Saat Budi Gunadi Sadikin resmi dilantik oleh Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Kesehatan Kabinet Indonesia Maju Periode 2019-2024, menggantikan Terawan Agus Putranto di Istana Negara Jakarta pada akhir tahun 2020 yang lalu, saya langsung memikirkan bagaimana kondisi adik saya Panca yang saat itu baru saja masuk ke Jurusan Kedokteran.
Bagaimana tidak, baru saja masuk kuliah tahun 2019, langsung menghadapi situasi Pandemi Covid 19 yang tentu saja membuat proses pembelajarannya menjadi berbeda jauh. Eh ditambah, punya pengambil kebijakan kesehatan yang bukan merupakan lulusan dari pendidikan kesehatan, tapi seorang Sarjana Fisika Nuklir yang malang melintang di dunia perbankan.
Saat itu, saya sempat berharap Panca lulus, menkes sudah berganti.
Namun ternyata, dalam masa pandemi ini, Panca dan beberapa rekan-rekannya bisa menyelesaikan pendidikan kedokteran hanya dalam tempo 3,5 tahun. Dan menkes masih pak Budi Gunadi Sadikin yang bersama DPR memberikan warisan Omnibus Law Kesehatan.
Panca sempat bercerita, bagaimana sulitnya untuk melakukan praktik dalam mata kuliah yang sedang dilakukan. Masalah praktikum ini menjadi hal yang sepertinya paling banyak terjadi, apalagi profesi dokter tidak hanya sebagai ilmuwan saja, namun juga profesi yang membutuhkan kemampuan teknis, jadi kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik harus berjalan beriringan. Namun, mengutip dari tulisan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Prof. Dr. David S Perdanakusuma, dr., SpBP-RE(K), pada masa pandemi, pembatasan aktivitas fisik hanya memungkinkan pembelajaran jarak jauh terkait aspek kognitif secara online.
Aspek psikomotor dan afektif sulit dilaksanakan sehingga kegiatan praktikum, tugas lapangan, kegiatan di rumah sakit, dan penelitian sulit berjalan. Kegiatan ini tidak dapat tergantikan dengan model pembelajaran jarak jauh secara online. Aspek psikomotor pada jenjang akademik merupakan aspek penting yang paling terdampak bencana ini karena memerlukan kehadiran fisik, misalnya praktikum anatomi, histologi, faal, biokimia, keterampilan medik, dan lain-lain.
Saat saya mencoba bertanya kepada Panca, dia mengakui bahwa memang tantangan tersebut nyata adanya, dia merasa tidak memiliki ilmu pengetahuan yang cukup dengan adanya pembelajaran model jarak jauh tersebut. Akan tetapi, disisi lainnya, ia harus lulus dan menyesuaikan diri dengan tantangan tersebut.
“Ya sudah saya perdalam ilmu itu di masa co-ass,” ujar Panca saat saya tanya terkait kesulitan belajar di masa pandemi.
Sebagaimana diketahui, menurut data Kementerian Kesehatan yang dihimpun Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah dokter di Indonesia mencapai 176.110 orang pada 2022.
Angka tersebut merupakan gabungan dari dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis.
Dengan angka tersebut, rasio dokter Indonesia pun membaik. Menurut data World Health Organization (WHO) yang dihimpun Index Mundi, pada 2019 Indonesia hanya memiliki rasio 0,47 dokter per 1.000 penduduk.
Kemudian pada 2022, dengan membandingkan data jumlah dokter dan total jumlah penduduk Indonesia terbaru, angka rasionya naik menjadi sekitar 0,63 dokter per 1.000 penduduk.
Namun, rasio tersebut masih lebih rendah dari standar ideal WHO, yakni 1 dokter per 1.000 penduduk.
Kebutuhan meningkatkan rasio dokter tersebut seharusnya tidak sampai mengabaikan aspek profesionalitas. Dokter masa depan itu bisa dipastikan diantaranya adalah dokter yang melalui proses pendidikan pada masa pandemi tersebut. Padahal sebagaimana menjadi perbincangan di masyarakat, dokter yang melalui proses normal saja terkadang dipertanyakan profesionalitasnya.
Saat Panca menjawab merasa masih kurang ilmunya, saya sempat bercanda dengan serius.
“Kalau begitu saya tidak mau dirawat dokter Panca deh,” gurau saya.
Ya memang kita berharap akan sehat terus.
Karena sakit akan lebih mahal, apalagi mandatory spending dihapuskan dalam Omnibus Law Kesehatan.
Tinggalkan Balasan