Prahara Reklamasi Pesisir Tanara

MANTAN Kepala Desa Pedaleman, Mahyaya, diduga membuat sebuah ‘warisan’ untuk dirinya sendiri sebelum lengser dari jabatannya. Lurah Yaya, panggilan untuk Mahyaya, yang mengaku sebagai keponakan Wapres Ma’ruf Amin, disebut-sebut memandatkan pengelolaan 50 hektare pesisir laut kepada dirinya sendiri, yang diduga akan direklamasi tanpa perizinan dari pihak-pihak yang berwenang. Pertentangan pun menyeruak di antara masyarakat.

Sekelompok warga Desa Pedaleman, Kecamatan Tanara, Kabupaten Serang, tengah berkumpul di salah satu rumah yang dijadikan sebagai basecamp mereka di perbatasan antara Desa Pedaleman dengan Desa Jenggot, Kecamatan Mekar Baru, Kabupaten Tangerang. Kelompok warga itu merupakan dinamisator penolakan atas kegiatan yang diduga reklamasi, yang dilakukan oleh mantan Kepala Desa (Kades) Pedaleman, Mahyaya. Orang-orang menyebutnya sebagai Lurah Yaya.

Kelompok warga yang menyatakan diri sebagai perwakilan masyarakat nelayan Desa Pedaleman itu berkumpul untuk membicarakan terkait dengan pemasangan patok-patok di pesisir Desa Pedaleman, hingga menjorok ratusan meter ke arah tengah laut oleh Lurah Yaya. Mereka menduga, kegiatan yang tengah dilakukan oleh Lurah Yaya itu ilegal. Apalagi, pekerjaan patok-mematok laut dilakukan diam-diam, dan juga merugikan para nelayan.

Mereka jugalah yang merekam sebuah video yang diterima oleh BANPOS beberapa waktu yang lalu. Video yang diterima oleh BANPOS menggambarkan keberadaan patok di wilayah pesisir Desa Pedaleman, dari tepi pantai hingga menjorok ke arah tengah laut. Video itu yang kemudian menjadi landasan BANPOS untuk melakukan penelusuran ke Desa Pedaleman, sejak 31 Mei kemarin.

Patok tersebut dibuat dari bambu, dan terdapat jaring pasir yang membentang di antara patok-patoknya. Dalam video, perekam menyampaikan bahwa masyarakat nelayan Desa Pedaleman merasa terganggu dengan adanya patok itu. Mereka menduga, patok tersebut nantinya akan dilakukan proyek reklamasi. Dari penuturan perekam video, disampaikan bahwa perkiraan luas patok mencapai 100 hektare.

“Dari awal kami-kami ini tidak tahu ada pekerjaan itu,” ujar perwakilan kelompok, Asikin, kepada BANPOS. Asikin ditunjuk oleh anggota kelompok warga Desa Pedaleman, untuk menyampaikan keluhan dari masyarakat terkait dengan pekerjaan yang dilakukan oleh Lurah Yaya.

Menurut Asikin, mereka baru tahu terkait dengan adanya proyek diduga reklamasi itu, setelah adanya keributan antara Lurah Yaya dengan Kepala Desa saat ini, Sad’i, di tepi Sungai Cidurian. Pada saat itu, Asikin mengaku bahwa terjadi cek-cok besar antara dua pria yang ternyata masih memiliki ikatan darah, terkait dengan adanya pematokan pesisir Desa Pedaleman.

Keributan yang memicu rasa penasaran warga itu pun dilerai oleh beberapa orang, salah satunya Asikin. Ia mengatakan bahwa pada saat melerai, dirinya mempertanyakan mengapa mantan Kades dengan Kades cekcok di pinggir sungai. Usut punya usut, Kades Sad’i ternyata berang lantaran Lurah Yaya melakukan pekerjaan yang diduga reklamasi itu, tanpa uluk salam atau memberi salam kepada masyarakat.

“Setop dulu kata pak Lurah baru, sebelum uluk salam dengan orang-orang di sini. Nah kami menindaklanjuti, menyampaikan aspirasi masyarakat untuk memastikan, jangan sampai pekerjaan itu menyengsarakan masyarakat,” tuturnya.

Asikin menyampaikan, terdapat sejumlah poin yang sekiranya harus dijelaskan oleh Lurah Yaya, termasuk oleh Kades Sad’i. Pertama, persoalan perizinan pekerjaan yang diduga reklamasi. Kedua, mengapa tidak ada sosialisasi yang dilakukan kepada masyarakat, padahal sudah pasti masyarakat terdampak. Ketiga, jika memang ini mendapatkan izin dari pemerintah, bagaimana dengan masyarakat yang terdampak? Tentu pihaknya meminta kejelasan terkait dengan kompensasi.

