Berkaca dari Ketapang

IZIN garap yang digadang-gadang dimiliki oleh Mahyaya sebagai landasan dirinya melakukan aktivitas di pesisir Desa Pedaleman, dianggap tidak memiliki kekuatan hukum. Pasalnya, izin garap atau hak pengelolaan bukan menjadi kewenangan dari Pemerintah Desa, kecuali merupakan tanah ulayat atau masyarakat hukum adat. Selain itu, hak pengelolaan pun biasanya diberikan hanya untuk tanah yang berstatus terlantar, atau tanah timbul yang dikuasai oleh negara.

Sementara untuk bisa mengelola pesisir, masyarakat atau badan hukum tetap harus mengajukan perizinan ke instansi terkait, seperti Dinas Kelautan dan Perikanan ataupun ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KPP), sesuai dengan kewenangannya. Apabila pengelolaan masuk ke dalam kewenangan provinsi yakni dalam lingkup 0-12 mil dari pantai, maka perizinan dapat dilakukan ke provinsi.

Akan tetapi, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten mengaku tidak mendapatkan permohonan izin pengelolaan ruang laut, dari Mahyaya. Bahkan, mereka sama sekali tidak tahu, apa yang tengah dilakukan oleh Mahyaya di pesisir Desa Pedaleman itu.

Kepala Bidang Pengelolaan Sumber Daya Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DKP Provinsi Banten, Bey Adam Hasyim, mengaku bahwa pihaknya belum menerima permohonan izin dari pihak yang melakukan aktivitas di pesisir Desa Pedaleman. Dari sejumlah bukti yang diberikan BANPOS, ia mengaku masih belum mengetahui, apa gerangan yang tengah dilakukan oleh Lurah Yaya. Apakah itu reklamasi, atau tengah membangun tambak sebagaimana yang diklaim oleh Lurah Yaya.

“Belum ada, belum. Baik orang, badan usaha, itu harus melakukan perizinan dulu begitu. Pemanfaatan ruang lautnya untuk apa? Kesesuaian ruang lautnya untuk apa? Baru untuk izin reklamasinya kalau memang reklamasi, ke kementerian. Izinnya ke kita dulu, nanti kita lihat, oh ini bisa, kalau bisa baru ditempuh. Kalau nggak bisa ya nggak boleh,” ujar Bey Adam Hasyim saat ditemui di ruangannya pada Senin (5/6).

Saat dijelaskan bahwa pelaksana aktivitas itu mengaku telah mendapatkan izin dari pemerintah desa setempat, untuk melakukan penggarapan lahan di pesisir laut tersebut untuk dijadikan tambak ikan dan udang, DKP Provinsi Banten menegaskan bahwa hal itu tidak bisa dilakukan.

Sebab menurutnya, kewenangan untuk mengeluarkan izin itu bukan ranahnya pemerintah desa. Karena berdasarkan aturan, jarak 0-12 mil berada di bawah kewenangan provinsi, maka seharusnya pihak yang mengeluarkan perizinan terkait dengan hal itu adalah Pemprov Banten melalui Dinas Kelautan dan Perikanan.

“Nggak ada, nggak boleh. Karena laut itu kewenangan provinsi dari nol sampai 12 mil. Jadi kalau dia mau memulai reklamasi atau mau membuat tambak, dia harus izin ke kita dulu,” jelasnya.

Jika memang aktivitas yang tengah dilakukan oleh Lurah Yaya adalah reklamasi, Adam menjelaskan bahwa sebelum dilakukan reklamasi, yang bersangkutan harus mengetahui terlebih dahulu zona mana saja yang dibolehkan untuk dilakukan reklamasi. Selain itu, pihak terkait juga harus mengetahui tujuan dari reklamasi itu peruntukannya untuk apa. Sebab, ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan terkait dengan hal itu.

“Pertama dia harus mendapatkan informasi dari kita perihal kesesuaian zonasinya. Jadi, zonasi di situ untuk apa? Misalkan dia mereklamasi, ok, reklamasi nya untuk apa? Tapi kalau misalkan itu zonasinya zonasi konservasi, bukan peruntukan untuk pelabuhan itu nggak bisa. Tempuh dulu kesesuaian ruang lautnya, peruntukannya untuk apa, sesuai, izin ke kementerian, bayar PNBP-nya. Dia harus membuat kajian juga. Biasanya reklamasi itu untuk pelabuhan. nggak jauh pelabuhan, wisata bahari, pariwisata. Udah itu aja dua,” imbuhnya.

Selain itu, Adam juga menyangsikan jika lahan reklamasi itu nantinya akan dijadikan sebagai lahan tambak ikan dan udang. Sebab menurut pemahamannya, pembuatan tambak ikan itu bukan dilakukan dengan cara reklamasi atau penimbunan lahan, melainkan dengan cara pengerukan lahan.

“Nggak mungkin tambak itu reklamasi. Tambak itu bukan reklamasi, ngeruk. Iya, kan bikin cekungan, bikin kolam. Kalau reklamasi nggak mungkin. Bohong dia berarti,” tegasnya.

Oleh karenanya, mendapati kabar adanya aktivitas reklamasi yang diduga tidak memiliki izin, Adam mengatakan timnya akan melakukan pemeriksaan di lapangan, guna memeriksa apakah lahan tersebut telah memenuhi syarat dan perizinan. “Nanti petugas kita, pengawasan turun, kan kita mah yang penting ada informasi yang masuk dari masyarakat, kita langsung tindak lanjuti,” katanya.

Jika nanti lahan tersebut ternyata terbukti tidak memiliki izin, maka Adam menjelaskan, pihaknya akan berkoordinasi dengan Aparat Penegak Hukum (APH) untuk melakukan penindakan atas lahan tersebut.

“Kita paling melaporkan aja, tindaknya kalau administratif  berarti dicabut izinnya kalau dia sudah berizin. Kalau dia tidak berizin berartikan masuknya pidana. Ya kan berarti penyerobotan lahan, lahannya lahan laut,” tuturnya.

Adam pun juga mengatakan bahwa bukan tidak mungkin, pelaku nantinya akan terjerat dengan kasus pidana atas tudingan telah melakukan penyerobotan lahan milik negara secara sepihak. Karena menurut penjelasannya, lahan reklamasi itu akan menjadi milik negara, dan pihak yang melakukan aktivitas tersebut hanya memiliki kewenangan untuk mengelolanya.

“Dia nambah tanah, nah tanahnya itu nanti statusnya bukan punya dia, tetap punya negara. Bahkan sudah jadi reklamasi pun punya Negara, bukan punya dia. Dia cuma hak pengelola lahan,” tuturnya.

Pihak DKP Provinsi Banten menjelaskan bahwa kejadian itu bukan lah kali pertama terjadi. Sebelumnya, sudah pernah ada kejadian serupa yang terjadi di perairan laut Ketapang, di Desa Ketapang, Kecamatan Mauk Kabupaten Tangerang.

Modusnya sama, lahan pantai itu diklaim milik pribadi yang sudah memiliki izin. Hanya saja untuk kasus di Ketapang, pihak DKP Provinsi Banten akhirnya berhasil membuktikan bahwa lahan tersebut tidak berizin. Tidak cukup berhenti di situ, setelah dilakukan pendalaman terhadap kasus tersebut, rupanya pelaku tidak bergerak sendiri. Ada pihak perusahaan yang bermain di belakangnya.

Adam meyakini, hal serupa juga turut terjadi di Kecamatan Tanara, pelaku pasti tidak bergerak sendiri ada pihak lain yang bergerak di belakangnya yang mendukung aktivitas tersebut dapat terjadi.

“Saya yakin dia melakukan reklamasi itu tidak sendiri, pasti ada pihak perusahaan yang menyuruhnya di belakang. Seperti yang di Ketapang, setelah akhirnya kita selidiki, ternyata ada pihak yang menyuruh yakni salah satu perusahaan properti besar,” tandasnya.

Anggota DPRD Provinsi Banten dari Fraksi PKS, Gembong R. Sumedi, mengatakan bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh Lurah Yaya berpotensi ilegal. Oleh karena itu, pihaknya meminta kepada Pemprov Banten untuk melakukan penindakan tegas apabila memang pekerjaan tersebut terbukti ilegal.

“Kalau menurut saya itu ilegal, dan pemerintah harus bertindak tegas karena dengan adanya reklamasi ilegal seperti itukan akan mengganggu aktivitas nelayan. Karena dia ngasih patok-patok bambu segala macam. Masa laut dipatok-patok,” ujarnya.

Ia menegaskan, Pemprov Banten melalui DKPP, harus berani mengusut tuntas praktik tersebut. Terlebih, besar kemungkinan ada pihak-pihak lain yang berada di belakang Mahyaya. “Jangan kesannya pemerintah membiarkan, gitukan,” tuturnya.

Menurut Gembong, praktik yang dilakukan oleh Mahyaya sangat mirip dengan yang kerap dilakukan oleh para mafia tanah. Apabila dibiarkan, maka praktik seperti itu dapat meluas, dan merusak kondisi perairan di Provinsi Banten.

“Jadi saya pikir ya pemerintah harus tegas jika ada hal-hal yang seperti itu. Segera dilakukan penindakan, supaya tidak merembet gitu tuh. Nantikan kalau ada satu pihak dibiarkan, pasti yang lain juga akan ikut,” ungkapnya.

Gembong pun mendesak kepada Pemprov Banten, untuk segera melarang kegiatan yang dilakukan oleh Mahyaya, apalagi jika terbukti ilegal. Sebab, kegiatan tersebut telah mengganggu aktivitas dari para nelayan.

“Nah itu sejak dini harus ditegaskan oleh pemerintah daerah, dan orang-orangnya harus ditindak. Pengawasan harus diperketat, karena itu bisa menjadi konflik di tengah masyarakat kalau tidak ditangani segera,” katanya.

Di sisi lain, Gembong pun merasa aneh dengan landasan yang digunakan oleh Mahyaya, untuk melakukan pekerjaan yang diduga reklamasi itu. Sebab, landasan yang digunakan adalah izin garap, padahal yang digarap merupakan pesisir laut yang secara aturan dikuasai oleh negara.

“Apalagi pantainya, pantai terbuka ya. Itu siapa yang memberikan izin garap, aneh juga. Karena itu kan kawasan terbuka, yang mengklaim untuk memberikan izin garap siapa? Apa pemerintah? Kalau pemerintah, itu harus dipertanyakan karena itu kan daerah terbuka. Siapapun bisa lewat situ,” tegasnya.

Sementara itu, aktivis Untirta, Muhamad Taufik Ramdan, mengatakan bahwa pekerjaan yang diklaim sebagai pembuatan tambak oleh Lurah Yaya di pesisir laut Desa Pedaleman, dipastikan dapat mengurangi luas perairan yang tersedia bagi para nelayan, untuk melakukan penangkapan ikan.

“Ketika tambak dibangun, sebagian wilayah perairan akan dialihfungsikan menjadi area tambak, mengurangi ruang gerak dan akses nelayan untuk mencari ikan. Sehingga, akan terjadi pencemaran air dan dapat mengganggu ekosistem laut, termasuk habitat ikan dan populasi plankton yang menjadi sumber pakan bagi ikan,” ujarnya.

Selain itu, ia mengatakan bahwa pembangunan tambak dapat mengubah struktur dan komposisi ekosistem di pesisir. Hal itu akan berdampak pada perubahan aliran air, hancurnya hutan bakau dan gangguan terhadap sumber daya alam seperti rumput laut, yang penting bagi keberlanjutan lingkungan pesisir.

“Perubahan ini dapat mengurangi ketersediaan makanan dan tempat berlindung bagi ikan, sehingga mengganggu populasi ikan di daerah tersebut,” terangnya.

Selain itu, ia menuturkan bahwa konstruksi tambak seperti jaringan saluran air dan tanggul dapat, membatasi akses kapal nelayan ke perairan yang biasa mereka kunjungi, apalagi jika luasnya mencapai sekitar 50 hektar. Hal ini dapat mengganggu kegiatan penangkapan ikan dan distribusi hasil tangkapan.

“Dalam situasi di mana pembuatan tambak di pesisir mengganggu aktivitas nelayan, penting untuk mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari kegiatan tersebut. Selain itu, diperlukan upaya untuk mencari solusi yang berkelanjutan guna mengurangi konflik dan merawat keberlanjutan ekosistem pesisir,” tuturnya.

Apalagi jika dalam pembuatan tambak di pesisir itu tidak dilengkapi oleh perizinan yang sah dari pemerintah yang berwenang. Hal itu berpotensi melanggar aturan perundang-undangan, bahkan bisa mengarah kepada sanksi pidana karena penggunaan ruang laut yang tidak sesuai dengan peruntukkannya.

“Ini tidak boleh dilakukan. Perizinan tetap harus ditempuh ke Dinas Kelautan dan Perikanan juga pemerintah daerah. Termasuk perizinan lingkungan,” tandasnya. (MG-01/MUF/DZH)

Pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Serang saat hendak dikonfirmasi, tidak dapat ditemui. Sementara BPN Provinsi Banten tidak dapat memberikan tanggapan, lantaran persoalan izin garap pesisir bukan merupakan kewenangan mereka.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *