JAKARTA, BANPOS – Pembentukan PalmCo sebagai subholding PTPN Group, yang khusus mengelola bisnis sawit dari hulu ke hilir, masih menunggu payung hukum. Setelah itu, perusahaan akan melakukan Initial Public Offering (IPO).
Pengamat BUMN dari Univer¬sitas Indonesia (UI) Toto Pranoto menilai, peluang PalmCo mening¬katkan kapasitas bisnis akan lebih kuat setelah menjadi perusahaan terbuka alias pasca IPO.
“Setidaknya ada tiga manfaat yang akan bisa dinikmati Palm¬Co setelah menjadi perusahaan terbuka,” katanya.
Pertama, mendapatkan dana segar dari penawaran saham IPO yang dibutuhkan untuk ekspansi bisnis.
Kedua, setelah menjadi peru¬sahaan terbuka, maka kualitas tata kelola perusahaan akan semakin baik karena ada standar transparansi dan pengawasan dari pemegang saham maupun dari regulator secara berkala.
Dengan demikian, PalmCo tidak akan mudah diintervensi oleh pihak manapun yang dapat mengganggu dan membebani kinerja keuangan perusahaan.
“Menjadi perusahaan terbuka berarti akan meningkatkan kualitas governance perusahaan, sehingga intervensi dari pihak manapun bisa lebih diminimali¬sir,” ungkap Toto.
Ketiga, sebagai perusahaan terbuka, kinerja PalmCo akan terus dituntut tetap prima agar tidak ditinggal investor.
Kegiatan perusahaan dilaku¬kan secara terbuka dengan me¬laporkan aksi korporasi dan laporan keuangan kepada publik secara berkala.
Toto menegaskan, PalmCo yang merupakan hasil konsolidasi dari unit bisnis sawit di anak usaha PTPN Group akan bekerja lebih lincah karena bisa mandiri. Mulai dari perencanaan bisnis hingga pelaksanaannya.
Pembentukan PalmCo meru¬pakan upaya percepatan lang¬kah subholding PTPN menjadi perusahaan yang lebih agile. Dengan kemandirian yang dimi-liki, maka banyak corporate ac¬tion yang bisa dilakukan dengan lebih cepat dan dinamis.
Meski begitu, PalmCo juga memiliki tantangan karena hanya memegang sekitar 10 persen total lahan sawit nasional. Namun, dana IPO dibutuhkan untuk melakukan penanaman kembali lahan yang sudah tidak produktif.
Selain itu, hasil IPO dapat di¬gunakan untuk bisnis hilirisasi. Salah satu program hilirisasi PalmCo adalah mengembang¬kan Energi Terbarukan (ET) dari CPO, sejalan dengan arah kebi¬jakan energi dan pembangunan berkelanjutan Pemerintah.
“Keperluan IPO tentu terkait rencana replanting tanaman produktif dan program hilirisasi. Perlu performa bagus setelah jadi perusahaan terbuka, supaya dianggap semenarik emiten sawit lain. Seperti Grup Salim, Sinar¬mas atau Wilmar,” jelasnya.
Sebelumnya, PTPN IIIber¬harap proyeksi perolehan dari ren¬cana IPO PalmCo tersebut dapat mencapai Rp 5-Rp 10 triliun.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan, saat ini pembentu¬kan PalmCo masih dalam proses permohonan izin penyusunan Peraturan Pemerintah (PP).
“Setelah itu, baru kemudian IPO,” ungkap Erick dalam Rapat Kerja bersama Komisi VI DPR di Jakarta, Senin (20/1).
Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) ini menegaskan, pembentukan PalmCo bertujuan agar BUMN berperan lebih besar secara na¬sional dalam usaha kelapa sawit dan turunannya.
Selain itu, Indonesia memiliki potensi Crude Palm Oil (CPO) kelapa sawit yang mencapai 52 juta ton per tahun, dengan 40 persen kepemilikan petani kecil.
“Potensi yang besar untuk hilirisasi dan industrialisasi pemanfaatan CPO harus dilaku¬kan,” tegas Erick.
Salah satu contohnya untuk bahan baku kosmetik. Saat ini, Indonesia merupakan pangsa industri make-up terbesar ke¬lima di dunia. Sekitar 70 persen industri make-up dengan ba¬han baku turunan CPO, semua produknya ada di dalam negeri.
Erick berkeyakinan, Indonesia mampu melakukan hal tersebut karena harga bahan bakunya sudah dimiliki.
“Karena itulah mengapa kami mendorong hal-hal ini untuk dikonsolidasikan,” ujar Erick.
Tinggalkan Balasan