IKLIM demokrasi di Provinsi Banten dinilai tengah dalam ancaman. Bukan hanya karena isu telah disahkannya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru, melainkan karena adanya ‘kolaborasi jahat’ antara pemerintah daerah di Banten, dengan oknum-oknum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang membayang-bayangi rakyat dengan delik pidana, aduan, sengketa hingga ancaman gugatan pengadilan.
Berdasarkan berbagai sumber BANPOS, oknum-oknum LSM tersebut bertugas sebagai ‘dewa pelindung’ dari penguasa Banten saat ini, yakni Penjabat Gubernur Banten, Al Muktabar, serta sejumlah pejabat lainnya di lingkungan Pemprov Banten. Mereka memiliki tugas untuk mengganggu siapapun, yang mengganggu singgasana Al Muktabar, dan sejumlah pejabat tersebut.
Bak tim jagal khusus, oknum-oknum LSM itu berani untuk menghadapi siapapun. Bahkan, sekelas lembaga Ombudsman yang berdasarkan Undang-undang memiliki imunitas dalam menjalankan tugasnya. Meski memiliki imunitas, oleh oknum-oknum LSM tersebut Ombudsman tetap diseret ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), karena telah berani mencolek singgasana Al, dan salah satu OPD yang disebut berada di bawah perlindungannya.
Adalah Ombudsman Pusat yang berani mencolek singgasana Al. Melalui Hasil Akhir Pemeriksaan atas laporan pengaduan koalisi LSM, Ombudsman Pusat menilai terdapat tiga maladministrasi dalam pengangkatan Pj Kepala Daerah. Atas hasil pemeriksaan itu, Ombudsman merekomendasikan sejumlah tindakan korektif kepada Mendagri selaku terlapor.
Namun, Hasil Akhir Pemeriksaan tersebut justru digugat oleh oknum LSM tersebut ke PTUN Jakarta. Bahkan, hal tersebut juga dilaporkan ke Bareskrim Polri dengan tudingan telah melakukan penyalahgunaan wewenang. Untuk gugatan di PTUN Jakarta berdasarkan situs Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta, saat ini masih berlangsung. Sementara untuk laporan ke Bareskrim Polri, hingga saat ini BANPOS masih belum berhasil mendapatkan konfirmasi.
Senasib dengan Ombudsman Pusat, Ombudsman Perwakilan Provinsi Banten turut menjadi korban ‘keganasan’ oknum LSM tersebut. Berbeda dengan pusat yang digugat lantaran mencolek singgasana Pj Gubernur Banten, Ombudsman Perwakilan Provinsi Banten diduga mendapat gugatan lantaran berani mencolek salah satu OPD yang mendapat perlindungan dari oknum LSM itu.
Pada saat itu, Ombudsman merilis terkait dengan temuan adanya siswa ‘siluman’ pada pelaksanaan PPDB tahun 2021. Siswa siluman itu bahkan mencapai 4 ribuan orang, dan diterima melebihi batas kuota rombongan belajar (Rombel) masing-masing siswa. Rilis itu diungkap pada awal Juli 2022, setelah pelaksanaan PPDB tahun 2022 usai.
Selang beberapa waktu, pada 23 Agustus 2022, Ombudsman Provinsi Banten digugat ke PTUN Serang. Bukan soal temuan mereka akan adanya siswa siluman, namun untuk permasalahan lainnya yang sebelumnya telah digugat juga, namun dicabut oleh oknum LSM tersebut. Gugatan tersebut berkaitan dengan dugaan Perbuatan Melawan Hukum berupa tidak menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai perkembangan penyelesaian laporan pengaduan.
Gugatan serupa juga pernah disampaikan oleh oknum LSM tersebut ke PTUN Serang pada Maret 2022. Namun gugatan tersebut hanya bertahan satu kali persidangan, kemudian dicabut oleh oknum LSM tersebut pada April 2022.
Salah satu sumber BANPOS mengatakan, praktik tersebut merupakan hal yang lumrah dilakukan oleh oknum-oknum LSM, untuk menakut-nakuti lawan mereka. Mulai dari pengaduan ke polisi dan kejaksaan, menggugat ke pengadilan, hingga melakukan gugatan sengketa informasi. Selain menakut-nakuti, hal itu juga jadi alat untuk mengganggu dan merepotkan pihak-pihak tersebut.
