serang tahun 2021, digabung dengan perkara yang diadili di Pengadilan Negeri Serang, jumlahnya masih belum memenuhi asumsi semua kasus masuk ke meja hijau.
“Kalau dikalkulasikan, total kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tahun 2021 berarti 126 kasus. Jika 90 persen merupakan kekerasan seksual, maka kurang lebih ada 113 kasus. Sedangkan akumulasi perkara perlindungan anak dan kejahatan kesusilaan yang ditangani Pengadilan Negeri Serang sejak 2021 sampai 2022 hanya sebanyak 92. Itu juga masih belum kita keluarkan perkara dari Kota Cilegon,” tuturnya.
Tia menuturkan, perlu kejelasan dari pihak aparat penegak hukum (APH), baik Kepolisian maupun Kejaksaan, terkait dengan tindaklanjut kasus kekerasan seksual tersebut. Mengapa perkara yang disidangkan di meja hijau hanya sebagian saja.
“Karena kasus kekerasan seksual ini sudah pasti diselidiki oleh Kepolisian sebagai penyidik, dan dilimpahkan ke Kejaksaan sebagai penuntut. Nah di pihak mana sejumlah kasus ini ‘lenyap’? Tentu kita masih mengingat kasus pemerkosaan yang terjadi pada penyandang disabilitas asal Kasemen, yang kasusnya dihentikan begitu saja dengan dalih Restorative Justice. Jangan-jangan ada banyak juga kasus yang didamaikan seperti itu,” tegasnya.
Kepala DP3AKB Kota Serang, Anton Gunawan, mengatakan bahwa seluruh kasus kekerasan seksual yang ditangani oleh pihaknya, dipastikan dibawa ke ranah hukum. Terlebih menurutnya, kasus kekerasan seksual merupakan delik biasa yang dapat dituntut tanpa adanya laporan.
“Semua diselesaikan sampai ke ranah hukum. Kalau kasus perkelahian, bisa selesai secara kekeluargaan. Tapi kalau kasus yang menurut hukum perlu ditangani meskipun tanpa adanya pelapor, maka akan dilanjutkan ke ranah hukum,” ujarnya.
Ia menuturkan bahwa hampir seluruh kasus kekerasan seksual yang terjadi pada kurun waktu 2021, telah selesai sampai pada tuntutan. Kendati demikian, iamengakui bahwa terdapat sejumlah kasus yang masih belum selesai.
“Setahu saya sampai saat ini, kasus yang terjadi tahun lalu itu sudah hampir selesai semua. Semuanya sudah masuk bui, sudah dipenjara. Kalaupun masih ada yang tercecer, masih proses persidangan,” terang Anton.
Menurut Anton, pihaknya selain memiliki tugas untuk mendampingi korban kekerasan seksual, juga memiliki tugas untuk mengawasi para pelaku. Pihaknya juga menurunkan relawan untuk mengawasi para pelaku yang belum diproses secara hukum.
“UPT dan relawan kami selain mendampingi korban, juga memantau pelaku. Sehingga kami tidak akan kehilangan jejak, karena memang sudah kami pantau melalui perangkat kami, UPT dan relawan,” jelasnya.(DZH/ENK)
Tinggalkan Balasan