Pelemahan Rupiah Masih Dalam Batas Wajar

INDONESIA, BANPOS – Analis DCFX Futures Lukman Leong mengatakan, langkah Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan sebanyak 50 basis poin ke 5,25 persen dalam rangka menjaga stabilitas rupiah, bisa membuat pasar bingung.

“Data inflasi menunjukkan deflasi, atau tekanan inflasi mulai mereda. Namun, BI melakukan ini untuk menjaga rupiah, melakukan intervensi. Khawatir jika imbasnya ke perekonomian,” ujar Lukman, Senin (21/11).

Dengan data inflasi yang mulai mereda, harusnya BI lebih fokus kepada penanganan inflasi, bukan mata uang. Mata uang rupiah, kata Leong, memang melemah tetapi tidak akan di bawah Rp 16.000.

“Saya kira BI tetap fokus kenaikan suku bunga berdasarkan ekspektasi inflasi. Memang mata uang agak melemah, tapi masih dalam batas wajar. Negara mana yang bisa mempertahankan mata uang mereka sekarang,” kata Lukman.

Senada dengan Lukman, Ekonom Bank BCA David Sumual mengatakan, pelemahan rupiah masih dalam batas wajar.

“Tekanan terhadap rupiah sebenarnya masih tergolong manageable dibanding negara Emerging Market lain yang banyak kelemahannya, sudah double digit,” jelas David.

Bulan depan, Bank Sentral Amerika, The Fed akan melakukan pertemuan terakhir. Diperkirakan aksi menaikkan suku bunga gila-gilaan akan berakhir. “Pertanda bagus, bisa jadi dolar Amerika terkoreksi. Namun ini masih proyeksi ya,” sebut David.

Dia memantau aksi The Fed. Spread antara suku bunga rupiah dan dolar Amerika harus dijaga tetap menarik di tengah masih berlanjutnya ekspektasi kenaikan Fed rate.

Kemudian, dengan suku bunga acuan yang naik, berdampak pada kredit, pertumbuhan usaha, dan impor.

Sementara, masyarakat bisa ‘mengamankan’ uang mereka agar tidak tergerus inflasi. Mengamankan aset mereka di tempat yang likuid sambil menunggu tren kenaikan suku bunga tinggi selesai.

Berakhirnya era suku bunga yang tinggi, mungkin dalam enam bulan ke depan itu jelas, akan berhenti. Investasi akan sangat bagus di saham.

David menambahkan, dengan melemahnya rupiah terhadap dolar, akan muncul inflasi dari segi impor. Kemudian pengusaha yang masih belanja impor dengan dolar, harus bisa mengamankan nilai mereka.

Sementara, Chief Economist Bank Permata Josua Pardede menilai, kenaikan suku bunga merupakan langkah pre-emptive untuk menjangkar ekspektasi inflasi. Sehingga inflasi inti tahun 2023 kembali dalam sasaran inflasi BI.

“Keputusan kenaikan suku bunga juga ditujukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, yang diperkirakan masih akan dipengaruhi sentimen arah suku bunga Fed,” terangnya.

Menurutnya, kenaikan itu akan berpengaruh pada perekonomian domestik. Beberapa sektor yang terpengaruh adalah investasi sektor usaha dan belanja masyarakat.

Hal ini berpotensi berdampak pada perekonomian domestik. Terutama dari sisi cost of borrowing, yang selanjutnya juga mempengaruhi konsumsi masyarakat dan investasi sektor usaha.

Pertumbuhan Kredit
Meski demikian, penyesuaian suku bunga perbankan, terutama suku bunga kredit termasuk suku bunga Kredit Pemilikan Rakyat (KPR) diperkirakan terdapat jeda. Perbankan akan mempertimbangkan kondisi likuiditas bank serta risiko kredit perbankan yang bervariasi.

“Namun secara umum, tingkat suku bunga kredit belum menunjukkan peningkatan signifikan. Diperkirakan, penyesuaian suku bunga kredit perbankan baru akan terindikasi pada Semester I-2023,” ungkap Josua.

Untungnya, kenaikan suku bunga juga diiringi dengan kebijakan makro prudensial. Kebijakan itu berperan untuk mencegah dan mengurangi risiko sistemik, mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas, meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK). Serta mendukung stabilitas moneter dan stabilitas sistem pembayaran.

Meski suku bunga acuan BI naik dan berpotensi mendorong moderasi perekonomian domestik dalam cakupan makroekonomi, di saat bersamaan BI juga tetap melanjutkan kebijakan makroprudensial yang longgar hingga akhir tahun 2023, yakni uang muka (DP) kredit kendaraan bermotor (KKB) 0 persen dan loan to value KPR sebesar 100 persen.

“Artinya, masyarakat yang baru mau mengambil kredit KPR atau KKB berpeluang membayar DP yang cenderung rendah dan dimungkinkan untuk 0 persen tergantung dari risk appetite masing-masing bank,” jelas Josua.

Menurut Josua, tidak bisa dipungkiri kenaikan suku bunga akan berpengaruh terhadap permintaan kredit. Meski demikian, kebijakan makroprudensial BI diharapkan mampu meredam dampak kenaikan suku bunga tersebut, sehingga pertumbuhan kredit bisa cukup solid.

Dia mendasarkan analisis pada indikasi non-performing loan (NPL) kredit konsumsi termasuk NPL KPR dan NPL KKB, yang cenderung tetap rendah. Bahkan lebih rendah dari kredit produktif dan total kredit.

Menurut dia, pada umumnya kenaikan suku bunga berpotensi membatasi permintaan kredit. Namun, dengan bauran kebijakan BI, kebijakan makroprudensial yang tetap longgar, diharapkan momentum pertumbuhan kredit termasuk kredit KKB dan KPR akan tetap solid.(RM.ID)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *