JAKARTA, BANPOS – Ketua MPR Bambang Soesatyo mengungkapkan, pada awal kemerdekaan, MPR sebagaimana dimaksud UUD NRI Tahun 1945 belum bisa dibentuk. Untuk memenuhi ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan, pada 29 Agustus 1945 dibentuk Komite Nasional Pusat (KNP) yang merupakan Badan Pembantu Presiden. Anggota KNP terdiri dari pemuka-pemuka masyarakat dari berbagai golongan dan daerah-daerah, termasuk mantan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Pada persidangan kedua 16 Oktober 1945, KNP mendesak Presiden untuk segera membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat. KNP juga meminta segera dibentuk Badan Pekerja yang bertanggung jawab terhadap KNP. Permintaan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam kondisi revolusi, banyak anggota KNP yang diperlukan di daerah, sehingga tidak dapat menjalankan fungsinya dengan maksimal.
“Bung Hatta yang hadir dalam Sidang KNP, akhirnya mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden Nomor X (nomor eks, karena belum diberi nomor) tanggal 16 Oktober 1945. Di dalamnya menegaskan bahwa KNP, sebelum terbentuknya MPR dan DPR diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pekerjaan KNP sehari-hari berhubung dengan gentingnya keadaan dijalankan sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara mereka dan yang bertanggungjawab kepada KNP,” ujar Bamsoet, sapaan akrab Bambang, usai melantik Faisal Amri dari Kelompok DPD menjadi Anggota MPR dalam Pergantian Antar Waktu (PAW), di Kompleks MPR, Jakarta, Senin (29/8).
Ketua DPR ke-20 ini menjelaskan, alur sejarah kebangsaan tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan Garis-Garis Besar Haluan Negara telah dirasakan sejak awal kemerdekaan. Pada 1960, MPRS menetapkan Ketetapan Nomor: I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara.
“Ketetapan tersebut menjadi pedoman dalam menyusun cetak biru pembangunan, yang selanjutnya ditetapkan MPRS dalam Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana tahap pertama 1961-1969. Pada masa persidangan yang sama, MPRS juga menetapkan Ketetapan MPRS Nomor IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan. Jadi, saya heran kalau hari gini masih ada yang ragu terhadap kehadiran PPHN,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menerangkan, kebutuhan Garis-Garis Besar Haluan Negara terus berlanjut pada era Pemerintahan Presiden Soeharto. Pada rentang 1973 sampai dengan 1998, MPR menetapkan enam Ketetapan MPR tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara.
Disebutkan dalam ketetapan-ketetapan tersebut, bahwa menjadi tugas Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara sebagai Pola Umum Pembangunan Nasional yang merupakan rangkaian kontinuitas program-program Pembangunan di segala bidang untuk dapat mewujudkan Tujuan Nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
“Garis-Garis Besar Haluan Negara tetap dibutuhkan pada awal reformasi. MPR menetapkan Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara; dan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004,” terang Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menambahkan, eksistensi GBHN hilang sejalan dengan dipilihnya presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Para perumus perubahan Undang-Undang Dasar tidak memperhitungkan akibat dari keputusan politik yang diambilnya pada saat itu. Salah satu akibat dari model perencanaan pembangunan yang berlaku saat ini adalah pembangunan menjadi sangat bersifat executive centris.
Padahal, UUD secara nyata menyebutkan terdapat lembaga-lembaga negara lainnya yang mewakili cabang kekuasaan legislatif dan yudikatif, yang juga memerlukan haluan dalam menjalankan wewenang dan tugasnya. Akibatnya, cabang-cabang kekuasaan dalam negara seperti tidak terhubung antara satu dengan yang lain, dan terkesan berjalan sendiri-sendiri.
“Tidak heran jika kini berkembang anggapan bahwa pandangan yang menjadikan pemilihan langsung sebagai alasan untuk menghilangkan eksistensi GBHN merupakan pemikiran yang keliru. Pemilihan langsung hanyalah bentuk sistem pemilihan presiden yang merupakan konsekuensi logis dari wujud kedaulatan rakyat. Pemberi kedaulatan yang terwakili oleh lembaga perwakilan rakyat yang paling lengkap, yaitu MPR seharusnya tetap memiliki hak untuk merumuskan arah haluan pembangunan nasional,” jelas Bamsoet.
Dewan Pakar KAHMI ini menekankan, bertalian dengan dasar kedaulatan rakyat, serta model demokrasi permusyawaratan yang menjadi ciri khas demokrasi Indonesia, ide menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara sebagai panduan pembangunan menemui relevansinya. Mengembalikan hal baik yang pernah ada di masa lalu ternyata tidak mudah. Dalam dua periode keanggotaan yang lalu, MPR hanya mampu menghasilkan rekomendasi ke rekomendasi lagi, kepada MPR periode berikutnya. Kita tidak ingin hal ini terus berlanjut.
Jika tidak ada halangan, pada pertengahan September nanti, MPR akan menyelenggarakan Sidang Paripurna untuk menindaklanjuti hasil kajian substansi dan bentuk hukum Pokok-Pokok Haluan Negara yang telah diselesaikan oleh Badan Pengkajian MPR. Bamsiet menegaskan, gagasan menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara, tidak dimaksudkan untuk mempertentangkan dominasi antara eksekutif dan legislatif sebagaimana sering diperdebatkan para ahli. Tidak pula dimaksudkan sebagai upaya MPR untuk membatasi otoritas pemerintah dalam ruang presidensial.
“Gagasan ini didasari oleh niat baik, yaitu untuk lebih memberikan jaminan kesinambungan dan keterpaduan pembangunan seluruh penyelenggara negara, baik di pusat maupun daerah. Mampu memberikan gambaran wajah Indonesia dalam kurun waktu 50 atau 100 tahun ke depan, beserta tahapan-tahapan yang harus dilakukan untuk mencapainya. Serta, untuk semakin meneguhkan arah cita-cita Indonesia merdeka,” pungkas Bamsoet.(RMID)
Tinggalkan Balasan