Kredit Macet Pinjol Capai Rp 1,49 Triliun

INDONESIA, BANPOS – Financial technology (fintech) Peer to Peer (P2P) lending mesti lebih hati-hati saat mengucurkan pinjaman ke nasabah. Sebab, kredit macet pinjol alias pinjaman online meningkat.

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan, masih banyak pinjol legal yang memiliki TKB90 (Tingkat Keberhasilan Bayar) di kisaran 30 persen.

Sedangkan kredit macet fintech lending mencapai Rp 1,49 triliun per September 2022 atau naik sebesar 9,55 persen secara bulanan (month-to-month) dibanding bulan sebelumnya, sebesar Rp 1,36 triliun.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko mengakui, rasio Non Performing Finance/NPF Fintech berpotensi mengalami peningkatan.

Terutama di tengah situasi global dan kemungkinan terjadinya resesi di masa mendatang.

“Namun, kami melihat bahwa rasio kredit macet di industri fintech pendanaan sejauh ini masih dalam kategori aman,” ucap Sunu kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Sunu merujuk data OJK pada September 2022, yang menyampaikan TKB90 industri fintech lending sebesar 96,93 persen. Dan TWP90 (Tingkat Wanprestasi pengembalian pinjaman untuk 90 hari) di fintech di angka 3,07 persen.

“Ini artinya tergolong cukup baik, meski ada sedikit peningkatan dari bulan sebelumnya,” tutur Sunu.

Ia melihat, pandemi Covid-19 yang telah berlangsung tiga tahun belakangan ini sukses mengakselerasi pemanfaatan teknologi digital oleh masyarakat. Termasuk di sektor keuangan, sehingga mampu meningkatkan penetrasi fintech pendanaan di Indonesia.

“Imbasnya, kredit macet juga cenderung naik ketika terjadi penambahan jumlah penyaluran dan pertumbuhan borrower secara signifikan. Hal ini bisa terlihat dari kondisi penyaluran pendanaan yang terus tumbuh sejak industri fintech hadir,” klaim Sunu.

Pada 2018 misalnya, dia menyebut, penyaluran pendanaan oleh industri fintech pendanaan masih sebesar Rp 20 triliun. Seiring berjalannya waktu, jumlah pendanaan terus berkembang menjadi Rp 58 triliun pada 2019, Rp 73 triliun pada 2020, dan Rp 155 triliun pada 2021.

“AFPI sebagai asosiasi menaruh perhatian lebih terhadap fenomena ini, untuk menjaga kepercayaan para lender,” ujarnya.

Sebab, sambung Sunu, AFPI berkomitmen membangun industri fintech pendanaan yang kredibel untuk berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, pihaknya merancang strategi demi mengatasi bayang-bayang kredit macet dari beberapa penyelenggara.

“Saat ini kami sedang menganalisis lewat studi internal, apakah beberapa platform dengan kredit macet tinggi memiliki pengaruh terhadap industri secara keseluruhan, atau apakah ada efek pareto atau tidak,” tuturnya.

AFPI juga telah mengembangkan Fintech Data Center (FDC) yang mengintegrasikan data antara penyelenggara satu dengan lainnya. FDC digunakan untuk menghindari terjadinya fraud, serta mencegah jumlah pinjaman berlebih.

Termasuk untuk mengetahui status kelancaran pinjaman saat ini dan kualitas pembayaran pada pinjaman sebelumnya. “Dengan demikian, AFPI dapat mengantisipasi kredit macet,” kata Sunu.

Terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, naiknya kredit macet di fintech sebenarnya tak jauh berbeda dengan yang terjadi di perbankan.

Menurut Bhima, tantangan terbesar industri keuangan akan terjadi pada kuartal I-2023, karena Indonesia mulai memasuki tahun politik.

“Tahun politik bisa saja memberi dampak investasi terganggu. Karena banyak perusahaan yang mungkin wait and see dulu untuk mencairkan pinjamannya sambil melihat situasi politik,” kata Bhima kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Untuk menekan kredit macet, Bhima menyarankan kepada para perusahaan pinjol, agar lebih hati-hati. Yakni, hanya memberi pinjaman kepada calon nasabah yang mumpuni. Langkah ini untuk menjaga agar rasio kredit macet tidak meningkat.

“Sejumlah penilaian yang terus menjadi perhatian adalah keadaan keuangan calon peminjam, kelayakan serta validitas invoice dan riwayat kredit secara komprehensif,” imbaunya.

Menurutnya, bunga kredit yang tinggi juga bisa menjadi penyebab minimnya kemampuan bayar nasabah. Diakuinya, jika saat ini di Indonesia mengalami fenomena sulit turunnya bunga kredit, karena ada beberapa faktor. Salah satunya teori interest rate rigidity.

“Ketika Bank Indonesia (BI) beberapa tahun terakhir melakukan penurunan bunga acuan, suku bunga kredit industri sangat lambat meresponsnya,” ucapnya.

Interest rate rigidity artinya ada kekakuan dari bank atau perusahaan peminjaman untuk mengikuti arah dari penurunan suku bunga acuan.

Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK Ogi Prastomiyono mengatakan, terdapat 22 pinjol yang memiliki tingkat wanprestasi di atas 5 persen. Pihaknya pun menegaskan para pelaku pinjol tersebut masuk dalam pengawasan OJK.

Ogi menyebutkan, dari 102 perusahaan pinjol, sebanyak 41 pinjol sudah mengalami keuntungan. Sedangkan sebanyak 61 perusahaan masih merugi. Dari perusahaan merugi tersebut, tiga perusahaan memiliki ekuitas yang negatif.

“Ini menjadi perhatian dari pengawas OJK untuk mengawasi perusahaan tersebut,” katanya dalam keterangan pers, Selasa (6/12).

Namun demikian, sambung Ogi, secara agregat tingkat TWP90 masih dalam batas terkendali, yakni sebesar 2,9 persen pada Oktober 2022. Sedikit membaik dibandingkan capaian September lalu sebesar 3,07 persen.

Ogi meyakini, potensi pendanaan dari pinjol sangatlah besar. Outstanding penyaluran pinjaman P2P Lending pada September 2022 naik sebesar Rp 1,51 triliun, atau tumbuh sebesar 77,3 persen yoy (year on year).

Penyaluran pinjaman dari sektor industri ini mampu tumbuh rata-rata sebesar 68,05 persen per tahun.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *