PPDB Berujung Tuntutan Tabrani Mundur

Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tingkat SMA tahun ini menuai kekisruhan, usai ditemukan adanya sejumlah temuan kecurangan selama proses seleksi tersebut berlangsung.

Berdasarkan laporan Ombudsman RI Perwakilan Banten, setidaknya ada kurang lebih 36 laporan aduan perihal adanya dugaan kecurangan selama pelaksanaan PPDB tahun ini.

Aduan kecurangan yang dimaksud diantaranya manipulasi Kartu Keluarga (KK), hingga adanya dugaan praktik ‘jual beli kursi’ oleh oknum sekolah.

Penilaian terkait pelaksanaan PPDB tingkat SMA ini akhirnya membuat beberapa aktivis menuntut adanya pertanggungjawaban dari Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Provinsi Banten, Tabrani, untuk mundur dari jabatannya.

Setelah kelompok masyarakat sipil Jaringan Nurani Rakyat (JANUR) Banten, desakan itu kemudian dimunculkan kembali oleh kelompok mahasiswa dan pelajar yang tergabung ke dalam koalisi Geger Pendidikan’.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Dindikbud Provinsi Banten, Tabrani memilih untuk tidak terlalu menghiraukan desakan masyarakat yang meminta dirinya untuk mundur dari jabatannya saat ini.

Menurutnya, soal penghentian jabatan pegawai di lingkup Pemerintah Provinsi Banten, hal itu merupakan kewenangan Gubernur Banten.

Oleh karenanya, perihal desakan tersebut, Tabrani menyerahkan sepenuhnya terhadap penilaian Gubernur apakah dirinya layak untuk dihentikan atau sebaliknya.

“Jabatan itukan bukan saya yang punya kewenangan, gitu kan? Pak Gubernur yang memberikan penilaian,” terang Tabrani kepada BANPOS pada Kamis (27/7).

Tabrani memberikan pembelaan, bahwa selama ini dirinya telah bekerja dengan baik dan semaksimal mungkin.

Oleh sebab itu, ketimbang harus memikirkan soal desakan dirinya untuk mundur dari jabatannya sebagai Kepala Dindikbud Banten, Tabrani memilih untuk menjalankan tugas pekerjaannya sebagai Kepala Dindikbud Banten.

“Yang penting mah saya sudah bekerja maksimal, saya sudah melakukan tugas dengan baik,” katanya.

Saat dimintai tanggapan soal tuntutan masyarakat itu, Tabrani tidak terlalu mempersoalkannya. Karena baginya, setiap orang punya hak untuk memberikan penilaian terhadap kinerjanya selama ini.

“Soal ada penilaian sana-sini itu kan menjadi hak setiap orang untuk menilai,” katanya.

Sementara itu di sisi lain, Koordinator Jaringan Nurani Rakyat (JANUR) Banten, Ade Yunus mengatakan bahwa seharusnya atas kekisruhan yang terjadi, Gubernur Banten dapat segera mengambil tindakan terhadap Kepala Dindikbud Banten.

Karena selama pelaksanaan PPDB berlangsung, Ade menilai, pelaksanaan proses seleksi itu sarat akan kejanggalan dan dugaan kecurangan.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 1 Tahun 2021 Gubernur harus segera melakukan pembinaan terhadap pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan PPDB.

“Bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat 1 Permendikbud No 1 Tahun 202 tentang Penerimaan Peserta Didik baru Bahwa PPDB dilaksanakan secara: objektif, transparan, dan Akuntabel. Kemudian Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) Permendikbud No 1 Tahun 2021, Gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan kepada sekolah yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat di wilayahnya,” terang Ade.

Menurutnya, berdasarkan hal tersebut, maka apabila Pelaksanaan PPDB diduga tidak objektif, transparan, dan akuntabel, Gubernur harus mengambil kebijakan untuk melakukan pembinaan salah satunya adalah mengevaluasi jabatan Kepala Dindikbud, Kepala KCD, serta Para Kepala UPT Satuan Pendidikan SMAN.

Ade menerangkan, pelanggaran yang terjadi selama penyelenggaraan PPDB berlangsung adalah salah satunya, tidak dilakukannya proses verifikasi faktual terhadap sejumlah dokumen yang diduga telah dipalsukan untuk mendaftarkan diri melalui jalur prestasi non akademik.

Padahal, tahapan verifikasi faktual merupakan suatu hal yang wajib untuk dilaksanakan guna memastikan sejumlah dokumen tersebut benar keabsahannya.

“Dalam Juknis kan jelas, bahwa Prestasi Non Akademik harus dilakukan Verifikasi Faktual dengan memastikan keabsahan dalam bentuk legalisir, lah ini Kepsek dan Panitia PPDB lalai tidak melakukan verifikasi yang dimaksud,” tegasnya.

Atas dugaan tersebut, selain mendesak Tabrani mundur dari jabatannya sebagai Kepala Dindikbud Banten, pihaknya juga akan melaporkan kasus tersebut kepada Polisi.
Sebab menurut Ade, semua yang terjadi di lapangan telah memenuhi unsur pidana, terutama soal verifikasi faktual terhadap dokumen pendaftaran jalur prestasi non akademik tidak dilakukan sebagaimana mestinya.

Tabrani diancam secara administratif akan dilaporkan berdasarkan Pasal 24 Ayat (4) Permendikbud No 1 Tahun 2021 Pemalsuan bukti atas prestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan secara pidana, Kepala Dindikbud Banten itu diancam akan dilaporkan berdasarkan Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pemalsuan Dokumen, serta Pasal 263 Ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP, DIDUGA turut serta mengetahui tindak Pidana Pemalsuan Sertifikat tersebut.

Diketahui, Janur Banten menemukan adanya pembiaran atas dugaan Pengaturan titik koordinat Zonasi dan dugaan pemalsuan sertifikat Prestasi Non Akademik.

“Kita agak sedikit aneh aja karena yang kita tahu kalau ada siswa yang berprestasi di tingkat internasional, tentunya minimal diekspos di media sosial kok selama 2 tahun, hasil jejak digital tidak ada perlombaan tingkat internasional yang dimaksud, ” kata Ade.

Kejanggalan tersebut semakin menjadi manakala tim verifikasi disinyalir membiarkan dan meloloskan adanya dugaan manipulasi tersebut.

“Saya pengen tau lomba apa di negara mana, dan siapa yang menyerahkan penghargaannya, bila Tahfidz seharusnya dilakukan ujian melewati penguji terlebih dahulu, ” ungkap Ade Yunus.

Panitia pelaksana PPDB, seharusnya bisa melakukan verifikasi atas sertifikat atas kejuaraan internasional yang dilampirkan oleh calon peserta didik yang hari ini dinyatakan diterima.

“Contoh, yang termudah verifikasi melalui website atau instansi yang mengeluarkan sertifikat tersebut,” jelas Ade

Sementara, menanggapi adanya desakan pencopotan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Banten, Tabrani, Plh Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Banten Virgojanti saat ditemui di Gedung Pendopo Gubernur Banten memilih untuk tidak banyak memberikan komentar.

Namun ketika disinggung soal pembentukan Tim Panitia Khusus (Pansus) untuk mengungkap dugaan praktik kecurangan dalam proses seleksi PPDB, Virgojanti mengatakan bahwa pihaknya mempersilakan jika hal tersebut mendesak.

“Ya mangga nanti kita lihat dulu, ya namanya ge orang ikhtiar kan macam-macam. Tapi pengennya kan kalau sebenarnya kita mah pengennya yang lurus saja,” katanya.

Sementara itu, Komisi X DPR mendorong Pemerintah mengefektifkan Satuan Tugas (Satgas) Pemantauan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang akan dibuat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyusul banyaknya masalah dan protes terkait sistem tersebut. Efektivitas Satgas diharapkan bisa mengurangi sengkarut PPDB, khususnya untuk sistem zonasi.

“Masalah terbesar yang kita hadapi dalam dunia pendidikan adalah sistem zonasi. Di mana-mana orang berlomba-lomba memasukkan anaknya ke sekolah dengan berbagai cara yang kurang baik, seperti hanya numpang tinggal sementara dan juga persoalan data yang kurang signifikan,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf, dalam keterangan yang diterima RM.id (BANPOS grup), Rabu (25/7).

Seperti diketahui, banyak kecurangan dalam pelaksanaan PPDB berbasis zonasi. Mulai dari temuan Kartu Keluarga (KK) palsu, sisipan nama pada KK sebagai anggota keluarga tambahan, hingga berbagai modus manipulasi yang dioperasikan semeyakinkan dan semasuk akal mungkin agar memenuhi syarat domisili sebagai prinsip dasar PPDB zonasi.

Terkait manipulasi jalur zonasi, Kemendikbudristek banyak menemukan upaya memasukkan anak ke KK yang alamat rumahnya dekat dengan sekolah yang dituju. Bahkan Kemendikbudristek menemukan ada yang di dalam satu KK terdapat 10 hingga 20 anak.

Dede menganggap, perlu ada pengawasan yang melibatkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk melakukan pemantauan, karena berkaitan dengan data kependudukan.

“Persoalan ini harus melibatkan kementerian lain. Terutama Kemendagri soal kewenangan pengawasan daerah. Karena diduga banyak kecurangan penerimaan murid baru dengan menggunakan perpindahan domisili,” jelas mantan Wakil Gubernur Jawa Barat ini.

Satgas PPDB yang akan dibuat Kemendikbudristek merupakan salah satu rekomendasi Komisi X DPR menyusul karut-marut PPDB. Selain melibatkan kementerian/lembaga terkait, Satgas PPDB yang dibuat Kemendikbudristek juga harus berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan (Disdik) dan Ombudsman wilayah setempat yang di daerahnya terdapat masalah. Ombudsman perlu dilibatkan karena banyak pejabat daerah yang turut memanfaatkan proses PPDB demi kepentingan pribadi, dengan melakukan sejumlah pelanggaran.

dengan Ombudsman terutama di daerah-daerah untuk melakukan fungsi pemantauan dan pengecekan atas penyimpangan-penyimpangan. Termasuk memberikan sanksi kepada pejabat-pejabat berwenang yang mana justru banyak menjadikan PPDB ini semakin lebih bermasalah, seperti minta uang, titipan dan sebagainya,” papar Dede.

Selain jalur zonasi, manipulasi juga banyak terjadi dalam sistem PPDB jalur prestasi. Sebab, kriteria jalur prestasi tidak jelas. Sering kali seleksi dengan cara ini dijadikan celah banyaknya titipan untuk dimasukkan ke sekolah yang dituju hingga tekanan kepada pihak sekolah. Oleh karena itu, rekomendasi lain dari Komisi X DPR kepada Kemendikbudristek adalah terkait perbaikan sistem PPDB jalur prestasi.

“Dalam rekomendasi, Komisi X DPR juga mendesak Kemendikbudristek memperjelas mekanisme, definisi dan kriteria pada jalur prestasi. Karena kriteria yang tidak jelas banyak dijadikan kesempatan pihak-pihak tertentu untuk melakukan manipulasi,” ucap legislator dari Dapil Jawa Barat II itu.

Dalam rekomendasinya, Komisi X DPR tegas meminta Kemendikbudristek mengevaluasi total sistem PPDB. Komisi X memberi tenggat waktu kepada Kemendikbudristek untuk melaporkan hasil evaluasi selambat-lambatnya pada akhir Oktober 2023.

Apabila belum ada perbaikan, Komisi X DPR meminta Kemendikbudristek mengubah sistem PPDB zonasi. Mengingat persoalan mengenai PPDB zonasi selalu muncul di setiap tahun ajaran baru sejak sistem tersebut diberlakukan.

“Kalau setiap tahun permasalahan ini selalu terjadi, perlu ada perbaikan. Dan kami beri waktu sampai Oktober ini, jika masih belum ketemu solusi, maka ubah sistemnya,” tegas Dede.

Politisi Partai Demokrat ini memahami, sistem zonasi pada PPDB bertujuan baik demi pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya, sistem zonasi justru menimbulkan persoalan baru karena tidak dibarengi dengan pembangunan sekolah-sekolah negeri sesuai kebutuhan dan lokasi.

“Yang ada justru siswa-siswa terlalu memilih ke satu dua sekolah saja, sementara yang sekolah lain jadi sepi peminat. Seharusnya ini dipetakan. Termasuk juga kebutuhan guru yang kalau kita tarik ke belakang lagi masih menjadi PR besar dunia pendidikan kita,” ungkapnya.

Apalagi berdasarkan data Kemendikbudristek, permasalahan yang paling banyak dilaporkan dari Disdik yakni terkait jumlah daya tampung atau kuota siswa.

Artinya, di sejumlah daerah memang ada ketimpangan antara jumlah sekolah dengan jumlah siswa yang mendaftar. “Belum lagi kalau kita berbicara soal dampak sistem agar sekolah mendahulukan siswa dengan batas usia tertentu,” lanjut Dede.

Menurut Dede, hal tersebut sebenarnya bertujuan baik agar anak-anak tidak putus sekolah, terutama untuk siswa yang usianya sudah melewati batas maksimal pendaftaran. Hanya saja, peraturan ini justru membuat anak-anak menunda sekolah setahun sampai dua tahun demi masuk ke sekolah yang diinginkan.

“Untuk menyiasati itu kan sebenarnya kita sudah ada PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Mengajar) dan disamakan nilainya dulu. Jadi jangan memaksakan juga siswa-siswa yang sudah tua, yang sudah 18 tahun, 17 tahun dimasukkan ke SMK yang usianya rata-ratanya baru 16 tahun,” urai Dede.

“Dan pasti ada dampak psikologis sosialnya karena siswa yang lebih tua cenderung mendominasi siswa dengan usia di bawahnya,” sambung dia.

Dede mengusulkan, penerimaan siswa baru dikembalikan seperti sistem pendaftaran sekolah terdahulu, yakni seleksi berdasarkan nilai hasil ujian akhir sekolah seperti saat masih ada NEM (Nilai EBTANAS Murni). Namun sistem seperti ini diseleraskan dengan kebutuhan di masing-masing daerah.

“Maka kita akan minta segera membuat sistem baru yang lebih mengedepankan azas dan hak ke testing (ujian). Misalnya bisa kembali kepada sistem NEM, namun testing-nya itu hanya buat pendaftar-pendaftar yang non-zonasi,” sebut Dede.

“Jadi sistem zonasi-nya masih tetap ada, ya zonasi bisa berkurang lah menjadi 20 persen, lalu ada sistem prestasi, itu non-akademik,” imbuhnya.

Selain pengembalian sistem, Dede juga meminta Pemerintah mempertimbangkan mengambil alih tanggung jawab terhadap siswa-siswa yang tidak diterima di sekolah negeri. Seperti dengan memberi bantuan dana atau subsidi untuk siswa yang akhirnya terpaksa bersekolah di sekolah swasta, khususnya bagi anak dari keluarga kurang mampu.

“Karena banyak sekali keluarga yang terjebak pada masalah biaya pendidikan setelah anaknya tidak diterima di sekolah negeri. Jadi boleh bersekolah di swasta tapi dibiayai oleh negara, itu opsi yang lebih kuat lagi, tetapi nanti ujung-ujungnya adalah kemampuan anggaran negara harus siap,” tutur Dede.

Melihat kompleksnya persoalan penerimaan siswa baru, Komisi X DPR tengah mempertimbangkan membentuk Panitia Kerja (Panja) PPDB. Selain untuk mencari solusi terkait sistem penerimaan siswa baru, menurut Dede, Panja PPDB juga bisa bekerja menangani banyaknya temuan pelanggaran yang dilakukan oknum-oknum tertentu.

“Sekarang, tugas Pemerintah merespons apabila temuan Ombudsman merujuk adanya pelanggaran administratif oleh guru dan pejabat-pejabat terkait. Kita pantau, kalau perlu sehabis reses bikin Panja PPDB,” ujarnya.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Pelajar Islam Indonesia (PII) Banten, Ihsanudin mengatakan, tak sepantasnya seorang Kepala Dinas menyatakan statement seperti itu. Menurutnya, pernyataan tersebut terkesan egois dan arogan.

“Ini memang mengecewakan, Kepala Dinas Pendidikan itu kan yang bertanggung jawab langsung dalam permasalahan ini, kenapa malah seolah masa bodo dengan keluhan masyarakat,” kata Ihsan saat dihubungi BANPOS melalui panggilan telepon.

Ihsan menjelaskan, sebagai Pelayan Masyarakat, Kepala Dinas Pendidikan seharusnya tidak puas hanya dengan ‘perasaan’ pribadi bahwa kinerjanya telah maksimal.

“Sampai saat ini, belum ada bukti konkret beliau dalam menangani keluhan-keluhan yang selama ini disampaikan oleh berbagai pihak,” jelas Ihsan.

Ia menerangkan, jika memang tidak lagi memperdulikan keluhan masyarakat. Maka, alangkah eloknya Kepala Dinas tersebut mengundurkan diri agar dapat digantikan oleh yang lebih siap mengabdi kepada masyarakat.

“Mundur saja sekalian, kebanyakan seremonial dan beralasan. Ini menyangkut masa depan bangsa,” tandasnya.
(MG-01/RMID/PBN)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *