JAKARTA, BANPOS – Perdana Menteri (PM) Belanda Mark Rutte mengajukan permintaan maaf atas nama negara Belanda atas perdagangan budak selama ratusan tahun di negara koloninya termasuk Indonesia, Senin (19/12). Mereka menyadari jika perbudakan adalah jenis kejahatan terhadap kemanusiaan.
Anggota Komisi I DPR Nurul Arifin menyatakan, permintaan maaf adalah satu hal. Namun, pengalihan relokasi aset perlu ada perhitungannya. Sebab, ada banyak aset budaya penting milik bangsa Indonesia yang hingga kini masih dikuasai oleh Belanda.
“Kolonialisasi Belanda itu berlangsung ratusan tahun. Banyak kekayaan alam bangsa jajahan terutama Indonesia yang dikeruk mereka selama masa-masa tersebut,” ujar Nurul dalam keterangannya, kemarin.
Bahkan, kata Nurul selama 250 tahun tersebut Belanda telah melakukan pembatasan pembangunan sumber daya manusia di negara jajahannya, termasuk Indonesia. “Hal ini harus pula diperhitungkan, karena mereka berutang banyak setelah mengambil kekayaan negara jajahannya, juga melakukan pembodohan,” ucap Politikus Golkar ini.
Untuk itu, Nurul mendesak Kerajaan Belanda melakukan sesuatu yang lebih riil dari sekadar hanya pernyataan maaf tersebut. Seperti mengembalikan aset-aset bangsa Indonesia yang masih mereka kuasai. “Ini untuk menebus kesalahan mereka di masa lalu yang dirasakan oleh beberapa generasi rakyat Indonesia,” imbuhnya.
Sementara, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mendorong Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) untuk membicarakan secara spesifik pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan Belanda terhadap warga Indonesia. Kemenlu kudu serius menuntut agar mereka tidak hanya meminta maaf dan mengakui de facto kemerdekaan.
“Tapi juga segera mengakui secara resmi dan de jure atau hukum kemerdekaan Negara Indonesia dari penjajahan Belanda adalah pada tanggal 17 Agustus 1945, bukan tanggal 27 Desember 1949,” tegas Hidayat dalam keterangannya, kemarin.
Hidayat menuturkan, permohonan maaf ini memang ditujukan secara umum terhadap negara-negara koloni Belanda di masa lalu. Oleh karenanya, perlu dibahas secara spesifik mengenai Indonesia. “Ada banyak yang perlu diklarifikasi dan kepentingan Indonesia perlu diperjuangkan,” tukasnya.
Pria yang akrab disapa HNW ini mengungkap sikap permohonan maaf Belanda ini bukan kali yang pertama. Sebelumnya, Raja Belanda pada 10 Maret 2020 dan PM Rutte pada 17 Februari 2022 juga telah meminta maaf atas kekerasan ekstrem yang dilakukan militer Belanda pada periode 1945 sampai dengan 1949.
Kekerasan dan pelanggaran HAM pada periode sebelum 1945 yakni periode penjajahan juga perlu dibahas. Di mana banyak rakyat Indonesia tewas akibat tindak kolonialisme kerajaan Belanda, seperti melalui tanam paksa atau kerja rodi.
“Kemenlu perlu menyisir ulang peristiwa pelanggaran HAM oleh Belanda pada periode kolonialisasi di Indonesia, dan mendiskusikan penyelesaiannya atau reparasi dengan pihak Belanda,” tegasnya.
Ia mencontohkan kasus pembantaian Rawagede oleh militer Belanda. Di mana Pengadilan Belanda memutus militer Belanda membayar ganti rugi kepada korban 20 ribu euro (Rp 240 juta) untuk janda korban pembantaian Rawagede.
Kasus Rawagede ini, lanjut HNW, tentunya hanya salah satu kasus kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi oleh Belanda terhadap Indonesia. Tentunya, ada banyak kasus sejenis lainnya, seperti pembantaian oleh Westerling di Sulawesi Selatan (Sulsel) dengan jumlah korban yang sangat besar. Bagaimana hak atas pemulihan dan reparasi langsung (direct reparations) bagi korban atau keluarganya yang masih hidup terhadap pelanggaran HAM tersebut.(PBN/RMID)
Tinggalkan Balasan