“Jadi bukan cukup terganggu, sangat terganggu dengan keadaan begini. Kerugiannya begini, biasanya yang mengambil kerang di pinggir, orang puket di pinggir, Nggak  bisa. Kan harus ke tengah, itu kerugiannya. Banyaklah kerugiannya, puket itu ngejaring kepiting di pinggir yang ditarik-tarik itu pakai sampan di tepi laut. Tapi kalau di tengah kan nggak bisa terjun orangnya,” terang Asikin.

Berdasarkan penelusuran BANPOS, mayoritas warga Desa Pedaleman memang sama sekali tidak tahu, untuk apa patok pesisir yang dikerjakan oleh Lurah Yaya. Ada yang berkata bahwa patok itu untuk membuat tambak, ada yang menyebut itu proyek pemerintah dan ada yang bilang itu untuk landasan pondasi.

“Nggak tahu itu untuk apa, katanya untuk landasan pondasi. Tapi nggak tahu juga, nggak jelas,” ujar salah satu warga saat ditanya oleh BANPOS. Ia pun menunjukkan arah ke daerah pertambakan, dan berkata bahwa patok dapat dilihat dari ujung daerah pertambakan. Namun sayang, ujung wilayah tambak tersebut tidak dapat dipijak untuk sampai pada daerah pesisir.

Akan tetapi, BANPOS melihat sejumlah perahu yang hilir mudik di sungai yang mengarah ke daerah pesisir, yang membawa sekitar puluhan bambu. Berdasarkan keterangan warga yang menjaga tambak di sana, bambu itu merupakan bahan untuk memperluas patok di pesisir pantai.

Pada Jumat (2/6), BANPOS ditemani oleh warga setempat melihat langsung lokasi patok yang diduga untuk reklamasi dengan menggunakan perahu. Berdasarkan pantauan BANPOS di lokasi patok, bambu yang digunakan sebagai patok itu berbaris dari tepi hutan mangrove, hingga sekitar beberapa ratus meter ke arah laut lepas. Diperkirakan, luas dari wilayah yang dipatok memang mencapai puluhan hektare, karena pematokan pesisir laut masih terus berlanjut.

Salah seorang nelayan kepada BANPOS, mengatakan bahwa pematokan itu cukup merugikan bagi mereka. Pasalnya, dengan adanya patok tersebut, nelayan yang biasanya mencari udang, kerang dan ikan kecil di wilayah pesisir, menjadi terhalang. Selain itu, nelayan yang akan ke laut lepas pun menjadi sulit karena harus melawan ombak. Dua masalah itu sebenarnya dapat diatasi jika para nelayan mau menyeberang ke pesisir laut Desa Jenggot, Kecamatan Mekar Baru, Kabupaten Tangerang, namun tetap tidak menjadi alternatif dari para nelayan.

Tiga hari penelurusan BANPOS di Desa Pedaleman menghasilkan sejumlah informasi dari para warga. Dari hasil perbincangan antara BANPOS dengan warga, diketahui bahwa pematokan pesisir Desa Pedaleman itu diliputi oleh berbagai intrik dan konflik.

Seperti yang disampaikan oleh warga yang enggan disebutkan namanya kepada BANPOS. Ia mengatakan, pematokan itu diduga dilakukan dengan cara memalsukan tanda tangan dari warga dan juga Kades Sad’i. Karena, tidak mungkin izin garap yang diklaim telah dikantongi oleh Lurah Yaya, diberikan dengan luas puluhan hektare.

“Karena izin garap kan palingan dua hektare. Jadi memang ada laporan kalau nama-nama warga digunakan untuk mendapatkan izin garap yang kalau dari isu yang ada di masyarakat, luasnya sampai dengan 100 hektare,” tuturnya. Ia memperkirakan jumlah warga yang dipakai namanya untuk mendapatkan izin garap mencapai puluhan orang.

Lurah Yaya pun disebut oleh beberapa warga sebagai orang yang cukup keras. Apalagi, Lurah Yaya disebut kerap memamerkan kedekatannya dengan petinggi-petinggi di kepolisian. Ia kerap memasang foto profil bersama dengan jenderal-jenderal di kepolisian.

Informasi yang berhasil didapat BANPOS dari warga lainnya menyebutkan bahwa Lurah Yaya diduga melakukan penyelewengan pada program Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA), guna mensertifikasi tanah reklamasi yang tengah dilakukannya di pesisir Desa Pedaleman. Pasalnya, dari jatah 600 sertifikat tanah, Mahyaya hanya merealisasikan sebanyak 240 saja.

Di sisi lain, izin garap yang diklaim dimiliki oleh Lurah Yaya, diduga dikeluarkan pada saat dirinya tengah menjabat sebagai kepala desa. Bagi warga, hal itu ibarat penjarahan daerah pesisir laut yang seharusnya dijaga karena merupakan tempat mereka menggantungkan hidup dengan berbagai sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.(MG-01/MUF/DZH/ENK)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *