CILEGON, BANPOS – Sejumlah aktivis perempuan di Kota Cilegon menyoroti seleksi komisioner anggota KPU maupun Bawaslu Kota Cilegon lantaran masih dianggap diskriminatif bagi kaum perempuan. Karena masih minimnya keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara Pemilu tersebut.
Pengurus Daerah PD KAMMI Cilegon Sulis Setiawati mengatakan seleksi anggota KPU maupun Bawaslu menimbulkan stigma kurang transparan bagi tubuh demokrasi, karena kurangnya keterwakilan perempuan dalam Komisioner KPU Kota Cilegon.
“Mengingat jabatan Komisioner KPU Kota Cilegon akan berakhir pada bulan ini, begitu juga dengan telah terpilihnya 10 besar komisioner yang baru. Dari hasil screening dan seleksi yang telah diadakan masuk 10 besar, Komisioner KPU Kota Cilegon dengan hanya 1 perwakilan dari perempuan, sedangkan nanti hanya 5 yang akan ditetapkan. Perlukah kita bangga?,” tuturnya kepada BANPOS, Selasa (30/5).
“Lebih diperlukannya merefleksikan kembali bagaimana kondisi di tataran Provinsi (Banten). Dalam hal ini tidak adanya keterwakilan perempuan dari 7 Komisioner KPU Provinsi Banten yang sudah terpilih dan dilantik,” sambungnya.
Dengan kondisi yang ada, lanjutnya sehingga berdampak pada tataran dibawah, minimnya keterwakilan perempuan di Komisioner KPU Kota Cilegon. “Maka dari itu, 1 keterwakilan tersebut perlu kita kawal,” ujarnya.
Dikatakan Sulis, padahal sudah jelas dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yaitu penyelenggara Pemilu mengatur agar komposisi penyelenggara Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30 persen. Kedudukan dan status perempuan juga telah mendapat perhatian khusus secara Global melalui Kongres Perempuan Sedunia maupun tingkat nasional seperti tercantum dalam GBHN 1993.
“Keterbatasan perempuan di Komisioner KPU terus berulang akibatnya kurang dukungan, baik norma sosial atau cara kolonialisme yang masih hidup dalam memandang perempuan,” tuturnya.
“Tidak pernah membatasi peran antara laki-laki dengan perempuan, begitulah Islam menyamaratakan gender. Semua memiliki peluang dan kesempatan untuk aktif berkontribusi,” sambungnya.
“Harapan saya, perlunya evaluasi efektif secara universal agar tercapainya cita-cita demokrasi. Perlunya perempuan menggembleng diri, akan tetapi pentingnya memandang kontribusi besar dari peran perempuan dalam pembangunan. Keterlibatan aktif dari Pemerintah, Organisasi Perempuan, dan seluruh elemen serta masyarakat untuk turut andil mendorong partisipasi perempuan dalam lembaga-lembaga pembangunan seperti KPU,” paparnya.
Sementara itu, Sekjen PP IMC Lita Puspita Sari mengungkapkan keterwakilan perempuan di setiap lembaga milik negara perlu diperhatikan, termasuk di KPU. “Sudah jelas dalam Undang-undang Nomor 07 tahun 2017 pasal 10 ayat 7 bahwa komposisi keanggotaan KPU baik di kota atau provinsi harus memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen, artinya bicara soal kesetaraan gender perempuan punya hak yang sama dan perempuan juga bisa menjadi penyelenggara pemilihan umum,” terangnya.
Ia berharap panitia pemilihan komisioner KPU maupun Bawaslu Kota Cilegon memperhatikan keterwakilan perempuan.
“Karena masa tugas KPU Kota Cilegon akan berakhir bulan ini, kami berharap panitia pemilihan komisioner KPU Kota Cilegon memperhatikan keterwakilan perempuan, kita harus ingat bahwa pemilih dalam pemilihan umum (Pemilu) bukan hanya diisi oleh kaum laki-laki saja, maka kami mendorong adanya komisioner KPU terkhusus di Kota Cilegon ada keterwakilan perempuannya, agar komunikasi antar penyelenggara dengan pemilih perempuan dapat komunikasi dengan baik,” tandasnya.
Dibagian lain, Kaprodi Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa (Uniba) M Nassir Agustiawan mengatakan akan terjadinya kemunduran dalam lembaga penyelenggara pemilu itu bilamana tidak adanya keterwakilan perempuan. Idealnya, kata ia, dalam sebuah institusi harus didorong keterwakilan perempuan, sehingga perempuan mendapatkan peran.
“Ini tentu kemunduran, bukan menambah, malah menghilangkan. Sebagai institusi demokrasi yang sangat paham tentang politik representasi harus mengutamakan kesetaraan peran laki-laki dan perempuan,” ujarnya kepada BANPOS.
Nassir menilai, saat ini pandangan KPU terhadap perempuan tidak mampu lagi dalam penyelenggaraan pemilu. Namun menurutnya, secara integritas perempuan tidak kalah dengan laki-laki dalam penyelenggaraan pesta demokrasi di Indonesia ini.
Selain itu, ia meyakini saat ini ada perang kepentingan dalam tubuh KPU sendiri. Perang kepentingan ia maksud, mulai dari terjadi unsur politis dalam sistem pemilihan nama-nama yang terpilih.
“Perempuan-perempuan yang dianggap gagal itu, perempuan yang kiranya tidak mewakili representasi politik, ataupun kelompok tertentu,” jelasnya.
Secara aturan, kata Nassir dalam pemilihan anggota KPU ini harus objektif. Objektif yang dimaksud, para pendaftar harus memenuhi syarat yang berlaku.
“Dari 10 nama yang lolos kemarin, baik laki-laki dan perempuan. Semuanya sudah sama-sama layak. Namun persoalan yang sekarang, hanya keberpihakan saja yang tidak ada. Karena hal ini menjadi persoalan,” katanya.
Pakar Hukum Tata Negara Uniba ini menambahkan, idealnya dalam 5 anggota KPU Kota Cilegon yang terpilih nanti, harus ada satu yang mewakili unsur perempuan.
“Harus kembali kepada aturan yang berlaku yaitu sesuai Undang-undang Nomor 07 tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum pasal 10 ayat 7 bahwa komposisi keanggotaan KPU baik di kota atau provinsi harus memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen,” tandasnya.
Diketahui saat ini tim seleksi calon anggota KPU Kabupaten/Kota periode 2023-2028 sudah memasuki 10 besar. Dari 10 besar hanya ada 1 keterwakilan perempuan yang masuk. Nantinya dari 10 besar itu akan menjalani fit and proper test atau uji kelayakan yang dilaksanakan oleh KPU Provinsi Banten. Setelah itu baru ditetapkan 5 orang anggota atau komisioner KPU Kota Cilegon.
Sedangkan untuk Bawaslu baru memasuki penerimaan pendaftaran anggota atau komisioner Bawaslu. Waktu penerimaan pendaftaran mulai 29 Mei sampai 7 Juni 2023.(LUK/PBN)
Tinggalkan Balasan