Bad News is Berita Jelek

SEORANG mahasiswa melakukan penelitian di BANPOS untuk menyelesaikan tugas skripsinya. Dia pun mewawancarai saya selama kurang lebih satu jam lamanya. Dari banyak pertanyaan yang dia sampaikan, ada satu pertanyaan yang ingin saya bahas disini.

“Apakah bad news is good news?” demikian sang mahasiswa bertanya pada saya.

Selama ini, bad news alias berita buruk kerap disandingkan kepada berita-berita yang punya nilai-nilai negatif, baik kepada persona maupun kepada sebuah situasi atau peristiwa. BANPOS yang kerap memberi judul ‘panas’ di headline-nya, pun dicap mengusung prinsip bad news is good news.

Berbicara bad news, tentu tak bisa lepas dari perspektif orang yang membaca sebuah narasi. Baik dalam sebuah pemberitaan maupun tulisan-tulisan lain.

Buat orang atau kelompok yang diberitakan karena terbelit dalam sebuah permasalahan, tentu sebuah pemberitaan memiliki nilai negatif bagi dirinya. Namun, dari sisi lain pemberitaan itu justru memberi gambaran Kepada pembaca tentang sebuah permasalahan yang disorot dalam sebuah tulisan.

Bisnis media massa tentu berbeda dengan bisnis lainnya. Sebagai pilar keempat demokrasi, ada tanggung jawab moral maupun sosial untuk memberi manfaat kepada publik. Karena, dalam Undang-undang Pers disebutkan, fungsi utama pers adalah menjadi media informasi, kontrol sosial, hiburan dan pendidikan.

Karenanya, baik buruknya sebuah tulisan tidak hanya bisa dilihat dari konteksnya saja. Bagi sayang,bagus tidaknya sebuah pemberitaan harus diliat dari seluruh aspek, baik konteksnya, kualitas tulisannya, hingga dampak yang muncul setelah tulisan itu dibaca orang. Selain itu, keberimbangan sebiah berita juga menjadi faktor penentu kualitas sebuah tulisan.

Kasus Pantai Terkumuh se-Indonesia di Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, beberapa waktu lalu menjadi viral. Situasi itu bisa menjadi contoh bagaimana sebuah publikasi dengan negatif bisa menyatukan banyak stakeholder melakukan perbaikan.

Dari unggahan media sosial yang viral, pers pun ikut menggaungkannya. Dampaknya adalah ketika semua pihak saling bahu membahu memberikan kemampuannya untuk menyelesaikan, atau minimal mengurangi, persoalan yang ada di pantai itu.

Lalu, soal berbagai peristiwa korupsi di Banten. Apa yang terjadi bila pers tak memberitakannya?

Padahal dari berita-berita itulah masyarakat bisa terlibat aktif ikut mengawasi perjalanan sebuah kasus, dari mulai terungkapnya sebuah indikasi korupsi hingga inkrah secara hukum.

Lagi-lagi sebagai salah satu pilar demokrasi, pers harus menjadi watch dog bagi penyelenggaraan hukum dan pemerintahan. Karenanya, pemberitaan soal kasus-kasus yang muncul menjadi pendorong bagi penegak hukum untuk menjalankan fungsinya secara profesional, sekaligus memberikan informasinsebagai perwujudan asas transparansi dalam penanganan sebuah kasus.

Jadi, kembali berbicara soal bad news, sekali lagi, tergantung pada perspektif orang yang membacanya.

Selama ini, saya selaku pemimpin redaksi di BANPOS masih yakin kalau kami hanya menyampaikan good news kepada pembacanya. Artinya, berita yang disajikan memenuhi aspek kualitas, bisa dipertanggungjawabkan secara hukum maupun kode etik jurnalistik, juga memberi dampak terhadap perubahan yang terjadi di Provinsi Banten.

Sedangkan bad news, bagi saya adalah berita yang benar-benar buruk secara harfiah. Kualitas penulisannya kacau, tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum, melanggar kode etik jurnalistik dan tidak memberi manfaat apapun kepada pembacanya, apalagi kepada masyarakat secara umum.

Jadi, buat saya bad news is berita jelek. Itu saja!(*)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *