SERANG, BANPOS – Padarincang kembali memanas terkait dengan penolakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) atau Geothermal. Gerakan penolakan itu setelah adanya upaya untuk melanjutkan pembangunan, dengan menggerakkan sejumlah alat berat.
Berdasarkan pantauan, puluhan masyarakat Padarincang berkumpul di akses masuk utama menuju Gunung Prakasak, yang akan dibangun Geothermal. Di akses masuk utama itu, masyarakat berkumpul sambil melantunkan shalawat dan beristighosah.
Di belakang mereka, sejumlah banner terpasang untuk memblokade jalan masuk menuju Gunung Prakasak. Berbagai kalimat bertemakan perlawanan terhadap rencana pembangunan Geothermal pun tertulis di atasnya.
Aksi blokade jalan dan shalawat tersebut berlangsung bersamaan dengan hujan yang tengah turun. Aksi itu juga dikawal oleh puluhan personel TNI. Tidak terlihat adanya gesekan fisik antara masyarakat dengan personel yang berjaga.
Direktur Eksekutif Pena Masyarakat, Mad Haer Efendi, mengatakan bahwa penolakan yang dilakukan oleh masyarakat Padarincang terhadap pembangunan Geothermal, lantaran dalam pelaksanaan pembangunan yang merupakan langkah transisi energi itu, hanya berfokus pada aspek teknologi saja.
“Gagasan mengenai transisi energi seringkali hanya berfokus pada aspek teknologi, tidak berfokus kepada aspek lainnya seperti aspek sosial, ekonomi, serta lingkungan. Mereka hanya berfokus kepada bagaimana caranya untuk mendanai dan membangun infrastruktur energi terbarukan,” ujarnya, Kamis (17/11).
Ia mengatakan bahwa agenda transisi energi yang direncanakan oleh pemerintah, khususnya di Padarincang, tidak memasukkan terkait biaya mitigasi risiko sosial dalam perhitungan pemangku kebijakan.
“Pengembangan transisi energi di Indonesia perlu dikawal oleh masyarakat agar tidak menimbulkan masalah baru. Dalam praktiknya pengelolaan energi di Indonesia masih tidak demokratis, pengelolaan energi hari ini justru merugikan masyarakat lokal secara sepihak,” ucapnya.
Hal itulah menurutnya yang saat ini tengah dilawan oleh masyarakat Padarincang dalam hal pembangunan Geothermal. Ia mengatakan, pemerintah dan investor tidak pernah mau mendengarkan dan mengamini apa yang diinginkan oleh masyarakat.
“Dalam aktivitasnya hari ini, mereka selalu menggunakan aparat militer untuk memuluskan rencana pembangunannya,” tegasnya.
Pria yang akrab disapa Aeng ini mengatakan, masyarakat Padarincang berduyun-duyun turun ke jalan meski di tengah hujan lebat, untuk mempertahankan akses utama menuju Gunung Prakasak sehingga tidak ‘diobrak-abrik’ menggunakan alat berat.
“Blokade portal ini sebagai simbol perlawanan warga terhadap mega proyek Geothermal yang akan mengancam kehidupan dan ruang hidup warga Padarincang. Portal itu akan dibongkar oleh pihak perusahaan menggunakan excavator, yang dikawal aparat militer,” tuturnya.
Aeng mengatakan, memang sempat terjadi perdebatan antara masyarakat dengan personel TNI yang berjaga. Perdebatan itu kaitannya dengan klaim adanya pendapat ahli yang menyatakan PLTPB aman, dan apa yang dilakukan adalah untuk kepentingan negara.
“Ahli dan negara hanya merupakan justifikasi legalitas untuk mereka mengeruk keuntungan sebesar besarnya tanpa mempertimbangkan berbagai aspek masyarakat dan ekonomi abadi rakyat Padarincang, yang selama ini telah turun temurun menghidupi masyarakat Padarincang dari berkah dan kekayaan alam yang ada,” tuturnya.
Ia menuturkan, sebetulnya masyarakat Padarincang sudah sangat cukup untuk hidup makmur dan sejahtera dari alam yang telah disediakan oleh Tuhan. “Tanpa industri dan tanpa ekstraksi, itulah harapan masyarakat Padarincang kepada pemerintah dan negara, beserta aparaturnya,” tandas Aeng.
Usai beberapa jam masyarakat Padarincang bertahan di depan akses utama tersebut tanpa bergerak sedikitpun, puluhan personel TNI yang berjaga pun akhirnya membubarkan diri. Beberapa lama kemudian, masyarakat juga ikut membubarkan diri.(DZH/PBN)
Tinggalkan Balasan