Ting Bating

KORAN merah, itulah sebutan yang disematkan oleh orang-orang terhadap Harian Banten Pos. Bukan karena merujuk pada suatu organisasi atau partai politik, melainkan ciri khas koran yang telah berusia 12 tahun ini, yang kerap bikin mata pembacanya merah membara: karena terpantik dengan isu yang diangkat, atau karena marah ‘Duh apa lagi ini?’.

Meskipun terhitung baru, kurang lebih baru 5 tahun saya membersamai Banten Pos, saya telah melihat cukup banyak pandangan orang terhadap koran jaringan Rakyat Merdeka ini. Galak, banyak yang berkata demikian. Kritis, juga banyak. Memegang teguh idealisme dalam membuat karya jurnalistik, wah ngecap banget ya. Namun itulah inti dari tulisan ini.

Alkisah, pada saat saya baru saja dipindah tugas wilayah peliputan dari Kota Serang menjadi Provinsi Banten, saya diharuskan untuk mengonfirmasi salah satu pejabat di Pemprov Banten. Karena yang bersangkutan tidak bisa ditemui, terpaksa harus mengonfirmasi via telepon.

Awalnya, panggilan telepon yang saya lakukan tidak direspon. Buru-buru saya mengirimkan pesan WhatsApp kepada yang bersangkutan. “Assalamualaikum pak izin, saya Diebaj dari BantenPos. Mau mengonfirmasi beberapa hal pak, izin minta waktunya,” tulis saya melalui WhatsApp.

Seketika itu juga, yang bersangkutan menelepon saya. Yang diungkapkan olehnya pada saat awal-awal perbincangan adalah “Saya gak mau diberitain judulnya merah,” ujarnya kepada saya. Penggunaan judul warna merah memang juga menjadi ciri khas dari Banten Pos.

Kisah lainnya, suatu ketika ada seorang pejabat pemerintah yang menyampaikan bahwa Banten Pos merupakan salah satu koran favoritnya. Apalagi edisi Indepth yang rutin terbit setiap hari Jumat. Dia menyampaikan kalau Banten Pos berani mengulik isu-isu secara mendalam, disajikan secara lugas tanpa ada takutnya.

Beberapa waktu kemudian, dia justru mencak-mencak ke Banten Pos. Alasannya, Banten Pos memberitakan suatu permasalahan yang melibatkan dirinya. Mungkin edisi Banten Pos saat itu menjadi edisi yang bukan favoritnya. Karena pada edisi selanjutnya, dia kembali menjadi Ce’es BANPOS seperti sedia kala.

Baru-baru ini, Banten Pos mengangkat sebuah Indepth yang cukup membuat ‘gaduh’ sejumlah pihak di daerah maupun pusat. Running berita sampai saat ini masih terus berjalan. Pekan lalu, saya bertemu dengan salah satu pihak yang terkait dengan pemberitaan itu. Mereka minta supaya berita tidak perlu dilanjutkan, sambil diselipi marah-marah plus dalil agama.

Mereka suka sama Banten Pos, karena beritanya ‘nendang’. Tapi sialnya, yang diberitain itu mereka, jadilah marah-marah. Namun di akhir pertemuan, mereka malah mempercayakan sebuah isu yang cukup menarik untuk diulik. Katanya, mereka yakin kalau Banten Pos bisa menguliti isu tersebut sampai tuntas.

Realita itulah yang dihadapi oleh Banten Pos. Belum lagi ketika harus menghadapi pertanyaan ramai-ramai “Emang ada masalah apa sih Banten Pos dengan si anu, OPD itu, lembaga itu?”, jawabannya adalah: tidak ada.

Sebagai media yang profesional, Banten Pos berpegang teguh pada aturan-aturan yang berlaku seperti Kode Etik Jurnalistik, Undang-undang Pers serta pedoman-pedoman lainnya. Salah satu amanatnya ialah melakukan pengawasan atau kontrol sosial sesuai dengan fakta-fakta yang ada. Hal itulah yang menjadikan Banten Pos terkadang galak, selalu kritis, dan dianggap idealis. Jadi bukan soal like and dislike seperti yang biasa muncul pada saat pelaksanaan rotasi dan mutasi pejabat, enggak.

Sebetulnya, saya sangat meyakini bahwa publik, khususnya para pejabat, memahami bahwa salah satu fungsi pers adalah kontrol sosial. Namun yang bikin jengkel adalah, fungsi itu seolah-olah tidak boleh berlaku kalau menyangkut persoalan mereka.

Saking jengkelnya, kami sampai-sampai membuat adagium sendiri: Gua seneng sama Banten Pos, asal jangan gua yang diberitain. Sementara imajinasi saya, membuat sebuah anekdot yang kisahnya ditutup dengan dialog logat khas Jaseng, ‘Ting buating, jangan gue yang diberitain’. (*)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *