PUTUSAN dari Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat membuat publik heboh. Pasalnya, dalam putusan pengadilan tingkat satu itu, menghukum Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI untuk menghentikan tahapan Pemilu, dan mengulang tahapan Pemilu selama dua tahun 4 bulan 7 hari. Hal itu berdampak terhadap berbagai hal, mulai dari anggaran untuk pelaksanaan Pemilu hingga pada masa jabatan Presiden, Wakil Presiden serta para anggota legislatif.
Banyak pihak yang menegaskan bahwa putusan PN Jakarta Pusat terkait penundan Pemilu batal demi hukum. Sebab, putusan tersebut telah bertentangan dengan Undang-undang yang telah memutuskan jika Pemilu dan Pemilihan serentak akan dilaksanakan pada tahun 2024. Bahkan banyak pihak yang mengajak untuk mengabaikan putusan PN Jakarta Pusat itu.
Akademisi Fakultas Hukum (FH) Universitas Bina Bangsa (Uniba), M. Nassir Agustiawan juga menilai vonis penundaan pemilu, salah kaprah. Artinya masa KPU divonis kalah atas gugatan sebuah partai dalam perkara perdata oleh PN. “Karena PN tidak punya wewenang untuk membuat vonis tersebut,” katanya.
Nassir lantas membeberkan alasan hukum dibalik keyakinannya. Pertama, sengketa terkait proses, administrasi, dan hasil pemilu itu diatur tersendiri dalam hukum. Kompetensi atas sengketa pemilu bukan di PN.
Nassir bilang, sengketa sebelum pencoblosan jika terkait proses administrasi yang memutus harus Bawaslu tapi jika soal keputusan kepesertaan paling jauh hanya bisa digugat ke PTUN.
“Nah Partai Prima sudah kalah sengketa di Bawaslu dan sudah kalah di PTUN. Itulah penyelesaian sengketa administrasi jika terjadi sebelum pemungutan suara. Adapun jika terjadi sengketa setelah pemungutan suara atau sengketa hasil pemilu maka menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi (MK). Itu pakemnya,” ujarnya.
“Tak ada kompetensinya pengadilan umum. Perbuatan melawan hukum secara perdata tidak bisa dijadikan obyek terhadap KPU dalam pelaksanaan pemilu,” lanjutnya.
Nassir menjelaskan hukuman penundaan pemilu atau semua prosesnya tidak bisa dijatuhkan oleh PN sebagai kasus perdata. Tidak ada hukuman penundaan pemilu yang bisa ditetapkan oleh PN.
Menurut UU, lanjut dia, penundaan pemungutan suara dalam pemilu hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia. Misalnya, di daerah yang sedang ditimpa bencana alam yang menyebabkan pemungutan suara tak bisa dilakukan.
“Itu pun bukan berdasar vonis pengadilan tetapi menjadi wewenang KPU untuk menentukannya sampai waktu tertentu,” ujarnya.
Menurut Nassir, vonis PN tersebut tak bisa dimintakan eksekusi. Harus dilawan secara hukum dan rakyat bisa menolak secara masif jika akan dieksekusi. “Mengapa? Karena hak melakukan pemilu itu bukan hak perdata KPU,” katanya.
Nassir yang juga Kaprodi Fakultas Hukum Uniba ini pun mengingatkan kalau penundaan pemilu hanya karena gugatan perdata parpol bukan hanya bertentangan dengan UU tetapi juga bertentangan dengan konstitusi yang telah menetapkan pemilu dilaksanakan lima tahun sekali.
“Kita harus melawan secara hukum vonis ini. Ini soal mudah, tetapi kita harus mengimbangi kontroversi atau kegaduhan yang mungkin timbul,” pungkasnya.
Terpisah, praktisi hukum Raden Elang Yayan Mulyana justru menegaskan bahwa semua pihak harus menghormati putusan yang dikeluarkan oleh PN Jakarta Pusat. Ia menuturkan bahwa pendapat dari berbagai pihak dan ahli yang menyebut PN Jakarta Pusat tidak memiliki kewenangan untuk mengadili perkara gugatan Partai PRIMA, merupakan pendapat yang keliru. Pasalnya, PN Jakarta Pusat memutus perkara yang dalam pokoknya, berdasarkan pada dugaan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dilakukan oleh KPU RI.
“Dasarnya adalah pasal 1365 KUH Perdata. Dengan ketidakprofesionalan KPU, dengan tidak melakukan verifikasi administrasi secara profesional terhadap Partai PRIMA, mengakibatkan Partai PRIMA tidak lolos sebagai partai peserta pemilu, itu yang menjadi kerugiannya. Sehingga keputusan tersebut jelas berpengaruh pada seluruh tahapan Pemilu,” katanya.
Yayan menuturkan bahwa ia yakin jika sebetulnya, Partai PRIMA tidak menargetkan untuk melakukan penundaan Pemilu. Akan tetapi berdasarkan fakta yang muncul dalam persidangan, membuat Majelis Hakim memutuskan untuk menghukum KPU RI, untuk menghentikan tahapan Pemilu dan mengulang selama lebih dari dua tahun.
Selain itu, Yayan juga menyoroti masih dilanjutkannya tahapan Pemilu oleh KPU, baik pusat maupun daerah. Padahal dalam amar putusannya, PN Jakarta Pusat memerintahkan untuk melaksanakan putusan itu terlebih dahulu secara serta merta atau uitvoerbaar bij voorraad.
“Putusan serta merta itu dalam konteks hukum perdata pengertiannya untuk dilaksanakan terlebih dahulu putusan tersebut. Dengan istilah bahasa Belanda itu disebut dengan uitvoerbaar bij voorraad. Jadi menyatakan putusan perkara itu agar dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta-merta, walaupun pihak tergugat mengambil langkah hukum lain,” jelasnya.
Ia menjelaskan, putusan dari PN Jakarta Pusat harus dijalankan, meskipun KPU RI mengambil langkah banding, kasasi maupun peninjauan kembali (PK). Hal itu dikarenakan putusan tersebut telah mengikat, sejak diucapkan oleh Majelis Hakim.
“Karena kalau tidak dilaksanakan, berarti KPU telah melakukan pembangkangan terhadap hukum. Tidak menghormati putusan pengadilan. Karena sifat dari putusan pengadilan itu sama nilainya dengan Undang-undang. Sifatnya memaksa, harus dilaksanakan ketika dia sudah melakukan kesalahan. Dalam hal ini Pasal 195 HIR dalam perkara Perdata, karena pihak yang menang telah memperoleh keputusan hakim yang menghukum pihak lawannya,” bebernya.
“Maka ia berhak dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh Undang-undang, untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi keputusan hakim itu. Hak ini memang sudah selayaknya, sebab kalau tidak ada kemungkinan memaksa orang yang dihukum, maka peradilan akan tidak ada gunanya,” imbuh Yayan.
Menurutnya, apabila KPU tidak terima dengan putusan tersebut, maka yang harus dilakukan adalah mengambil langkah hukum seperti banding, kasasi dan peninjauan kembali. Namun, KPU tidak boleh mengabaikan putusan dengan tetap melanjutkan tahapan Pemilu.
“Karena nanti bisa dipertanyakan kekuatan hukum dari tahapan yang dilakukan setelah putusan. Meskipun memang KPU juga menjalankan perintah Undang-undang, namun putusan pengadilan juga sama-sama mengikatnya dengan Undang-undang. Yang bisa membatalkannya adalah upaya hukum banding yang dilakukan oleh KPU,” tegasnya.
(MUF/DZH/LUK/ENK)
Tinggalkan Balasan