SERANG, BANPOS – Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) kini tengah berupaya melakukan revisi atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau biasa dikenal dengan UU ITE.
Revisi itu perlu dilakukan, lantaran UU ITE menuai banyak kritikan dari berbagai pihak, karena dinilai mengandung banyak sekali pasal karet yang dapat merugikan masyarakat.
”Karena banyak pasal-pasal yang dianggap, di antaranya yang ambigu kemudian menjadi istilah orang umum itu jadi pasal karet, gitu. Banyak hal yang atas masukan-masukan dari berbagai pihak dan masyarakat itu sebabnya kita revisi,” ucap anggota Komisi I DPR RI Jazuli Juwaini saat ditemui di Gedung Pendopo Gubernur Banten pada Jumat (9/6).
Juwaini menegaskan dalam rencana revisi kali ini, pihaknya ingin memastikan bahwa pasal-pasal yang terkandung di dalam undang-undang tersebut nantinya dapat lebih objektif dalam memutuskan suatu perkara.
”Ya sebenarnya jauh lebih objektif lah. Kita ingin undang-undang itu kan dibuat bagaimana pas gitu, mengatur yang tidak terlalu yang sebenarnya masalahnya ringan tapi diberatin gitu. Ada masalahnya berat, tapi diringankan gitulah,” terangnya.
Ia lantas mencontohkan dalam kasus judi online, bandar dan pemain tidak disamakan dalam penentuan hukumannya.
”Kaya tadi masukan dari Kapolda itu bagus tentang judi online. Masa bandar sama orang yang masang sama hukumannya. Ini contoh aja. Saya kira itu objektif masukan itu,” imbuhnya.
Saat disinggung perihal pasal 45A tentang ujaran kebencian, yang dalam praktiknya dinilai sebagai pasal karet karena kerap digunakan sebagai alat pembungkaman terhadap pihak-pihak yang dinilai keras mengkritisi kebijakan pemerintah, apakah akan tetap dipertahankan atau justru malah dihapuskan? Jazuli memiliki jawabanya sendiri.
Menurutnya, masyarakat harus bijak dalam membedakan mana kritik dan ujaran kebencian. Namun ia tidak menutup kemungkinan, jika memang pasal tersebut dianggap sebagai pasal karet maka akan dilakukan revisi terhadap pasal tersebut.
”Nah justru itu, jadi kita harus bedakan antara mengkritik dengan ujaran kebencian, ya kan gitu. Di negara Demokrasi kritik itu harus mendapat ruang, jangan sebenarnya orang mengkritik tetapi secara subjektif dia bisa dikriminalisasi. Itu yang tidak kita inginkan,”
”Makanya kita revisi, nah itu yang dimaknai pasal karet. Pasal karet itukan bisa berkembang, sebenarnya kesini tapi bisa dikembangin ke sini, Nah itu kita benahi,” jelasnya.
Selain itu, anggota Fraksi PKS itu pun berani menjamin bahwa pihaknya tidak tengah berencana menciptakan suatu pemerintahan yang diktator lewat revisi Undang-Undang ITE.
”Bukan untuk jadi lebih diktator, tidak. Saya kan partai oposisi. Gak mau rakyat dijerat bicara karena Ketua Fraksi kalau ngomong kritik pemerintah juga tidak boleh dijerat,” tegasnya.
Di samping itu, Jazuli juga mengingatkan kepada masyarakat dalam memberikan kritikan terhadap pemerintah, sepatutnya hal itu dilakukan dengan cara yang santun dan sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di Indonesia.
”Karena kritiknya yang penting membangun. Kritiknya itu adalah kritikal yang memberikan solusi alternatif, dengan bahasa-bahasa yang santun lah. Kita inikan negara yang dasarnya Pancasila, adat keTimuran, dan segala macam,” tuturnya.(MG-01/PBN)
Tinggalkan Balasan