“Tujuan mereka adalah supaya yang digugat, dilaporkan, diadukan, disengketakan itu mau ‘berdamai’ dengan oknum tersebut. Ini praktik lumrah sebenarnya, cara mendasar untuk menggunakan hukum-hukum yang ada untuk dijadikan alat untuk ‘ngampak’,” ujarnya kepada BANPOS.
Sementara itu, Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) Cabang Serang, Ega Mahendra, mengatakan bahwa adanya dugaan praktik dari oknum-oknum LSM yang menggunakan hak untuk melapor, mengadu, menggugat, melakukan sengketa informasi untuk memukul pihak-pihak yang melakukan kritik dan koreksi terhadap pemerintahan, merupakan kolaborasi jahat untuk membungkam demokrasi.
“Dalam demokrasi, dalam konstitusi negara kita, menyampaikan pendapat adalah hak yang mendasar dimiliki oleh masyarakat. Tidak ada yang boleh membredelnya, termasuk menggunakan cara-cara yang legal meski licik, seperti mengadukan ke polisi tanpa dasar yang jelas, menggugat ke pengadilan meskipun tidak jelas juga gugatannya, hanya untuk mengganggu dan merecoki orang-orang,” ujarnya, Kamis (8/12).
Menurut Ega, hal itu justru akan membuat citra Pemprov Banten sebagai pemerintahan yang antikritik, di bawah kepemimpinan Penjabat Gubernur Al Muktabar. Meskipun Ega mengakui, belum tentu berbagai upaya pembredelan dan aksi ‘centeng’ tersebut berdasarkan perintah dan arahan dari Al Muktabar.
“Bisa saja itu merupakan inisiatif dari oknum-oknum tertentu. Namun jika memang ini merupakan peristiwa yang terkoordinasi, massif dan direncanakan oleh pihak-pihak termasuk pak Al, maka jelas ini merupakan pemufakatan jahat, kolaborasi jahat untuk membungkam demokrasi, merusak kebebasan masyarakat dalam berpendapat,” tegasnya.
Isu terkait kolaborasi jahat itu menurutnya, mulai terungkap pada perkara dugaan pencurian listrik di SMAN 2 Pandeglang, pada saat pelaksanaan siniar antara Calon Pengawas (Cawas) yang juga merupakan guru di SMAN 2 Pandeglang, NFK, bersama dengan Banten Podcast yang membicarakan terkait lambatnya pengangkatan Cawas dan Calon Kepala Sekolah (Cakep).
“Kami menduga bahwa ini merupakan upaya untuk mencari-cari kesalahan terhadap NFK, yang berani menyuarakan aspirasi dari ratusan Cakep dan Cawas se-Banten yang tak kunjung dilantik. Karena kontennya tidak bisa digugat, maka yang dijadikan kesalahan adalah pencurian listrik. Sangat tidak nyambung,” katanya.
Menurut Ega, hal itu jelas-jelas merupakan pembungkaman demokrasi, karena tidak ada yang salah dari isi podcast itu. Menurut dia, NFK hanya mencurahkan isi hatinya sebagai seorang guru, dan pengaduan kepada pihak Kepolisian pun tidak ada sangkut pautnya dengan isi konten.
“Ini adalah contoh satu orang Cawas yang mencurahkan isi hatinya, malah dicari-cari masalah. Kritik itu bagus, tapi karena sudah dibayang-bayangi oleh delik hukum, maka kami pun yakin bahwa ratusan Cawas dan Cakep akan terus bungkam, meskipun ibaratnya satu tahun ke depan tetap tidak dilantik,” ucapnya.
Dalih pelapor yang menggunakan penjelasan-penjelasan hukum untuk menyatakan bahwa hal itu hanyalah pengaduan, belum ada yang teradu, hanya undangan klarifikasi dari Kepolisian dan semacamnya, hanyalah penjelasan ‘ngeles’ saja menurutnya untuk menutupi bahwa betul adanya dugaan upaya kriminalisasi.
“Kita semua tau kok, dalam proses hukum seperti itu mayoritas berangkat dari status saksi dulu. Baru apabila memang ada dugaan tindak pidana, naik menjadi tersangka. Masuk ke pengadilan, jadi terdakwa. Diputus hakim bersalah, jadi terpidana. Artinya, mau itu laporan masih di tahap apapun, patut diduga merupakan upaya kriminalisasi. Dan wajar jika NFK merasa takut dan terintimidasi, karena yang mengundang klarifikasi itu Polisi. Bagi mereka yang tidak biasa dengan kepolisian, dapat dipastikan dia akan takut,” tegasnya.(DZH/ENK)
Tinggalkan Balasan