LEBAK, BANPOS – Terkait kekerasan seksual pada anak di Lebak yang disinyalir masih tinggi, akan tetapi dari berbagai kasus yang terjadi, perlindungan terhadap korban masih sangat minim, terutama dari pihak UPT Perlindungan Anak dan Perempuan (PPA) Kabupaten Lebak.
Hal ini mencuat pada rencana sidang pledoi (Pembelaan tersangka, red) di PN Rangkasbitung, perihal kasus kekerasan seksual pada anak usia 11 tahun berinisial F di wilayah Kecamatan Panggarangan, Selasa (30/8).
Keluarga korban Agus Supriatna mengatakan, untuk kasus yang menimpa keponakannya itu sejak awal seperti tidak dipedulikan oleh pihak UPT PPA Lebak. Bahkan terang, Agus, saat dirinya mau mengikuti sidang ke pengadilan pun itu hanya satu kali dihadirkan, selanjutnya ia tidak boleh ikut dalam persidangan lagi.
“Saat dulu kami lapor ke PPA itu cuma dikasih makan saja, dan tak ada pendampingan signifikan. Jadi intinya kami cuma didata saja. Bahkan hingga ke pengadilan pun kami tak diberi kuasa hukum sana sekali dari PPA. Dan ketika di pengadilan pihak pengadilan pun justru membatasi kehadiran saya, bahkan cukup satu kali hadir sebagai saksi dari keluarga. Selanjutnya pengadilan bilang tak perlu hadir lagi, kami yang tak faham hukum jadi bingung cari keadilan,” ungkapnya.
Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil Banten (KMSB) yang diwakili oleh ALIPP, LBH Apik Banten, Rumah Perempuan dan Anak Banten serta Pattiro Banten melakukan pemantauan kasus tersebut dan mensinyalir bahwa kasus perlindungan pada anak di Lebak lemah serta menduga pihak UPT PPA seperti kurang peduli.
Koordinator Presidium KMSB, Uday Suhada kepada BANPOS mengatakan, dari hasil investigasi KMSB, perlindungan dan pendampingan terhadap korban F pada kasus di Panggarangan ini sangat lemah. Padahal korban masih anak-anak yang baru kelas 5 SD (Kasusnya terjadi sejak Bulan Januari hingga Mei, baru dilaporkan pada Mei 2022).
“Dari awal tak ada pendampingan terhadap korban, semisal yang dilakukan untuk mengatasi trauma akibat kekejian si pelaku inisial i, di Psnggarangan. Padahal saat ini sudah menjadi terdakwa, dan saat ini tengah menunggu Sidang Pledoi di PN Rangkasbitung yang rencananya pagi tapi sampai hampir sore hari belum mulai,” ujarnya.
Anggota KSMB lainnya, seperti dari LBH Apik, Mumtahanah, RPA Banten, Neng Farida, Intan Rosdiana dan dari Pattiro Banten, Monica, Martina dan Amin Rohani di PN Rangkasbitung memantau proses persidangan.
Anggota KMSB dari RPA Banten, Neneng Farida kepada BANPOS menyebut, pihak UPT PPA Lebak seperti lepas tangan terkait kasus ini,
“Mereka para korban tak ada yang didampingi, bahkan saat mau sidang pun tak terlihat dari PPA Lebak. Padahal katanya Lebak daerah ramah anak, tapi ternyata korban kekerasan seksual seperti ini malah dibiarkan tanpa dampingan,” ujar Neneng.
“Sungguh ini adalah sebuah keteledoran yang tidak semestinya terjadi terhadap keadilan anak korban dari kekerasan seksual di Kabupaten Lebak. Banyaknya kasus serupa yang selama ini seperti gunung es tapi jarang terekspos, ini tak boleh dibiarkan,” imbuhnya.
Untuk kasus paedofilia di Lebak ini, dalam empat bulan terakhir ditemukan beberapa kasus, yakni Cilograng, Cimarga. Dan satu kasus yang terjadi di Panggarangan yang terjadi sejak Bulan Januari dan ketahuan Bulan Mei, baru dilaporkan pada Mei 2022 lalu. Sementara dari Data LPA Lebak, bahwa pada Tahun 2022 ini (hingga Agustus) kasus kekerasan seksual pada anak mencapai angka 28 kasus.
Dalam hal ini, KMSB menyerukan beberapa hal yaitu, setop kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan. Untuk melahirkan rasa keadilan dan efek jera, Kepada Majelis Hakim agar memberikan hukuman maksimal kepada Terdakwa dan Pemkab Lebak harus mengevaluasi kinerja UPT Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), kemudian mengajak para Ulama, tokoh masyarakat dan peran pemuda untuk berperan aktif dalam menghadapi masalah kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan.(WDO/PBN)
Tinggalkan Balasan