LEBAK, BANPOS – Kejaksaan Negeri (Kejari) Lebak saat ini tengah menggarap dugaan pungutan liar (Pungli) yang dilakukan oleh Kepala Desa Pagelaran, dalam pembebasan lahan tambak udang. Di sisi lain, salah satu pengelola tambak udang pun mengaku ditekan oleh Kades Pagelaran, untuk memberikan success fee dalam pembebasan lahan.
Kasi Intelijen pada Kejari Lebak, Andi Muhammad Indra, saat diwawancara oleh BANPOS di ruang kerjanya mengatakan bahwa pihaknya tengah melakukan investigasi mendalam, terkait dengan kasus tersebut.
“Memang khusus kasus di Pagelaran sedang ditangani oleh bagian Pidsus Kejari Lebak,” katanya kepada BANPOS, Selasa (6/6). Dari pengakuannya pun, penyelidikan terkait dengan pungli Kades Pagelaran merupakan penyelidikan inisiasi sendiri dari Kejari, setelah mendengar adanya isu tersebut.
Andi menjelaskan, pihaknya telah berkoordinasi dengan pihak Polres Lebak dalam hal penanganan kasus tersebut. Pasalnya selain Kejari, Polres Lebak pun sempat menggarap dugaan pungli oknum kades itu.
“Kemarin memang sempat ada kabar dua APH yang menangani, tapi kita sudah koordinasi, khusus untuk kasus ini ada di Kejari,” jelasnya.
Ia menerangkan, saat ini pihaknya belum bisa memberikan keterangan lebih jauh untuk kasus tersebut, lantaran masih dalam tahap proses pendalaman. “Adapun informasi lebih jelasnya nanti kita berkabar lagi,” tandasnya.
Sementara itu, salah seorang pengelola tambak udang PT Royal Gihon Samudera (RGS) yang mengaku ditunjuk oleh perusahaan sebagai tim pembebasan lahan untuk tambak, HF, mengatakan jika pihaknya merasa ditekan untuk memberikan success fee.
Selain itu, ia menuturkan bahwa kehadiran Kades Pagelaran yang disebut merupakan bagian dari tim pembebasan lahan, muncul setelah pembebasan selesai dan perusahaan sedang melaksanakan pembangunan.
Kepada wartawan, HF mengatakan bahwa keberadaan Kades itu hanya sebagai pemerintah desa saja, tidak termasuk pada tim pembebasan lahan tersebut. Namun justru saat memasuki tahap pembangunan, mulai ada tekanan dari oknum Kades dan suaminya.
“Kan sudah siap mau di garap dari pihak pembangunannya, dan menang sudah beres dan klir dari pembebasannya. Sudah berjalan, nah mulailah disitu ada kendala-kendalanya ada yang ngotot dari Kepala Desanya termasuk suaminya, padahal kan suaminya tidak berperan atau ikut tim pembebasan tapi suaminya selalu terdepan,” ujar HF.
Sementara saat disinggung terkait Kades dan suaminya yang mengaku bagian dari tim pembebasan lahan itu, HF mengaku heran karena justru mereka hanya mengaku-ngaku saja saat soal ini mulai ramai.
“Nah, justru saya juga heran, setelah kejadian ini kok mengaku masuk tim, sedangkan kalau memang mereka mau masuk tim, kenapa tidak dari dulu saja dari awal. Semenjak pembebasan kurang lebih satu tahunan lah ya, ya kenapa gak dari dulu, malah pas kejadian ini mereka baru ngomong jadi tim,” tuturnya.
Dikatakannya, kaitan dengan success fee, pihaknya mengaku bahwa oknum kades itu sebelumnya meminta jatah sebesar Rp5 ribu per meter dengan nego yang cukup alot. Akhirnya terjadilah kesepakatan Rp1.500 per meter.
“Cuman kan mereka sebetulnya bukan tim pembebasan, atas dasarnya dari pihak desa saja bukan tim. Gak ada tim kecuali saya dengan pak Iwan. Akhirnya deal tuh Rp1.500, itu pun karena mereka maksa,” ungkap HF.
Selain itu, HF juga merasa terganggu dengan perlakuan tidak etis dari oknum Kades saat mendatangi rumahnya dengan maksud menagih sisa jatah pembebasan lahan tersebut.
“Ya sempat ke rumah saya dua kali, pertama siang hari, kedua kalinya pas magrib sambil marah-marah agak sedikit membentak juga sampai melontarkan kata-kata kasar yang tidak pantas. Bahkan warga yang mau berjamaah salat maghrib pun sempat keluar melihat karena suara berisik,” jelas HF. (WDO/MYU/DZH)
Tinggalkan Balasan