Masih tingginya AKI/AKB di Banten dianggap akibat dari masih kurangnya komitmen pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran secara efektif dan efisien. Sementara, penanganan AKI/AKB selain membutuhkan peran pemerintah, juga membutuhkan peran serta dari masyarakat.
Ketua Forum Peduli Kesehatan Ibu dan Anak (FOPKIA) Kabupaten Tangerang, Atif, menyampaikan, permasalahan AKI/AKB ini membutuhkan rencana yang sistematis dan terarah. Menurutnya, ada tiga hal penting yang harus diperbaiki dan diselesaikan oleh Pemerintah Provinsi Banten.
“Sistim kegawatdaruratan rujukan Faskes pertama harus memadai, karena hal tersebut menjadi hal yang penting,” ujar Atif.
Selain itu kualitas dan kuantitas SDM tenaga kesehatan juga harus terus ditingkatkan, dan yang ketiga adalah peran masyarakat terhadap isu kesehatan ibu dan bayi baru lahir (KIBBL) ini.
“Jadi harus dilihat juga, bagaimana kepedulian dan perhatian masyarakat terhadap isu KIBBL ini, tinggi atau rendah, karena partisipasi masyarakat menjadi hal yang sangat penting,” terangnya.
Selain itu, komitmen dari pemerintah daerah juga perlu diperbaiki, karena permasalahan bertahannya Banten sebagai jawara AKI/AKB ini dikarenakan rendahnya komitmen Pemprov Banten, baik dari segi pembangunan sistim hingga penganggaran.
“Salah satu hasil baik dari adanya sistim kegawatdaruratan yang bisa dicontoh adalah di Kabupaten Tangerang, walaupun masih berada di peringkat 3, namun ada capaian kinerja dengan turunnya peringkat Kabupaten Tangerang,” ujar Atif.
Salah satu hal yang bisa diupayakan oleh Pemprov Banten adalah dengan memberikan bantuan yang lebih spesifik terkait KIBBL, salah satunya adalah dengan memberikan bantuan langsung ke Pemerintah Desa yang dirasa lebih dapat terasa dampaknya.
“Desa saat ini sudah mulai melek, kalau di tingkat desa ada keterbatasan anggaran, dan isu spesifik terkait KIBBL belum ada. Peran Pemprov Banten harus dapat memaksimalkan banprov ke desa untuk mengurangi AKI/AKB tersebut, tandasnya.
Sementara itu, Akademisi dari Universitas Cendekia Abditama (UCA) Tangerang, Aziz Faozi, menyampaikan, berdasarkan riset yang dilakukan oleh pihaknya, ada ketidaksesuaian antara alokasi anggaran dari APBD dengan penekanan AKI/AKB.
“Alokasi anggaran belum terlihat berpengaruh terhadap penurunan AKI/AKB. Ini bisa jadi dikarenakan tidak tepatnya anggaran dan program terhadap akar masalah AKI/AKB,” terang Aziz.
Iya menyampaikan, belum adanya rencana aksi tematik yang jelas juga menyebabkan permasalahan AKI/AKB terus muncul. Salah satu yang seharusnya masuk adalah terkait program pencegahan sejak dini dan juga meningkatkan peran serta masyarakat.
“Program pemerintah harus meningkatkan kesadaran kolektif dari masyarakat. Hal ini harusnya diperkuat,” jelasnya.
“Untuk permasalahan kesehatan ibu dan anak (KIA) juga seharusnya tidak hanya dibebankan kepada Dinas Kesehatan saja, tapi menjadi isu lintas sektoral. Seperti misalnya Dinas Pendidikan juga mengalokasikan anggaran program untuk pencegahan anemia bagi murid,” tambah Aziz.
Ia menyampaikan, terdapat praktik baik kolaborasi yang dilakukan oleh FOPKIA Kabupaten Tangerang dengan menggandeng swasta dan membuka ruang partisipasi masyarakat, salah satunya adalah terkait Gerai KIA di Alfamart.
“Gerai KIA ini menjadi ruang konsultasi dan telah direplikasi di beberapa desa, seperti di Desa Cisereh dan Desa Cileles, dimana kegiatan ini dilaksanakan setiap minggunya,” ujarnya.
Menurutnya, permasalahan AKI/AKB ini bisa dicegah dengan memberikan pemahaman yang tepat kepada Wanita Usia Subur dan Pasangan Usia Subur, sehingga pencegahan kematian ibu dan bayi dapat dilakukan sejak dini.(PBN)
Tinggalkan Balasan