JAKARTA, BANPOS-Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri ESDM Arifin Tasrif, sedang sibuk menghitung untung-rugi kenaikan harga BBM dan mencari formula tepat agar APBN selamat dan rakyat juga tak merasa berat. Namun, meski sudah rapat maraton, Airlangga-Sri Mul-Tasrif belum juga menemukan solusi manis.
Rapat tersebut dilakukan mulai dari di DPR, di Istana, sampai di Kemenko Perekonomian. Selasa (22/8), Sri Mulyani rapat dengan Badan Anggaran DPR. Di rapat ini, disampaikan berbagai asumsi makro dalam penganggaran subsidi energi sudah tidak sesuai kondisi.
Misalnya, tingkat konsumsi BBM berpotensi menyentuh 29 juta kiloliter, padahal penambahan subsidi menggunakan asumsi 23 juta kiloliter. Kemudian, harga dunia di angka 104,9 dolar AS per barel, padahal Pemerintah mematok asumsi 100 dolar AS. Lalu, nilai tukar rupiah pun masih bergerak di kisaran Rp 14.750, sementara asumsi APBN adalah di 14.450. Jika kondisi itu terus berlanjut, kebutuhan anggaran subsidi BBM akan meningkat Rp 189 triliun. Sehingga totalnya pada 2022 bisa mencapai Rp 700 triliun.
“Kalau tidak dilakukan apa-apa, tidak ada pembatasan, tidak ada apa-apa, maka Rp 502 triliun tidak akan cukup. Nambah lagi bisa mencapai Rp 698 triliun,” ucap Sri Mul.
Ia menyampaikan 3 alternatif Pemerintah terhadap BBM bersubsidi di tengah meningkatnya harga minyak mentah. Pertama, menaikkan anggaran kompensasi dan subsidi energi yang dampaknya beban terhadap APBN meningkat. Kedua, mengendalikan volume BBM subsidi yakni Pertalite dan Solar. Ketiga, menaikkan harga BBM subsidi tersebut.
Kemarin, giliran Arifin yang rapat di DPR. Bersama Komisi VII DPR, Arifin membahas mengenai alternatif-alternatif yang bisa diambil atas melambungnya harga minyak dunia ini.
Di waktu yang hampir sama, di Istana Kepresidenan juga digelar rapat serupa. Usai dari Istana, rapat dilanjut di Kantor Kemenko Perekonomian. Yang hadir adalah Sri Mul, Arifin, Menteri BUMN Erick Thohir, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu, dan Wakil Menteri BUMN Pahala Mansury.
Arifin menjelaskan, rapat maraton ini dimaksudkan untuk mencari formulasi terbaik terkait kebijakan BBM. Apakah dengan menaikkan harga atau menambah kuota BBM bersubsidi. “Intinya adalah mencari skema yang pas. Mana yang paling baik,” ucapnya.
Tah hanya itu, salah satu pertimbangan lainnya yang dipikirkan Pemerintah adalah soal inflasi. Menurut Arifin, tingkat inflasi Indonesia terakhir kali berada di level 4,94 persen. Kontribusi kenaikan harga energi cukup besar, sekitar 1,6 persen. Karena sektor transportasi ini pergerakannya sangat pesat.
Airlangga, Sri Mul, dan Arifin harus berpikir cepat. Sebab, dua hari ke depan, solusi jitu harus dilaporkan ke Presiden Jokowi. Airlangga mengatakan, rapat bukan hanya terkait penyesuaian harga BBM atau pembatasan volume BBM bersubsidi. Namun juga bantalan sosial untuk masyarakat apabila pemerintah mengambil opsi menaikan harga BBM.
Di DPR, sikap para politisi Senayan terbelah mengenai hal ini. Ada yang setuju harga BBM dinaikkan, ada yang menolak.
Anggota Komisi VI DPR Rudi Hartono Bangun termasuk yang setuju harga BBM bersubsidi naik demi menjaga kesehatan APBN 2022. Meski mendukung, politisi Partai NasDem ini menyarankan agar Pemerintah tetap hati-hati, serta mempertimbangkan dampak ekonomi usai kenaikan harga BBM.
Anggota Komisi VI DPR Rieke Diah Pitaloka jadi pihak yang menolak. Politisi PDIP menilai, BBM bersubsidi tidak seharusnya naik. Alasannya, karena alokasi anggaran di APBN untuk subsidi energi jumlahnya bertambah.
Menurutnya, ketika alokasi anggaran negara untuk subsidi energi naik, secara logika harga jual kepada rakyat tidak naik. “Presiden Jokowi telah memberikan keputusan politik anggaran yang luar biasa untuk memperkuat bangkitnya ekonomi rakyat, khususnya mereka yang miskin dan tidak mampu, melalui lokasi APBN untuk program-program, termasuk subsidi energi,” ucap Rieke.
Sedangkan Anggota Komisi VII DPR Willy Midel Yoseph mengusulkan hal unik. Dia meminta agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa hanya orang miskin yang boleh beli BBM subsidi. Menurutnya, cara tersebut menjadi salah satu jalan keluar untuk mendistribusikan BBM subsidi agar tepat sasaran.
“Cara secara hukum, orang sudah nggak peduli. Kemudian diawasi seperti apapun, nggak ada hasilnya. Subsidi tetap jebol. Kita coba lagi dengan cara luar biasa gunakan fatwa ini. Kita menggunakan lah yang lebih spiritual ini” pungkasnya. (RMID)
Tinggalkan Balasan