JAKARTA, BANPOS – Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih mendesak Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menegur Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menghapus kewajiban peserta Pemilu 2024 menyerahkan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK).
“Bawaslu sebagai lembaga negara yang dimandatkan menjalankan fungsi pengawasan, harus menegur KPU dalam hal penghapusan LPSDK,” kata perwakilan koalisi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana.
Koalisi juga mendesak KPU mencabut keterangan soal alasan LPSDK tidak lagi menjadi kewajiban peserta pemilu. Koalisi menegaskan, LPSDK sudah diwajibkan sejak Pemilu 2014 hingga Pemilu 2019.
Sebelumnya, KPU menjelaskan bahwa penghapusan laporan dana kampanye karena masa kampanye yang sangat singkat dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya.
Masa kampanye pada pemilu kali ini selama 75 hari dan LPSDK tak tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Alasan masa waktu kampanye pendek benar-benar tidak masuk akal dijadikan dalih menghapus kewajiban LPSDK. Sebab, proses administrasi pelaporan itu bukan dibebankan kepada KPU, melainkan partai politik,” kata Kurnia.
Kurnia menegaskan, KPU adalah lembaga independen, sehingga seharusnya dapat membuat ketentuan sendiri sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang.
Dalam hal LPSDK, KPU dinilai seharusnya tidak perlu khawatir soal masa kampanye yang singkat karena hanya menerima dan melakukan verifikasi untuk kemudian dipublikasikan kepada masyarakat.
Kata dia, koalisi khawatir tindakan KPU hanya untuk mengakomodir kepentingan politik peserta pemilu yang tidak ingin disibukkan dengan urusan administrasi pelaporan keuangan.
“Selain itu, praktik LPSDK ini sudah terjadi sejak lama, dan mestinya telah diketahui oleh setiap peserta pemilu,” kata Kurnia.
Alasan bahwa LPSDK tidak tercantum dalam UU Pemilu juga dianggap sebagai tafsir yang terlalu letterlijk (harfiah). UU Pemilu dianggap telah memberikan mandat untuk hal semacam ini walaupun tak secara eksplisit menyebut soal LPSDK.
Kewajiban penyerahan LPSDK harus diartikan sebagai mandat langsung dari tiga prinsip pemilu yang diatur dalam Pasal 3 UU Pemilu yakni, jujur, terbuka, dan akuntabel. Bukan hanya itu, keterkaitan urgensi LPSDK juga memenuhi Pasal 4 huruf b UU Pemilu.
“Pengaturan penyelenggaraan pemilu untuk mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas,” kata Kurnia.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini meminta Bawaslu bekerja lebih ekstra mengawasi aliran dana kampanye Pemilu 2024, seiring ditiadakannya LPSDK.
“Bawaslu akhirnya harus menunggu sampai LPPDK diserahkan untuk memeriksa sumber dana dan belanja peserta pemilu,” kata Titi.
Oleh karena itu, kata Titi, harus ada strategi yang tepat untuk mencegah pelanggaran dan memastikan laporan dana kampanye memang akuntabel.
Menurut Titi, masa kampanye yang singkat selama 75 hari, dari 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024, harus dimanfaatkan betul oleh Bawaslu untuk melakukan pengawasan secara cermat.
“Pengawasan secara jeli atas aktivitas kampanye ini harus dilakukan secara kolektif di setiap jenjang. Baik di tingkat pusat maupun daerah, baik kampanye yang dilakukan partai politik maupun kandidat itu sendiri,” ujarnya.
Titi mengatakan, aktivitas kampanye ini harus dikroscek dengan laporan dana kampanye yang diserahkan kepada KPU. Apakah besaran dana kampanye yang masuk dan keluar selaras dengan aktivitas kampanye yang dilakukan.
Titi menambahkan, Bawaslu juga perlu bekerja sama dengan kementerian dan lembaga yang memiliki kaitan kewenangan dengan tugas pengawasan Bawaslu. Terutama dengan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan).
“Ini terkait aliran dana mencurigakan atau dilarang yang melibatkan peserta pemilu atau orang dan lingkungan terdekatnya,” kata Titi.
Untuk diketahui, koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih beranggotakan ICW, Perludem, Netgrit, THEMIS, KOPEL, Public Virtue Research Institute, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Pusako FH Universitas Andalas, dan Greenpeace Indonesia.(PBN/RMID)
Tinggalkan Balasan