KUHP Baru Wujud Nilai Ke-Indonesia-an Dalam Wajah Hukum Pidana

JAKARTA,BANPOS – Keberhasilan Pemerintah dan DPR menyusun dan mengundangkan KUHP baru merupakan prestasi yang layak dicatat dengan tinta emas dalam sejarah perjalanan bangsa. Selama ini, Indonesia masih menjalankan KUHP warisan kolonial Belanda yang secara filosofis tentu berbeda dengan nilai dan kepribadian Indonesia sebagai bangsa merdeka. KUHP baru diundangkan pada 2 Januari lalu sebagai UU Nomor 1/2023 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Perundang-Undangan Kemenkumham RI, Dhana Putra mengungkapkan, salah satu perbedaan mendasar KUHP baru dengan KUHP kolonial adalah pengedepanan norma restoratif justice. Di mana hukuman yang akan diberikan bagi setiap tindak pidana akan bertitikberat pada pemulihan keadilan, bukan semata pada penghukuman.
“Dari segi jenis pidana, ada dua hal yang terbaru, yakni kerja sosial dan pengawasan. Pidana mati bukan lagi pidana pokok. Sementara, dari segi tujuan pidana pun sebenarnya KUHP lama tidak memiliki tujuan, pokoknya ada retributif dari setiap tindak pidana. Akibatnya, lapas over kapasitas. Dengan KUHP baru ini banyak hal yang bisa kita tempatkan sebagai restoratif justice,” papar Dhana yang hadir sebagai pembicara dalam acara Sosialisasi KUHP di Hotel Sahid Bela Ternate, Maluku Utara, Senin (30/1).
“Sehingga, terkait tindak pidana yang sifatnya ringan tidak perlu yang namanya masuk penjara. Sebetulnya banyak sekali pembaharuan hukum pidana yang diatur dalam KUHP baru ini,” tambahnya.
Guru Besar Hukum Pidana UGM, Prof Dr Marcus Priyo Gunarto mennyebut, munculnya pro kontra dalam proses penyusunan KUHP baru ini merupakan hal yang lumrah. Perbedaan pendapat memang selalu ada dalam proses demokrasi, selama dilakukan dalam koridor konstitusional yang justru berakibat baik dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Soal reaksi dari sebagian masyarakat yang kontra terhadap KUHP baru, itu adalah hal yang biasa dan sangat wajar. KUHP baru ini merupakan residu dari berbagai kepentingan yang bisa dikompromikan. Pastinya ada pihak yang setuju dan tidak, tapi kita ambil jalan tengahnya, menggunakan prinsip keseimbangan antara kepentingan negara, masyarakat dan individu,” ucap Prof Marcus.
Prof Marcus menjelaskan, implementasi KUHP nasional yang menganut asas keseimbangan ini akan menjadi perwujudan nilai ke-Indonesia-an dalam penegakan hukum.
“Prinsip dasar yang kita gunakan, hukum pidana tidak boleh menitikberatkan pada salah satu kepentingan saja. Misalnya, tidak menitikberatkan pada kepentingan negara saja karena bisa menjadi alat kekuasaan. Hukum pidana juga tidak boleh menitikberatkan pada kepentingan masyarakat saja, agar mencegah hak-hak privat yang nantinya dikriminalisasi. Juga tidak boleh menitikberatkan pada individu dengan dalih hak asasi, karena dikhawatirkan masyarakat kita akan mengarah kepada masyarakat liberal, sedangkan masyarakat kita kan monodualis yang menyeimbangkan kepentingan individu dan umum,” lanjutnya.
Pembicara lain dalam acara sosialisasi KUHP ini adalah pengajar senior Fakultas Hukum UI, Dr Surastini Fitriasih SH MH, menggarisbawahi pentingnya upaya sosialisasi KUHP baru ini. Sebab, menurutnya, penolakan sementara orang terhadap KUHP saat ini cenderung karena kekhawatiran yang berlebihan karena kurangnya pemahaman.
“Seperti undang-undang pada umumnya, pasti ini mengikat terhadap masyarakat. Memang ada rumusan-rumusan tindak pidana yang baru. Tapi sebetulnya ini tindak pidana yang lama, hanya saja perlu disosialisasikan karena ada penolakan-penolakan, seolah-olah ini sesuatu yang baru dan dikesankan bahwa KUHP ini over-kriminalisasi,” kata Surastini.
“Sebetulnya kan KUHP ini juga hasil rekodifikasi berbagai pidana yang sudah ada di dalam KUHP terdahulu, di samping juga ada tindak pidana yang sudah tidak relevan lagi itu sudah dihapuskan,” ujarnya.
Surastini berharap dengan kehadiran KUHP baru ini, masyarakat akan lebih mendapatkan kepastian hukum yang lebih adil, yang dihasilkan oleh KUHP produk bangsa.
“Harapannya tentu saja ke depannya kepastian hukum dan keadilan akan terwujud karena yang menjadi pegangan saat ini adalah KUHP nasional produk bangsa sendiri,” pungkasnya.(RMID)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *