SERANG, BANPOS – Pengaduan Pers yang masuk ke Dewan Pers sepanjang tahun 2022 mencapai 691 kasus. Jumlah tersebut meningkat sedikit dari tahun 2021 yang sebanyak 621, dan sebanyak 97 persen aduan yang masuk ke Dewan Pers tersebut terkait dengan sengketa pemberitaan, berasal dari media digital atau media online.
Demikian diungkapkan oleh Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers pada Dewan Pers, Yadi Hendriana, dalam konferensi pers ‘Dewan Pers Menyapa’ pada Selasa (17/1).
Yadi menjelaskan, pihaknya menyoroti bahwa saat ini merupakan era disrupsi, sehingga media online merupakan media yang dapat dengan cepat menjangkau banyak orang, atau borderless. Bersasarkan jenis pelanggarannya, salah satunya adalah verifikasi.
“Berapa persen? Hampir 97 persen yang dilakukan oleh media online. Artinya apa? Artinya kita harus berbenah,” ujarnya.
Menurutnya, beberapa media yang dilaporkan adalah tidak melakukan verifikasi. Meskipun demikian, untuk tingkat penyelesaian kasus atau sengketa pada tahun 2022 mencapai sekitar 96 persen atau di atas 631 kasus yang sudah diselesaikan.
“Karena ilmu yang paling dalam dan harus dilakukan oleh pers adalah dalam setiap karyanya adalah verifikasi, verifikasi, dan verifikasi. Tapi untuk penyelesaian sengketa sudah sekitar 96 persen atau 631 kasus,” jelasnya.
Selain pelanggaran verifikasi, jenis pelanggaran media online kedua yang yang dilaporkan yaitu adanya berita yang sifatnya hoaks dan fitnah. Maka, Yadi menegaskan bahwa Dewan Pers tidak menganggap berita hoaks dan fitnah adalah karya pers.
“Itu justru adalah karya yang merusak pers. Jadi kami dari Komisi Pengaduan dan Dewan Pers menekankan kepada rekan-rekan semua, mengajak mari kita benahi konten kita sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers,” terangnya.
Pada. kesempatan tersebut, Yadi menyampaikan bahwa Undang-undang (UU) Pers merupakan UU yang keberadaannya menjadi payung hukum bagi pers yang profesional, bukan pers yang hanya menumpang kemerdekaan pers. Tak hanya itu, ada juga karya jurnalistik yang dilaporkan dan diduga melanggar yaitu karya jurnalistik yang melakukan provokasi seksual.
“Banyak sekali media online yang melakukan provokasi seksual. Ini kami kategorikan bukan karya pers,” tegasnya.
Yadi mengaku, pihaknya menemukan beberapa kesalahan dan dianggap sebagai kelainan produk pers pada konten provokasi seksual. Maka, pihaknya tidak menganggap konten itu sebagai karya jurnalistik, karena berdampak buruk terhadap masyarakat.
“Dewan Pers dalam menghadapi karya jurnalistik bersifat ‘provokasi seksual’, kami tidak menunggu aduan. Tetapi kami langsung melakukan pemanggilan dan langsung kami minta take down,” ucapnya.
Ia menegaskan kepada awak media yang masih memiliki konten bernuansa provokasi seksual, untuk segera dihapuskan. Yadi pun meminta kepada awak media untuk bisa membuat konten-konten yang dapat menginspirasi publik, menjelang Pemilu 2024.
“Kami meminta kepada seluruh awak media, untuk bisa membuat konten-konten yanh dapat menginspirasi publik jelang Pemilu 2024,” tandasnya. (MUF)
Tinggalkan Balasan