Usia 194 tahun Lebak ternyata masih menyisakan banyak PR, mulai dari kemiskinan, pengangguran, kesehatan dan juga masalah tingginya angka kekerasan dan pelecehan seksual. Dalam hal kekerasan terhadap perempuan dan anak, Kabupaten Lebak terus mengalami peningkatan angka laporan. Menjelang usia 2 abad, Lebak terlihat makin ‘keras’ dan tidak ramah anak.
Lebak yang memiliki ciri khas religius ini harus melihat permasalahan ini sebagai salah satu hal yang harus diprioritaskan penyelesaiannya. Hal ini dikarenakan, permasalahan pelecehan dan kekerasan seksual itu tidak hanya selesai dengan dihukumnya pelaku, namun dapat menimbulkan efek trauma. Sebab itu, perlu ada pengalokasian anggaran khusus dalam segi penanganan trauma bagi para penyintas kekerasan dan pelecehan seksual tersebut, khususnya bagi anak-anak.
Salah satu Pegiat Pattiro Banten yang berfokus kepada kekerasan terhadap anak, Martina Nursaprudianti mengatakan, sesuai dengan kajian yang pihaknya lakukan, angka kekerasan di Kabupaten Lebak meningkat tiap tahunnya. Menurutnya, hal tersebut tentu sangat memprihatinkan karena melihat predikat KLA tingkat Madya yang diberikan kepada Kabupaten Lebak seperti hanya penghargaan seremonial saja.
Ia menyampaikan, berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Lebak berada di peringkat ketiga tertinggi kasus kekerasan terhadap anak di Banten dengan jumlah 140 kasus, naik sebesar 106 persen dari tahun 2021. Selain itu, dapat disimpulkan juga, di Lebak dalam setiap 2 hari terjadi 1 kasus kekerasan terhadap anak. Angka yang sangat tinggi mengingat adanya potensi fenomena gunung es, dimana masih banyak kasus yang belum dilaporkan.
“Situasi saat ini anak-anak Lebak sangat rawan terhadap kekerasan dan pelecehan seksual, hal ini perlu menjadi perhatian kita bersama, terutama UPTD PPA sendiri, perlu adanya penanganan yang berkelanjutan bagi penyintas kekerasan,” kata Martina Kepada BANPOS, Kamis(1/12).
Martina menjelaskan, pelanggaran pelecehan seksual kini dapat terjadi dimanapun, dan melalui apapun, di tempat umum, di tempat tertutup, secara verbal maupun non-verbal. Payung hukum dari penindakan pelaku pelecehan seksual sendiri tertera pada Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP) dalam Buku Kedua tentang Kejahatan, Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan (Pasal 281 sampai Pasal 303). Menurutnya, regulasi yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah pusat tidak cukup, pemerintah daerah perlu mengeluarkan peraturan terkait pencegahan dan penanganan kekerasan pada perempuan dan anak, dengan disertai komitmen yang kuat. Dengan disiapkannya Raperda Kabupaten Layak Anak di Lebak, tentu membawa angin segar bagi keselamatan dan kenyamanan anak. Hal itu harus segera diselesaikan dan dipraktekkan di tiap-tiap sektor wilayah.
“Jangan sampai Perda KLA yang sedang dipersiapkan nantinya menjadi pajangan saja, harus diimplementasikan agar anak mendapat keamanan baik di rumah, sekolah maupun di ruang publik,” jelasnya.
Ia menerangkan, berdasarkan data yang dimiliki oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Lebak, sejak Januari hingga Oktober terdapat kasus kekerasan kepada anak sejumlah 35 orang, Sedangkan Rumah Perempuan dan Anak (RPA) Lebak mencatat yakni sebanyak 15 kasus pelecehan dan kekerasan. Kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi terakhir yang telah dilakukan oleh orangtuanya sendiri.
“Tentu saja ini sangat memprihatinkan, seperti tidak ada tempat yang layak untuk anak, pemerintah harus segera mengevaluasi terkait implementasi KLA di Lebak,” ujarnya.
Senada dengan Martina, Pegiat Pattiro Banten yang juga terjun langsung dalam perkembangan perlindungan Perempuan juga menyatakan ada permasalahan terkait perlindungan anak dan perempuan di Kabupaten Lebak.
Menurutnya, berdasarkan data Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Lebak, pada Oktober 2022, kasus kekerasan seksual berjumlah 45 kasus.
“Pada 30 November, jumlahnya bertambah menjadi 70 kasus. Mirisnya, sebagian besar kasus tersebut yang paling dominan kasus kekerasan seksual dibawah usia lima tahun,” ungkapnya.
Monica mengatakan, maraknya kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak di Kabupaten Lebak menimbulkan adanya fenomena gap gender. Hal tersebut merupakan kondisi dimana adanya perasaan superioritas dan relasi kuasa antara satu gender ke gender yang lain yang kemudian menciptakan adanya kesenjangan gender.
“Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi seperti kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan psikis, eksploitasi manusia dan lain-lain,” kata Monica.
Ia menjelaskan, hal tersebut muncul disebabkan oleh budaya patriarki dan konstruksi sosial atau norma-norma sosial yang masih kental di masyarakat, serta perhatian pemerintah dan berbagai lapisan masyarakat.
Ia berharap, Kabupaten Lebak yang sudah memasuki usia hampir dua abad tersebut, lebih serius dalam memperhatikan dan menangani permasalahan yang dihadapi oleh perempuan.
Terpisah, Sekretaris Umum Rumah Perempuan dan Anak (RPA) Lebak, Ratu Nisya mengatakan, pihaknya menyoroti kinerja dari Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) PPA Kabupaten Lebak . menurutnya, UPTD PPA Lebak yang seharusnya bekerja secara profesional justru mengabaikan dan bekerja dibawah standarisasi yang ada. Problematika perempuan dan anak ini yang seharusnya langsung cepat dapat diselesaikan, justru makin lambat karena kinerja UPTD PPA yang dinilainya buruk.
Ratu menerangkan, sesuai UU TPKS, korban kasus pelecehan dan kekerasan seksual baik dari hak korban sampai dengan keluarga korban jelas terpampang. Pengawalan kasus bukan hanya sampai pada penjengukan korban ke lokasi kediaman korban, namun lebih dari itu, pengawalan proses pelaporan sampai pengawalan pendampingan korban, baik dari pendampingan pemulihan psikis sampai persidangan itu menjadi tanggung jawab UPTD PPA.
“Berdasarkan dari hasil kajian dan pengamatan kami, hak-hak diatas tersebut terabaikan oleh UPTD PPA. Maka dari itu saya menyatakan mosi tidak percaya atas kinerja UPTD PPA Kabupaten Lebak,” kata Ratu.
Ratu menduga, terdapat ketidakharmonisan antara UPTD PPA dengan Dinas DP3AP2KB yang seharusnya menjadi induk dalam pekerjaannya justru memecah belah. Menurutnya, Kepala Dinas DP3AP2KB harus lebih tegas dan mampu menyelesaikan permasalahan internal.
“Ada apa sebenarnya dengan UPTD PPA dan unsur pimpinan Dinas yang masih mempertahankan orang yang tidak bekerja sesuai prosedur dan profesional, sehingga melahirkan banyak permasalahan di Kabupaten Lebak,” ucapnya geram.
“Di usia 194 Tahun Kabupaten Lebak, harus dilakukan evaluasi besar-besaran atas kemunduran ditengah kemajuannya selama ini agar apa yang menjadi harapan bersama akan secara maksimal terlaksana,” imbuhnya.
Sementara itu, Kabid Perlindungan Anak DP3AP2KB, Euis Sulaeha mengatakan, pihaknya sedang mendorong percepatan penetapan Perda KLA di Kabupaten Lebak dengan mulai membentuk Satuan Tugas KLA. Menurutnya, antusiasme para pegiat anak sangat besar dengan adanya Perda tersebut.
“Iya kita terus berupaya, kita ikhtiarkan bersama demi kebaikan anak,” kata Euis saat dikonfirmasi BANPOS di ruang kerjanya.
Euis menjelaskan, pihaknya tidak akan mengelak tentang meningkatnya kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di Kabupaten Lebak. Menurutnya, hal tersebut dikarenakan mulai munculnya kesadaran masyarakat akan pentingnya melakukan pelaporan ketika adanya tindak kekerasan terhadap anak.
“Saat ini masyarakat sudah mulai paham dengan jenis-jenis kekerasannya, tata cara melapor dan juga pihak mana yang dapat menerima aduan. Peningkatan data tersebut karena masyarakat sudah berani lapor, itu bagus untuk memudahkan penanganan,” jelas Euis.
Saat dikonfirmasi terkait ketidak harmonisan dengan UPTD PPA, ia enggan banyak berkomentar. Menurutnya, pihaknya selalu berupaya memberikan pelayanan terbaik untuk masyarakat.
“Sudah sesuai tugasnya masing-masing, mereka fokus ke penanganan, kami fokus ke pencegahan,” tandasnya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun BANPOS, kasus kekerasan terhadap perempuan hingga akhir November 2022 diantaranya ialah, KDRT sebanyak 50 kasus, TPPO sebanyak 1 kasus dan pelecehan seksual anak sebanyak 45 kasus.
“Korbannya itu antara suami istri, orang tua ke anak kandung dan tiri, pacar dibawah umur, paman ke keponakan, guru ke murid, ustadz ke santriwati dan masih banyak lagi,” kata Kabid PUK dan PP DP3AP2KB Lebak, Rt. Imas Trisnawati.
Imas menjelaskan, mayoritas kekerasan yang terjadi ialah pemukulan fisik, penelantaran, pemerkosaan hingga penipuan terhadap pekerja perempuan. Menurutnya, hal tersebut terjadi di berbagai tempat yang membuat perempuan merasa tak ada lagi tempat yang nyaman. Aktivitas bersiul, mengedipkan mata, berjabat tangan secara tak wajar pun dapat dikenakan pidana.
“Sebenarnya, di tempat kerja pun kadang sering terjadi, Cuma belum ada pelaporan saja,” jelasnya.
Ia menerangkan, peran perempuan dalam masyarakat lebih sering dilihat dari kemampuan fisiknya, yang kemudian berpengaruh pada kedudukannya. Patriarki menempatkan perempuan sebagai manusia kedua membuat kesempatan baginya seolah menipis disetiap sektor kehidupan. Menurutnya, peran perempuan sangat dibutuhkan untuk memajukan suatu bangsa. Perempuan harus diberi akses untuk selalu beraktivitas di ranah publik.
“Kalau PA punya KLA, kita punya Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak. Insyaallah kita selesaikan tahun depan demi kebaikan kita bersama, karena anak tak pernah lepas dari peran perempuan,” tandasnya.
BANPOS mencoba menghubungi Pihak UPTD PPA untuk mengkonfirmasi isu ketidakharmonisan antara pihaknya dengan Dinas. Namun BANPOS tak mendapatkan respon. (CR-01/PBN)
Tinggalkan Balasan