JAKARTA, BANPOS – Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tentang Cipta Kerja tertanggal 30 Desember 2022 atau Perppu Cipta Kerja dinilai inkonstitusional dan tidak substantif.
Pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia Anang Zubaidy menilai, keputusan Pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja, tidak tepat.
“Penerbitan Perppu tidak relevan untuk menyelesaikan problem yuridis yang sudah diputuskan oleh MK,” katanya.
Anang mengatakan, Perppu tidak menyelesaikan persoalan formal pada Undang-Undang Cipta Kerja sebagaimana yang diputuskan MK. Undang-Undang Cipta Kerja dinilai bermasalah dari sisi pembentukan.
“Sebenarnya putusan MK kemarin menyatakan inkonstitusional bersyarat dari sisi formil, dari sisi pembentukannya. Menurut saya, tidak bisa diselesaikan dengan Perppu,” katanya.
Anang menuturkan, penerbitan Perppu merupakan kewenangan pemerintah yang intinya adalah tindakan subjektif. Pemerintah dalam hal ini adalah presiden. Perppu dikeluarkan ketika dinilai ada kondisi mendesak.
“Pertanyaannya, yang mendesak dari sisi apa? Aspek substansi. Kan MK belum pernah menguji aspek substansinya, baru menguji aspek formal, proseduralnya. Yang itu menurut MK bermasalah, sehingga perlu diperbaiki,” ujarnya.
Oleh sebab itu, perbaikan yang patut dilakukan pemerintah adalah membahas ulang Undang-Undang Cipta Kerja bersama DPR, berdasarkan catatan perbaikan yang telah dikemukakan MK.
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Padang, Feri Amsari menilai, Perppu belum dibutuhkan karena tidak ada kegentingan yang memaksa. Menurutnya, alasan dampak perang Rusia Ukraina sebagai dalih dari Pemerintah tidak relevan.
Dia mengingatkan, Mahkamah Konstitusi (MK) mengamanatkan perbaikan UU dalam jangka waktu dua tahun hingga 25 November 2023. Bukan dengan penerbitan Perppu. “Ini jelas-jelas langkah inkonstitusional yang ditempuh oleh presiden,” ujar Feri.
Ahli Hukum Tata Negara, Refly Harun mengatakan, seharusnya DPR menolak Perppu yang diterbitkan Jokowi. Menurutnya, Perppu itu juga sebetulnya bisa dibatalkan oleh MK. Namun, Refly pesimis dengan kondisi MK saat ini.
“Secara teoritis Perppu itu bisa dibawa ke MK lagi dan MK bisa batalkannya kalau committed dengan putusan terdahulu. Kalau MK sudah masuk angin lain soal, kan MK sudah berubah komposisinya,” imbuhnya.
Anggota Komisi IX Fraksi PKS, Kurniasih Mufidayati menilai, dalih kondisi global di balik penerbitan Perppu mengada-ngada. Pasalnya, Presiden Jokowi baru saja membanggakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia paling tinggi di antara negara-negara G20.
“Jika terkait kondisi global ada inkonsistensi. Presiden Jokowi baru saja membanggakan pertumbuhan ekonomi Indonesia paling tinggi di antara negara G20. Tapi jika jadi alasan penerbitan Perppu, seolah-olah kondisi Indonesia darurat dan underperform. Jadi kegentingan apa yang membuat Perppu ini hadir,” kata Kurniasih.
Dia juga menyatakan, Perppu Cipta Kerja inkonsisten dengan hasil putusan MK. Sebab, kata dia, Pemerintah mestinya memperbaiki UU Nomor 11 Tahun 2020 yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK.
“Yang harus dilakukan Pemerintah adalah memperbaiki UU No 11 Tahun 2020 yang inkonstitusional bersyarat sesuai dengan arahan Mahkamah Konstitusi. Bukan dengan jalan pintas menerbitkan Perppu,” kata dia.
Ketua DPP Golkar Ace Hasan Syadzily menilai, langkah Jokowi menerbitkan Perppu Ciptaker sudah tepat. Usai UU Ciptaker terhadang Judicial Review (JR) di Mahkamah Konstitusi (MK), Perppu merupakan aturan yang tepat untuk memberikan kepastian hukum bagi dunia usaha.
Ace menganggap, situasi saat ini memerlukan terobosan hukum yang memberikan kepastian terkait transformasi struktural. Khususnya, dalam mengantisipasi situasi dan perekonomian global yang diprediksi belum pasti.
“Kita memerlukan langkah-langkah yang cepat dengan payung hukum yang kuat dalam mengambil kebijakan ekonomi agar kita dapat mengantisipasi berbagai tantangan dan melahirkan kepercayaan dunia usaha dalam pemulihan perekonomian kita,” ujar Wakil Ketua Komisi VIII itu.
Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti mengungkapkan, Perppu Cipta Kerja diharapkan mampu memberikan kepastian hukum bagi para pengusaha dan investor yang hendak berinvestasi di Indonesia.
“Investor butuh kepastian hukum di tahun-tahun politik, jangan sampai ganti pimpinan ganti regulasi,” tegas Esther, Jumat (30/12).
UU Cipta Kerja jelas telah sangat membantu perekonomian nasional di tengah ancaman krisis dan ketidakpastian global.
“Faktanya, dengan Undang-Undang Cipta Kerja memangkas banyak pasal-pasal,” kata Dosen FEB Universitas Diponegoro itu.
Menurutnya, efek nyata dari UU Cipta Kerja yang nyata peningkatan realisasi investasi setelah pengesahan UU Cipta Kerja. Ada sekitar 80 undang-undang dan lebih dari 1.200 pasal bisa direvisi, sekaligus hanya dengan satu UU Cipta Kerja yang mengatur multisektor.
Menurutnya, ada peningkatan realisasi investasi di Indonesia setelah Undang-Undang Cipta Kerja disahkan, baik Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Pemerintah menargetkan total investasi yang masuk pada tahun 2022 sebesar Rp1.200 triliun dan diharapkan terus meningkat hingga Rp1.600 triliun di 2024.
“Artinya, Undang-Undang Cipta Kerja memberikan kemudahan persyaratan dan perizinan investasi dampaknya semakin terasa,” kata Esther.
Esther menjelaskan, Undang-Undang Cipta Kerja beserta peraturan turunannya dapat menarik investasi untuk mengembangkan hilirisasi dalam negeri sehingga tercipta nilai tambah.
Kendati demikian, Esther menekankan pentingnya sosialisasi sampai ke daerah, pengawasan, dan evaluasi pada pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja. Selain itu, tak kalah penting adalah sinkronisasi aturan agar tidak lagi terjadi tumpang-tindih.
“Tanpa ada monitoring evaluasi pelaksanaan sampai ke daerah Undang-Undang Cipta Kerja akan tidak optimal,” ungkapnya.(PBN/RMID)
Tinggalkan Balasan