JAKARTA, BANPOS – Ketua MPR sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mengingatkan, Indonesia tidak boleh menjadi negara gagal dan mengalami kebangkrutan seperti Srilangka dan Ghana. Tidak boleh juga seperti tiga negara lainnya yang saat ini terancam sebagai negara gagal, yaitu Pakistan, Mesir, dan Bangladesh. Indonesia juga tidak boleh terancam mengalami krisis perekonomian, khususnya krisis keuangan yang dikategorikan sebagai kahar fiskal.
Karena itu, politisi yang akrab disapa Bamsoet ini, Indonesia perlu menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai produk hukum yang dapat mencegah sekaligus menjadi solusi mengatasi persoalan yang dihadapi negara dengan menggunakan kewenangan subjektif superlatif MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
“Kewenangan subjektif superlatif itu juga penting berada di MPR jika negara dihadapkan pada situasi kebuntuan politik antarlembaga negara atau antarcabang kekuasaan. Misalnya, kebuntuan politik antara pemerintah (eksekutif) dengan lembaga DPR (legislatif) atau kebuntuan politik pemerintah dan DPR dengan lembaga Mahkamah Konstitusi (yudikatif),” ujar Bamsoet, menjawab pertanyaan Prof Mahfud MD dan Prof Yusril Ihza Mahendra dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor Ilmu Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (FH Unpad), di Bandung, Sabtu (28/1).
“Siapa yang berhak memutuskan jika terjadi suatu kondisi force majeure atau kahar fiskal dalam skala besar, namun terjadi kebuntuan antara presiden dan DPR? Mengingat, dalam Pasal 22 UUD 1945 yang terdiri atas tiga ayat. Ayat pertama, dalam hal kegentingan yang memaksa. Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Ayat kedua, peraturan pemerintah harus mendapat persetujuan DPR. Ayat ketiga, jika tidak mendapat persetujuan DPR, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut,” lanjutnya.
Ketua DPR ke-20 ini memandang, MPR merupakan lembaga yang paling tepat untuk menengahi perseteruan ini. “Jika terjadi perseteruan antara presiden (pemerintah) dengan DPR, sementara negara masih dalam situasi kedaruratan yang tinggi siapa yang menengahi? Menurut saya yang paling tepat adalah MPR sebagai representasi pemegang kedaulatan rakyat,” sambungnya.
Mantan Ketua Komisi III DPR ini menjelaskan, hari ini Indonesia dihadapkan pada fakta bahwa tidak lagi memiliki roadmap atau bintang pengarah berjangka panjang yang jelas, yang bisa menuntun kemana kapal besar bangsa ini akan dibawa berlabuh. Sehingga siapapun tidak akan mampu menjawab wajah Indonesia 2045. Padahal, bangsa Indonesia adalah pemilik berbagai sumber daya alam (SDA) terbesar dunia, antara lain nikel nomor 1 di dunia, batubara nomor 2 di dunia, emas nomor 9 di dunia, tembaga nomor 7 di dunia, dan gas alam nomor 13 di dunia.
“Ironisnya, sampai hari ini rakyat kita yang tinggal di berbagai lokasi sumber daya alam tersebut justru hidupnya masih berada di bawah garis kemiskinan. Bahkan di beberapa daerah Sulawesi yang merupakan wilayah kaya nikel, masih banyak yang hidupnya miskin ekstrim, dengan pendapatan rata-rata hanya Rp 600 ribu per tahun,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menerangkan, Indonesia butuh suatu perencanaan jangka panjang yang tepat, konsisten, berkelanjutan dan berkesinambungan dari suatu periode pemerintahan yang satu dengan pemerintahan berikutnya, serta antara pusat dan daerah. Sehingga mampu memanfaatkan sumber daya alam yang luar biasa tersebut untuk sebesarnya kesejahteraan rakyat. Mewujudkan cita-cita dan impian para pendiri bangsa untuk menghadirkan Indonesia yang sejahtera dan bahagia.
“Kita butuh memiliki haluan negara yang dikuatkan dengan landasan hukum yang lebih kuat, bukan sekedar melalui undang-undang yang setiap saat dapat ditorpedo dengan Perppu atau di judicial review ke MK. Landasan hukum yang kuat tersebut yakni berupa TAP MPR yang berada dibawah UUD NRI Tahun 1945 dan berada diatas undang-undang,” terang Bamsoet.
Wakil Ketua Umum SOKSI ini menambahkan, padahal para pendiri bangsa sejak awal kemerdekaan telah menyiapkan haluan negara sebagai road map pembangunan masa depan bangsa, yang dikuatkan dengan landasan hukum TAP MPR. Pada saat itu, Bung Karno dan Bung Hatta menyebutnya dengan nama Pola Pembangunan Semesta Berencana (PPSB) sebagai landasan program pembangunan nasional berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai GBHN.
“Terdapat juga Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969 dan Ketetapan MPRS Nomor IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-pedoman Pelaksanaan GBHN dan Haluan Pembangunan. Begitu juga di masa Orde Baru. Semua perencanaan jangka panjang yang merupakan haluan negara atau peta jalan bangsa dikuatkan dengan TAP MPR,” pungkas Bamsoet.(RMID)
Tinggalkan Balasan