Bola Panas Penundaan Pemilu

 

PENUNDAAN Pemilu sebagai dampak dari gugatan Partai PRIMA, dianggap oleh sebagian pihak merupakan upaya dari penguasa yang disebut sejak lama menginginkan agar Pemilu ditunda. Terlebih beberapa waktu sebelumnya, banyak tokoh di lingkungan kekuasaan yang menghembuskan isu penundaan Pemilu.

Mereka yang sebelumnya menyebut-nyebut soal penundaan Pemilu antara lain Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia; Ketum PKB, Muhaimin Iskandar; Menko Perekonomian, Airlangga Hartanto; Ketum PAN, Zulkifli Hasan dan Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan. Alasan mereka mulai dari pemulihan ekonomi pasca pandemi, hingga diklaim sebagai keinginan dari mayoritas masyarakat Indonesia.

Misalkan Bahlil. Pada awal Januari 2022, dia menyebut bahwa perekonomian baru saja mulai stabil pasca pandemi. Bahlil mengklaim banyak investor yang menginginkan agar Pemilu ditunda, karena mereka tidak sanggup jika pasca dihantam pandemi, mereka dihantam dengan konstelasi politik nasional.

Sebetulnya alasan itu sama juga dengan yang disampaikan oleh Muhaimin, Airlangga dan Luhut. Bedanya, Muhaimin mengklaim usulan tersebut berasal dari pelaku UMKM, Airlangga dari para petani dan Luhut dari hasil big data media sosial. Zulkifli memiliki alasan yang lebih elit, karena mendasari usulannya berdasarkan hasil bacaan peta konflik global.

Wacana penundaaan pemilu itu itu akhirnya mengkristal. Partai Prima yang diputuskan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) untuk mengikuti Pemilu 2024, mengugat keputusan itu. Hasilnya, hakin mengabulkan gugatan Partai PRIMA sekaligus memberi vonis penundaan pemilu. Putusan itu dianggap salah kaprah, karena melewati garis kewenangan dari Pengadilan Negeri.

Praktisi hukum konstitusi, Raden Elang Yayan Mulyana, amar putusan PN Jakarta Pusat terkait dengan apa yang disebut ‘penundaan Pemilu’, akan menjadi bola panas yang berdampak pada seluruh daerah. Karena seluruh tahapan Pemilu saat ini, akan dipengaruhi oleh putusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 

Yayan menuturkan bahwa atas putusan dari PN Jakarta Pusat, membuktikan adanya celah hukum dalam Undang-undang Pemilu. Pasalnya, dalam Undang-undang tersebut, hanya mengatur dua hal terkait dengan penundaan Pemilu, yang diatur dengan frasa ‘Pemilu lanjutan’ dan ‘Pemilu susulan’.

Pemilu lanjutan adalah pemilu yang melanjutkan tahapan yang dihentikan dan/atau tidak bisa dilaksanakan. Pemilu ini terjadi karena adanya gangguan ‘pada sebagian tahapan’ dalam penyelenggaraan Pemilu. Pemilu lanjutan diatur pada Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 Pasal 431 ayat (1).

“Dalam hal di sebagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu lanjutan,” bunyi Pasal 431 ayat (1) tersebut. Ayat selanjutnya menegaskan bahwa tahapan dilanjutkan pada saat tahapan terhenti.

Sementara Pemilu susulan adalah pemilu untuk melaksanakan seluruh tahapan pemilu yang tidak dapat dilaksanakan. Pemilu ini terjadi karena adanya gangguan ‘pada seluruh tahapan’ dalam penyelengaraan Pemilu. Pemilu susulan diatur pada Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 Pasal 432 ayat (1).

“Dalam hal di sebagian atau seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu susulan,” bunyi pasal 432 ayat (1).

Menurut Yayan, tidak ada ketentuan yang mengatur terkait dengan penundaan Pemilu lantaran adanya putusan PN Jakarta Pusat, sebagaimana yang terjadi saat ini. Sehingga, perlu dilakukan upaya-upaya guna menutup kekosongan hukum tersebut.

“DPR harus merumuskan judicial review Undang-undang Pemilu untuk dibuat lagi perubahannya, terkait dengan syarat penundaan dan lain-lainnya. Karena kan belum dijabarkan apabila adanya gugatan dari salah satu partai Pemilu dan mempengaruhi terjadinya perubahan Pemilu, ini kan jadi ada kekosongan hukum,” terangnya.

Sementara itu, pengamat Politik dan akademisi Untirta, Leo Agustino, mengatakan bahwa apabila rangkaian Pemilu 2024 ditunda, maka dugaan bahwa Presiden dan kelompoknya yang menghendaki penundaan Pemilu menjadi benar. Menurutnya, hal itu membuktikan bahwa penundaan Pemilu tersebut benar merupakan pesanan dari kekuatan besar.

“Presiden dan wakil Presiden akan habis masa jabatan pada 2024; dan ini menjadi preseden buruk bagi demokrasi Indonesia. Meski solusinya bisa diselesaikan melalui lembaga perwakilan,” ujarnya kepada BANPOS melalui pesan WhatsApp.

Meski demikian, Leo menuturkan bahwa yang saat ini menjadi persoalan ialah para anggota legislatif, yang juga akan habis masa jabatannya pada tahun 2024. Penundaan Pemilu akan membuat lembaga legislatif menjadi kosong.

“Yang justru rumit adalah habisnya masa jabatan anggota dewan. Karena anggota dewan tidak bisa dipilih oleh Presiden atau pun dipilih rakyat, sehingga legitimasi anggota dewan yang tetap menambah masa jabatan menjadi tidak sah,” katanya.

Penundaan itu pun menurutnya, sangat berpotensi menimbulkan gejolak politik. Menurutnya, gejolak politik yang akan terjadi apabila skenario penundaan Pemilu terjadi, adalah sama dengan peristiwa tahun 1998.

Pengamat Politik, Dosen Universitas Mathla’ul Anwar Banten, Eko Supriatno memandang, putusan PN Jakpus yang menunda Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 menunjukkan bahwa operasi untuk menunda pemilu masih berjalan. Jalur yudisial dijadikan jalan untuk menunda pemilu ketika situasi politik nasional tidak memihak pada wacana menunda Pemilu 2024. 

“Dengan kedok independensi kehakiman, pihak-pihak yang ingin menunda pemilu dapat memaksa aktor politik dan demokrasi untuk menuruti kepentingannya,” kata Eko kepada BANPOS, Kamis (9/3).

“Upaya tersebut tercermin dari beragam narasi yang muncul selama ini, mulai dari perpanjangan masa jabatan presiden, tiga periode jabatan presiden, memperpanjang masa jabatan kepala desa, hingga perubahan sistem proporsional terbuka menjadi tertutup. Publik sudah lebih kritis dalam mencermati pihak-pihak yang terlibat dalam wacana menunda pemilu,” sambung Eko yang juga peneliti pada Kadaka Research and Consulting, dan Pembina Future Leader for Anti Corruption (FLAC) Regional Banten itu.

Secara UUD ataupun UU dalam menghadapi kondisi tersebut, lanjut Eko, bahwa jika berbicara UU, jelas melawan Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945, melawan sebuah aturan negara yang sebetulnya sudah harus disepakati semua.

Secara tegas, Eko menilai salah satunya yang paling penting dilanggar oleh PN Jakpus itu adalah Pasal 10, Pasal 11 dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019. Keputusan paling dahsyat ialah putusan majelis hakim tersebut juga melanggar UUD Negara RI Tahun 1945 yang telah menyatakan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. 

“Hakim PN Jakpus yang memutus penundaan Pemilu 2024 bersikap terlalu berani dan menempatkan pemerintah sebagai tertuduh. Penundaan Pemilu 2024, merupakan tindak yang tidak benar karena melawan undang-undang,” terangnya.

Saat ditanya apakah hal ini akan mengarah kepada kondisi yang mirip dengan demokrasi terpimpin. Eko mengatakan bukan, karena pilihan demokrasi saat ini masih demokrasi yang terbaik. Banyak kemajuan sesudah era reformasi.

