AKHIR Mei lalu, saya kebetulan diundang menjadi salah satu pembicara dalam sebuah Talk Show yang digelar Forum Zakat di kampus Untirta. ‘Temanya adalah Peran Mahasiswa dalam Membangun Masyarakat Melalui Gerakan Zakat’.
Sebenarnya diskusi berlangsung menarik. Selain saya, kegiatan talk show diisi pembicara yang termasuk pakar-pakar zakat di Provinsi Banten. KH Zainal Abidin Suja’i yang merupakan pakar dari Baznas Banten, lalu ada Kepala Bidang Penerangan Agama Islam, Zakat dan Wakaf Kanwil Kemenag Banten, Masyhudi, dan narasumber dari Forum Zakat Perwakilan Provinsi Banten, Dewi Nurmaliza.
Sebenarnya talk show berlangsung menarik, setidaknya bagi saya. Banyak insight baru yang saya dapatkan dari narasumber lain. Sayangnya, waktu yang terbatas membuat diskusi seperti berjalan terburu-buru. Karena itu, saya merasa talk show itu belum tuntas buat saya, dan saya mencoba menuliskan apa yang ingin saya sampaikan disini. Mumpung juga, pekan ini umat Islam akan merayakan Hari Raya Idul Adha.
Yang sangat menarik perhatian saya dalam talk show itu adalah pernyataan Bapak Masyhudi soal potensi zakat di Banten. Menurutnya, Banten memiliki potensi zakat lebih dari Rp1 triliun per tahunnya. Dari jumlah itu, perputaran zakat di Banten mencapai Rp600 miliar per tahun.
Namun, dari jumlah itu, baik Baznas maupun 21 lembaga amil zakat yang ada di Banten baru mengelola Rp60 miliar lebih. Artinya masih ada lebih dari Rp500 miliar dana zakat yang tidak terkoordinir dan dikelola secara mandiri oleh individu maupun kelompok-kelompok masyarakat.
Kondisi ini tentu menjadi peluang bagi para mahasiswa ataupun kelompok muda lainnya untuk terjun di bidang zakat. Karena, sebagai sistem ekonomi syariah, zakat memiliki multi flyer effect yang sangat besar bila dioptimalkan secara baik.
Selain bisa membangkitkan ekonomi umat melalui beragam program pemberdayaan, zakat juga bisa menjadi lapangan pekerjaan, terutama bagi mahasiswa. Mahasiswa dengan cara berpikir yang kekinian, tentu sangat dibutuhkan untuk menciptakan inovasi-inovasi baru, baik ketika mereka bergabung dengan lembaga amil zakat yang ada maupun membentuknya secara mandiri.
Yang jadi masalah, selain soal zakat fitrah, soal zakat secara umum terhitung asing di dunia mahasiswa. Terutama di kampus-kampus konvensional yang kurikulumnya tidak banyak memberi ruang pada ilmu keagamaan. Para pembicara di talk show itu juga mengakui masih minimnya literasi tentang zakat yang bisa menjadi referensi mahasiswa.
Karena itu, penting adanya sebuah gerakan membangun budaya zakat mulai dari generasi muda. Di era kekinian, berbagai platform media, baik media massa maupun media sosial bisa dimaksimalkan oleh para penggerak zakat maupun lembaga zakat yang ada.
Hari ini informasi bisa diakses secara massal melalui berbagai platform digital. Dan bisa di-blasting melalui perangkat yang setiap saat menempel dengan penggunanya. Paltfortm digital ini juga yang hari-hari ini menjadi trend setter, bahkan bisa merubah budaya dan gaya hidup banyak orang berdasar ketertarikannya masing-masing.
Nah, di sinilah amil zakat harus aktif berperan agar zakat ini bisa menjadi gaya hidup bagi generasi muda dengan memanfaatkan berabagai platform media sosial maupun media massa.
Saya punya contoh menarik, misalnya bagaimana puasa Ramadan sekarang menjadi sebuah budaya populer yang bukan hanya dijalankan oleh umat muslim. Karena, sejak youtube menjadi salah satu platform mainstream di dunia digital, kita bisa melihat banyak sekali orang-orang nonmuslim yang mencoba untuk menjalankan puasa, baik hanya sehari, seminggu, bahkan selama bulan Ramadan.
Dari ikut-ikutan demi merasakan sensasi berpuasa, ataupun hanya sekedar demi membuat konten, tidak sedikit orang nonmuslim yang mendapatkan insight baru soal Islam, bahkan tak sedikit yang memilih hijrah dan menjadi mualaf. Ini menjadi bukti bagaimana penyebaran informasi bisa merubah gaya hidup dan pandangan orang tentang sebuah ritual keagamaan.
Nah, ini menjadi tantangan untuk menjadikan zakat juga bisa menjadi gaya hidup. Tentu lembaga amil zakat dengan semua platform digitalnya, dan tentu saja pers yang juga punya beragam platform untuk menyebarkan gerakan zakat, bisa mengemas zakat dalam sebuah gerakan yang menarik, lebih masiv dan berdampak besar.
Karena itu, sangat diperlukan informasi-informasi yang menginspirasi dan memotivasi orang untuk menjadi penggerak zakat. Saat ini tak terlalu banyak informasi inspiratif yang menjadi konsumsi media massa.
Media massa cenderung lebih suka memberitakan orang miskin yang tinggal di dekat kantor bupati misalnya, ketimbang peran lembaga zakat mengerakkan ekonomi masyarakat di sebuah desa.
Padahal, saya menjamin, cerita perjuangan kader atau pengurus lembaga amil zakat saat terjun ke suatu daerah juga pasti menarik dan memiliki news value yang tinggi. Karena salah satu unsur dalam teori kelayakan berita adalah human interest, yaitu berita-berita yang menggugah perasaan atau memotivasi pembaca untuk melakukan hal serupa dengan apa yang diberitakan.
Dalam cerita inspiratif itu misalnya, Kita bisa gambarkan mulai dari perjalannnya, proses perjuangannya sampai kesuksesannya menjalankan misi zakat yang diembannya. Atau kita bisa menggambarkan bagaimana kondisi suatu keluarga atau suatu kelompok masyarakat yang bisa berubah karena sentuhan lembaga zakat.
Cerita-cerita inspiratif ini tentunya bisa menggerakkan generasi muda untuk lebih mengetahui seluk-beluk zakat dan bagaimana mengelola zakat atau terlibat langsung dalam lembaga-lembaga amil yang ada di Banten.
Nah, tentunya penyebarluasan informasi ini menjadi hal yang tidak kalah penting. Karena itu dituntut kreatifitas dari lembaga zakat untuk memanfaatkan semua celah platform yang ada agar informasi yang disebarkan bisa memberi trigger kepada generasi muda agar menjadikan sektor zakat menjadi cita-citanya kelak.
Bukan hanya itu, berdasarkan Undang-undang Zakat atau UU Nomor 23 tahun 2011, generasi muda atau mahasiswa juga bisa berperan ikut menjadi pembina dan pengawas untuk lembaga-lembaga zakat yang ada. Jadi generasi muda bisa mengekspresikan ide-idenya tentang pengelolaan zakat melalui lembaga-lembaga zakat yang ada. Wallahualam Bisshawab.(*)
Tinggalkan Balasan