JAKARTA, BANPOS – Senayan menyoroti rekomendasi Ombudsman yang kerap dicuekin oleh kementerian/lembaga negara. Di undang-undang, aturan sanksi untuk pihak yang tidak menjalankan rekomendasi Ombudsman hanya bersifat administratif.
Anggota Badan Legislasi DPR Johan Budi Sapto Prabowo mengusulkan agar Ombudsman diberi kewenangan pro justitia. Ombudsman bisa memanggil paksa pihak terlapor jika enggan memenuhi panggilan Ombudsman.
Namun dia mengingatkan, kewenangan memanggil paksa ini sudah masuk wilayah pro justitia, sementara Ombudsman ini bukanlah penegak hukum seperti Kejaksaan Agung atau Kepolisian.
“Kalau mau begitu, Ombudsman harus diberi kewenangan untuk melakukan pro justitia,” kata Johan di Jakarta, kemarin.
Johan bilang, kewenangan memanggil paksa ini tentu harus ada kriteria-kriteria yang juga mengacu pada tindakan-tindakan pro justitia. Makanya, revisi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman ini bisa memberi penguatan pada lingkup tugas dan kewenangan Ombudsman.
“Saya setuju Ombudsman diperkuat tetapi ruang lingkup pekerjaannya dipersempit. Jadi jangan semua diambil oleh Ombudsman sampai masukan pejabat publik dan lain sebagainya,” katanya.
Menurutnya, bisa saja penguatan kelembagaan Ombudsman ini diberikan asal ruang lingkupnya dipersempit. Misal terkait pencegahan dalam hal mewujudkan sebuah lembaga yang ‘good governance’, tidak maladministrasi. Apalagi anggaran Ombudman juga sangat terbatas.
“Kalau semua diambil oleh Ombudsman sementara kapasitas dan kapabilitas lembaga Ombudsman itu sangat kecil sekali dari anggaran. Masa sebuah lembaga anggarannya hanya Rp230 miliar, Anda bisa apa gitu?” ujarnya.
Makanya, dia usul agar Undang-Undang Ombudsman diubah total. Dia lalu mencontohkan Ombudsman di Filipina yang rekomendasinya ampuh dan pasti dilaksanakan. Bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Filipina itu bermitra dengan Ombudsman.
“Kadang kita lupa juga ada Komisi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tugasnya hampir mirip-mirip. Ombudsman kan diawasi juga Komisi ASN, oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sementara dia (Ombudsman) juga mengawasi. Ini membingungkan,” ujar eks Juru Bicara KPK ini.
Yang jelas, sambung Johan, pada prinsipnya Ombudsman jangan menjadi lembaga yang sudah makan anggaran yang banyak tapi tidak ada hasilnya. Apalagi faktanya, banyak rekomendasi yang dikeluarkan Ombudsman tapi tidak dijalankan alias dicuekin.
“Kalau mau diperkuat, ya kita perkuat dengan proses memberi kewenangan kepada Ombudsman. Jadi kalau rekomendasinya tidak dilaksanakan, itu sanksinya jangan administrasi tapi pidana. Kalau bisa,” ujarnya.
Ketua Ombudsman Mokhamad Najih mengusulkan agar dilakukan revisi terhadap pasal 7 dan 8 dalam terkait tugas dan kewenangan Ombudsman yang diatur dalam undang-undang ini.
Salah satunya berkaitan dengan investigasi atas prakarsa sendiri yang dipindah menjadi kewenangan.
“Karena inisiatif atas prakarsa sendiri merupakan satu bentuk pengawasan yang dilakukan oleh Ombudsman secara pro aktif tanpa menunggu laporan masyarakat,” katanya.
Begitu juga terkait dengan masalah pemanggilan. Pengaduan penyelenggara publik itu kurang memperhatikan apa yang menjadi pemanggilan oleh Ombudsman dalam kaitan penyelesaian laporan, klarifikasi, ataupun mediasi.
Di undang-undang sekarang, Ombudsman telah difasilitasi kewenangan melakukan pemanggilan secara paksa. Namun, kewenangan ini hendaknya didukung oleh instrumen penegakan yang lebih kuat.
Sebab, di Undang-Undang Ombudsman, memanggil paksa boleh dilakukan apabila telah 3 kali dipanggil namun tak kunjung hadir. “Maka dilakukan pemanggilan secara paksa melalui bantuan oleh pihak kepolisian,” ujarnya.
Diakuinya, kewenangan ini jarang digunakan walau sudah ada kerja sama dengan kepolisian terkait hal tersebut. Hanya saja, pemanggilan ini menjadi terkendala jika berurusan dengan aparat kepolisian.
“Di situ seolah-olah ada persoalan ego sektoral mengenai apa kewenangan Ombudsman memanggil secara paksa,” ujarnya.(PBN/RMID)
Tinggalkan Balasan