JAWA TENGAH, BANPOS – Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) memastikan produk elisitor biosaka yang kini tengah tren di kalangan petani merupakan inovasi yang lahir dari kearifan lokal para petani.
Karena itu, dia memastikan produk biosaka ini tidak bisa diperjualbelikan. Tidak bisa juga diproduksi massal secara industri. Ini dia alasannya.
Syahrul membeberkan alasan mengapa biosaka ini tidak bisa diperjualbelikan atau dibuat secara industri saat memimpin bimbingan teknis (bimtek) pembuatan biosaka, yang merupakan salah satu rangkaian kegiatan panen raya dan tanam padi di Kelurahan Tambangan, Kecamatan Mijen, Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng), Kamis (27/7).
Syahrul mengatakan, biosaka ini berasal dari kata bio yang berarti tanaman, dan saka yang berarti alam. “Jadi biosaka ini adalah kembal ke alam. Ini tidak boleh dibeli. Harus dibuat sendiri,” jelas Syahrul membuka bimtek biosaka yang juga disiarkan secara live streaming di media sosial.
Syahrul menegaskan, biosaka ini sudah diuji dan diaplikasikan oleh banyak petani. Dan hasilnya, klaim Syahrul, mantap. Apakah ini bersifat pupuk, atau elisitor, atau booster, Syahrul mempersilahkan masyarakat memberi nama sendiri. Tapi yang jelas, larutan biosaka ini bisa disimpan 2 sampai 5 tahun.
“Apa ini sebenarnya, ini namanya kearifan lokal atau indigenous knowledge. Dan nenek-nenek moyang kita dulu pakai ini,” ungkap Guru Besar Kehormatan Hukum Universitas Hasanuddin ini.
Syahrul menegaskan, kearifan lokal seperti biosaka ini sebenarnya sudah ada sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Dia lalu menjelaskan proses pembuatan biosaka ini.
Biosaka ini, ungkapnya, menggunakan bahan utama dari daun dan rerumputan minimal lima jenis tumbuhan. Bahan-bahan ini kemudian dimasukkan ke dalam air kemudian diaduk ke kiri lalu diremas selama kurang lebih 15 menit.
Adapun daun dan rumput yang diambil haruslah dari tanaman yang ada di sekitar. Tidak boleh dari luar.
“Jadi tidak boleh dibawa ke Makassar bapak atau bawa ke Yogya, tidak bisa. Kalau Semarang, ya Semarang,” ungkapnya.
Menurut Syahrul, jika bahan yang diambil berasal dari daerah lain, maka kemungkinan besar tidak akan memberi dampak bagi tanaman. Daun atau rumput yang diambil pun adalah yang hijau, memiliki bentuk yang bagus dan segar, serta pastinya tidak memiliki kuman.
“Kemudian tidak boleh itu kalau satu kali remas itu, dua orang bergantian. Tidak boleh. Satu kali masuk tangannya (aduk dan remas) 15 menit baru keluar. Hasilnya ini,” ujarnya sembari mengangkat botol biosaka yang sudah jadi.
Terhadap warna yang diperoleh, lanjutnya, tergantung zat yang dimiliki daun dan rumput itu sendiri. Sehingga biosaka yang dihasilkan, bisa saja merah, kuning, hijau, atau warna lainnya. Dan yang jelas, biosaka ini tidak bisa diperjualbelikan.
“Kemudian Boleh nggak diindustrikan, kita buat banyak-banyak, baru jual? Nggak bisa,” tegasnya.
Kenapa tidak bisa dibuat massal secara industri atau menggunakan mesin untuk diperbanyak, sebab, dalam proses pembuatan biosaka ini, aspek yang paling penting adalah proses remas dan aduk itu. Sebab, ketika proses remas dan aduk ini dilakukan, di dalamnya melibatkan enzim dari tangan.
“Tangan ini enzimnya luar biasa bapak. Rupanya, ada air-air keringat yang diluar sini (telapak dan permukaan tangan) mengandung enzim yang luar biasa. Bersama tumbuhan itu bercampur. Cara remasnya pun tidak sampai dihancurkan. Diremas-remas sekuatnya, sebisa-bisanya, dan diputar ke kiri. Dan diusahakan 10-15 menit. Diputar (diaduk) saja ke kiri tapi jangan bergantian,” tuturnya.
Hasil remasan yang diaduk bersama air selama 10 sampai 15 menit ini, kemudian dimasukkan ke botol penyimpanan. Adapun dosis untuk sekali penyemprotan menggunakan hand sprayer, yakni, 8 kali tuang tutup botol, dilarutkan dalam 15 hingga 20 liter air.
“Kemudian cara semprotnya itu ke langit, bukan ke tanah. Jadi yang turun itu embunnya. Ini (satu botol ukuran 500 mili liter) bisa dipakai intervensinya 7 sampai 8 kali. Satu musim sampai panen,” tuturnya.
Satu botol biosaka ukuran 500 mililiter, sambungnya, bisa digunakan untuk menyemprot satu hektare tanaman. Hasilnya pun, sangat terasa.
Menurut Syahrul, perbedaan antara tanaman yang diberi biosaka dengan yang tidak, rata-rata bedanya 1 hingga 3 ton. Misal, kalau yang tidak menggunakan biosaka 5 ton per hektare, maka yang menggunakan biosaka itu bisa menjadi 7 ton per hektare.
Dan yang lebih penting, bisa menyuburkan tanah dan sangat signifikan dalam mengurangi penggunaan pupuk kimia (pukim). “Terakhir penjelasan saya di beberapa daerah, penggunaan pupuk kimia apalagi pupuk subsidi itu, dia turun sampai 50 persen (tahun pertama, red),” sebutnya.
Begitu masuk tahun ke dua, lanjutnya, penggunaan pupuk kimia tinggal 40 persen dan biosaka 60 persen biosaka, Bahkan ada daerah yang mampu menekan penggunaan pupuk kimianya tinggal 20 persen dengan penggunaan biosaka ini.
“Jadi penurunan itu luar penggunaan satu hektare untuk pupuk kimia itu sekitar 12 sampai 22 sak, terlalu banyak.
Nah dengan biosaka ini, cukup 6 sak. Jadi kalau biasa cost-nya 6 juta, kita pakai tinggal 3 juta. Selebihnya biosaka. Dan ini (biosaka) tidak dibeli,” ungkap Syahrul.
Dia pun berharap, semua pihak bisa menyebarkan dan mengedukasi masyarakat terkait biosaka ini. “Saya berharap ini bisa diajarkan lebih kuat sehingga betul-betul menyebar ke kalangan petani,” pungkasnya.
Dirjen Tanaman Pangan Kementan Suwandi menambahkan, sejatinya bimtek biosaka langsung oleh menteri pertanian ini sudah dilakukan di 17 provinsi. Dia pun berharap, dengan manfaat yang luar biasa ini, pengaplikasian biosaka ini bisa menyebar ke seluruh Jateng.
“Biosaka ini sangat irit tapi hasilnya luar biasa. Dan ini biosaka sudah ada bukunya, sudah ada SOP-nya, ada hasil-hasil penelitian, lab-lab (laboratorium, red), contoh praktek dan testimoni dari para petani. Tapi baca saja tidak cukup. Harus dipraktekkan sendiri,” jelas Suwandi. (RMID)
Tinggalkan Balasan