“Sistem demokrasi yang berubah-ubah sejak era Presiden pertama RI Soekarno, hingga Presiden ketujuh RI, Joko Widodo, telah mengalami perbaikan yang diakui oleh dunia. Ketika Indonesia didirikan pada tahun 1945, seluruh elemen masyarakat bersepakat memilih sistem demokrasi. Bahkan bukan hanya sistemnya, tetapi juga memilih dasar sistem dan mekanisme demokrasi sebagai pedoman tata kelola bernegara dan berpemeritahan yang dianggap terbaik,” katanya.

Eko menjelaskan, ada tahun 1955, lahir Demokrasi Parlementer. Pada tahun 1959 karena demokrasi parlementer bermasalah, lahir Demokrasi Terpimpin. Kemudian, pada 1966 lahir Demokrasi Pancasila.

“Salah satu contoh konkretnya, perbaikan pola demokrasi dalam memilih pemimpin. Dimana rakyat bisa memilih Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Bupati, hingga Walikota secara langsung. Beda dengan jaman sebelumnya ketika sudah ada calon presiden sebelum Pemilu. Sekarang, orang mencalonkan diri sendiri boleh, lewat partai boleh, mencalonkan orang lain boleh, tidak ada yang menghalangi dan ini suatu kemajuan,” ucapnya.

Terkait akan seperti apa UUD dan UU mengatur skema transisi parlemen, Eko menjelaskan bahwa tahun 2024 merupakan tahun politik bagi Indonesia. Karena pemilihan umum serentak dilaksanakan untuk kedua kalinya.

Skema pemilu serentak ini, kata dia, baik di level nasional dan lokal (provinsi dan kabupaten/kota) menyelenggarakan pemilihan anggota legislatif (DPR/D dan DPD) bersamaan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden. Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017. Penyelenggaraan Pemilihan Umum bertujuan untuk menciptakan pemerintahan presidensial yang stabil dan efektif.

“Dimana dengan berlakunya coattail effect (efek ekor jas), pemilih cenderung memilih partai politik yang mendukung calon presiden pilihannya, pemerintahan yang terbelah (divided government) dapat dicegah. Kemudian juga untuk memberikan ruang bagi pemilih untuk memutuskan pilihannya secara cerdas,” katanya.

Menurutnya, berdasarkan evaluasi dirinya melihat bahwa skema pemilu serentak lima kotak yang diterapkan dalam Pemilu 2024 harus berhasil mencapai tujuan yang melatarbelakangi pelaksanaan pemilu serentak.

Yang pertama, coattail effect pemilihan presiden (pilpres) terhadap pemilihan anggota legislatif (pileg) relatif terbatas. Terbatasnya efek ekor jas diakibatkan oleh komplikasi pemilu serentak yang dikombinasikan dengan sistem perwakilan proporsional daftar terbuka. 

“Hal ini didukung juga dengan besaran daerah pemilihan (district magnitude) yang relatif besar. Dengan kata lain, Pemilu 2019 belum memberikan insentif yang signifikan bagi pemilih untuk menjadikan pilihan Pileg dan Pilpres mereka sebagai satu paket (straight ticket voting) sebagaimana yang menjadi tujuan awal pelaksanaan pemilu serentak,” jelasnya.

Yang kedua, kata Eko, Naskah Akademik UU Pemilu meyakini bahwa pemilu serentak akan mendorong pemilih untuk memutuskan pilihan dengan lebih cerdas, juga tidak tercapai. Survei Kadaka memperlihatkan bahwa mayoritas responden (74 persen) merasa kesulitan karena harus mencoblos lima surat suara. Lebih jauh, keserentakan pemilu dengan kombinasi daftar terbuka dan daerah pemilihan yang besar telah memaksa pemilih kita dalam kategori pemilih dengan low information. 

“Dengan kata lain, tujuan agar pemilih bisa dengan cerdas memilih juga tidak tercapai,” katanya.

Oleh karena itu, kata Eko, dirinya merekomendasikan tiga hal, yang pertama, skema pemilu serentak dengan lima jenis pemilihan sebagaimana yang dilakukan dalam Pemilu Serentak 2019 mendesak untuk diubah. Skema pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal merupakan alternatif terbaik yang penting untuk dipertimbangkan.

“Kedua, perubahan skema pemilu harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pembahasan perbaikan sistem pemilu, yang mencakup isu ambang batas parlemen, ambang batas pencalonan presiden, besaran daerah pemilihan dan sebagainya. Ketiga,  Pemilu itu harus diiringi dengan penguatan partisipasi masyarakat sipil untuk mendorong konsolidasi demokrasi substansial, ini PR-nya,” tegasnya.

Terpisah, Pengamat Politik dan Kebijakan Publik, Harits Hijrah Wicaksana mengatakan, harusnya jika dirasa bersalah atau harus dikenakan sanksi itu cukuplah KPU saja. Bukan malah berbicara pada penundaan Pemilu. 

Menurutnya, kedua hal tersebut berbeda konteks ketika yang dirasa melakukan kesalahan adalah KPU malah yang menjadi sasaran seluruhnya adalah penundaan Pemilu dengan alasan waktu dan sebagainya.

“Saya rasa pemerintah sudah mulai serius dengan kasus ini, salah satunya Menpolhukam yang dimana telah meminta KPU untuk naik banding ke Pengadilan Tinggi terkait putusan tersebut,” kata Harits saat dihubungi BANPOS melalui panggilan telepon, Kamis (9/3).

Harits menjelaskan, jangan sampai penundaan pemilu ini dilakukan hanya karena satu dua hal yang bersifat tidak terlalu subtantif. Ketika merujuk kepada Undang-undang Dasar dan undang-undang sudah jelas bahwa Pemilu harus dilakukan lima tahun sekali sesuai dengan amanat tersebut yang juga telah mengatur masa  jabatan Presiden dan lainnya.

“Kalau kita merujuk pada hal tersebut, secara otomatis kita melanggar ketentuan dari Undang-undang Dasar tersebut,” jelasnya.

Ia menerangkan, terkait undang-undang pelaksanaan pemilu, jika memang penundaan Pemilu harus dilakukan, maka yang harus dirubah yaitu mekanismenya melalui perubahan undang-undang.

“Harus direvisi undang-undangnya, bukan mengikuti hasil keputusan Pengadilan Negeri,” terangnya.

“Kalau tidak salah sudah banyak disampaikan ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji kembali terkait UU Pemilu,” lanjutnya.

Terkait Pengadilan Negeri, ini baru satu langkah proses hukum bisa diajukan lagi untuk maju pada tingkat yang lebih tinggi jika putusannya dirasa tidak sesuai.

Ia memaparkan, kondisi saat ini sangat jauh ketika disandingkan dengan kondisi demokrasi terpimpin pada tahun 1950. Lanjutnya, Demokrasi Terpimpin yang dibuat oleh Sukarno, Saat itu Dia (Sukarno) menyebut bahwa dia adalah ‘presiden seumur hidup’ dan pembentukan kabinet dilakukan oleh sistem parlementer atau oleh perdana Menteri yang ditunjuk untuk merumuskan kabinet.

“Ini kan jauh berbeda dengan sekarang, sejak era orde baru, reformasi hingga saat ini. Saya melihat hari ini demokrasi berjalan dengan sangat baik,” papar Harits.

“Kalau Demokrasi Terpimpin hari ini dilakukan berarti terjadi kemunduran dalam Demokrasi di Indonesia,” lanjutnya.

Ketua STISIP Setia Budhi ini menyampaikan, dengan dilakukannya UU Pemilu saat ini yaitu dilaksanakan secara langsung dan serentak. Terdapat beberapa daerah yang seharusnya melakukan pemilihan kepala daerah, di tunjuklah pejabat sementara atau biasa disebut PJ baik Gubernur atau Bupati/Walikota.

“Kalau di pusat kan belum diputuskan ditunda atau tidaknya. Maka tidak masuk pada masa transisi,” tandasnya.(muf/dzh/dhe/cr-01/enk)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *