Jutaan Orang Di Dunia Meninggal Akibat Resistensi Anti Mikrobial, Indonesia Apa Kabar?

JAKARTA, BANPOS-Mantan Direktur WHO Asia Tenggara, Prof. Tjandra Yoga Aditama menceritakan pengalamannya mengikuti side event Pertemuan G20 Kesehatan , dengan topik Antimicrobial Resistance (AMR).

Ini adalah suatu keadaan yang memungkinkan antimikroba (dapat dalam bentuk antibiotik, anti virus, anti jamur, anti parasite, anti tuberkulosis dan sebagainya) tidak lagi dapat menjalankan fungsinya untuk menangani infeksi akibat berbagai bakteri, kuman, virus, jamur, parasit dan lain-lain.

“Pada pertemuan G20 di Bali ini disampaikan berbagai data dunia yang cukup mencengangkan,” kata Prof. Tjandra dalam keterangannya.

Dia menambahkan, kejadian AMR dapat mengakibatkan setidaknya 4 hal. Pertama, tambahan beban kesehatan sampai Rp 1 triliun. Kedua, 28 juta orang hidup dalam kemiskinan.

Ketiga, dapat memicu 7,5 persen penurunan ternak pada 2050 mendatang.

“Keempat, sekarang ini, pada negara berpenghasilan menengah dan rendah, satu orang anak meninggal setiap tiga menit akibat Infeksi darah yang disebabkan bakteri yang resisten,” jelas Prof. Tjandra, yang juga Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI/Guru Besar FKUI.

Data lain dari Jurnal Ilmiah Internasional Lancet pada Januari 2022 menyebutkan, setelah dilakukan analisis mendalam, pada tahun 2019, ada 643.381 kematian akibat malaria, 700.660 kematian akibat kanker payudara, 863.837 kematian akibat HIV/AIDS dan 1.270.000 kematian akibat AMR. Jadi, kematian akibat AMR jauh lebih besar.

“Kita memang belum punya data berskala nasional tentang dampak AMR ini, dan ini perlu diformulasikan secara tepat,” tutur Prof. Tjandra.

Mengingat AMR adalah silent pandemic, permasalahan tentu terjadi banyak negara. Termasuk juga di Indonesia.

“Pada waktu masih bertugas di WHO Asia Tenggara, saya tidak hanya menjabat Direktur Penyakit Menular. Tetapi juga menjadi focal point AMR untuk kawasan ini,” ungkap Prof. Tjandra.

Kala itu, lanjutnya, sudah berhasil dibuat empat hal. Pertama, rencana kerja semua negara dalam bentuk AMR National Action Plan.

“Tentu akan baik, kalau saat ini, rencana kerja itu dilihat hasilnya. Agar dapat diakomodasi sesuai tantangan terakhir,” ucap Prof. Tjandra.

Kedua, harus dimulai pelaksanaan pengumpulan data negara anggota di Asia Tenggara, untuk masuk dalam data dunia dalam bentuk Global Antimicrobial Resistance and Use Surveillance System (GLASS).

“Ketiga, saya juga memulai program Tripartite AMR Country Self-Assessment Survey (TrACSS) untuk mengetahui bagaimana program AMR berjalan. Indonesia juga turut serta dalam hal ini,” beber Prof. Tjandra.

Keempat, perlu dilaksanakan World Antimicrobial Awareness Week satu tahun sekali. Sebagai bahan peningkatan pemahaman dan advokasi, tingkat dunia, regional dan negara. Termasuk Indonesia.

“Semoga, semua kegiatan ini dapat terus ditingkatkan di masa datang. Semoga, Indonesia dapat menangani silent pandemic AMR ini,” papar Prof. Tjandra.

“Yang juga baik dilakukan adalah mencari istilah Indonesia untuk AMR, dapat berupa Resistensi Anti Mikrobial. Disingkat RAM,” pungkasnya. (RMID)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *