Al: Ini Bentuk Kehati-hatian

BANTEN, BANPOS – RENDAHNYA serapan anggaran hingga tengah tahun 2023 ini, disebut merupakan bentuk kehati-hatian dari Pemprov Banten, guna mencegah terjadinya tindakan yang keluar dari koridor hukum dan kehabisan anggaran. Di sisi lain, masih rendahnya serapan anggaran juga lantaran beberapa kegiatan merupakan kegiatan pembangunan fisik, yang dapat terserap apabila sudah selesai kegiatannya.

Hal tersebut disampaikan langsung oleh Penjabat Gubernur Banten, Al Muktabar, saat diwawancara BANPOS. Al menepis isu bahwa mandeknya beberapa kegiatan pembangunan di Provinsi Banten, merupakan ulah dari dirinya. Bahkan, Al menegaskan bahwa tahun 2023 ini merupakan tahun yang murni menjadi tanggungjawabnya.

Pria yang merupakan Sekda definitif Provinsi Banten ini mengatakan, sejumlah kegiatan yang dilakukan oleh Pemprov Banten di awal tahun 2023, agak terlambat lantaran menunggu hasil audit dari BPK Provinsi Banten. Sebab, beberapa kegiatan di awal tahun itu akan menggunakan anggaran SiLPA tahun 2022.

“Karena kan SiLPA itu merupakan fresh money ready kita kan. Karena semua anggaran kita itu kan sebenarnya perencanaan, harus sembari kami mencari gitu. Jadi agar tidak tekor kas daerah, kami mengatur ritme pembiayaan,” ujarnya.

Menurutnya, hal itu lah yang pada akhirnya membuat Pemprov Banten melalui Pj Sekda pada saat itu, Moch Tranggono, mengeluarkan Surat Edaran (SE) yang pada intinya menahan sejumlah pembiayaan kegiatan. Namun, Al menegaskan bahwa hal tersebut bukan berarti menghapuskan secara mutlak kegiatan-kegiatan tersebut.

“Jadi bukan meng-cut secara an sich sebuah program berjalan atau tidak berjalan. Tapi dalam rangka menyeimbangkan cash flow pendapatan dan pembiayaan. Lalu dalam perkembangannya kan nggak ada yang kita cut programnya,” ungkap dia.

Terkait dengan SE yang dikeluarkan oleh Pj Sekda pada saat itu, Al menuturkan bahwa tanpa dilakukan pembatalan, dengan sendirinya akan batal. Sebab, tidak ada yang melaksanakan SE tersebut, sehingga bisa dikatakan tidak ada.

“Kan tidak dioperasionalkan. Prinsipnya bahwa agenda itu yang penting tidak menghambat pembangunan, dan peruntukkan yang disusun dulu untuk mengantisipasi cash flow. Karena pendapatan belum progresif, jadi hanya ada SiLPA. Jadi pembatalannya bukan soal lisan atau tidak, karena tidak dilaksanakan maka dengan sendirinya tidak ada,” tegasnya.

Ia menuturkan, saat ini sejumlah program berjalan sebagai biasa. Hanya saja memang, ada sejumlah reviu yang tengah dilakukan terhadap sejumlah program yang akan dilaksanakan, dan mungkin akan dilaksanakan pergeseran dan masuk pada anggaran perubahan.

“Jadi enggak ada itu yang cut, konsolidasi yang mengatakan ini tidak boleh itu tidak boleh. Jadi dia lebih kepada pengaturan cash flow pendapatan dan pembiayaan,” terangnya.

Menurutnya, hal tersebut wajar terjadi, lantaran tahun lalu Indonesia, khususnya Banten, masih dilanda pandemi Covid-19. Sehingga, terdapat kekhawatiran anjloknya pendapatan daerah karena masih lemahnya kondisi ekonomi.

“Sehingga kita mengantisipasi dalam rangka keberhati-hatian kita. Karena kalau gagal bayar, itu bisa bahaya. Bisa dituntut kita, karena sudah proses kontrak dan segala macam. Kalau mereka menggugat wanprestasi, kan repot. Jadi itu lebih pada langkah kehati-hatian,” katanya.

Di sisi lain, Al Muktabar juga mengaku jika dirinya kerap melakukan komunikasi non-formal dengan para anggota DPRD Provinsi Banten, terkait dengan kondisi pembangunan. Menurutnya, dia berhasil melakukan komunikasi yang baik mengenai hal tersebut dengan para anggota DPRD.

Al Muktabar mengatakan, secara teori, idealnya terdapat rentang jarak antara pembiayaan dan pendapatan sebesar lima hingga delapan persen dalam pengelolaan kas daerah. Hal tersebut agar terdapat dana cadangan apabila terjadi hal-hal di luar perencanaan.

“Kita kan tidak tahu apabila tiba-tiba ada kecelakaan, bencana, masa kita harus mengutang. Jadi saya jaga betul kas itu. Kalau saya sih merasa itu sudah sangat tipis antara lima sampai delapan persen. Biasanya kan di atas 10 persen. Tapi tidak apa-apa lah, untuk menjaga penyelenggaraan pemerintah daerah. Tidak ada maksud apa-apa,” tuturnya.

Mengenai rendahnya serapan anggaran pada sejumlah OPD, termasuk PUPR, lantaran fokus kegiatannya adalah pembangunan fisik. Sehingga, serapan akan terjadi apabila proyek pembangunannya sudah selesai dilakukan oleh kontraktor.

Sementara terkait dengan Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP), Al mengaku bahwa terdapat beberapa hal administratif yang harus diperbaiki, sehingga kegiatan masih belum dapat dieksekusi. Hal tersebut agar tidak menabrak aturan hukum yang berlaku, dalam melaksanakan kegiatan.

“Di Perkim itu ada agenda yang kita melakukan pendampingan dengan kejaksaan, sehingga ada beberapa yang harus diperbaiki struktur administrasinya. Jadi nanti akan masuk ke skema perubahan. Tidak masalah, nanti kan masih ada waktu untuk pelaksanaannya,” terang Al.

Ia pun membantah isu bahwa dirinya memberikan perintah untuk tidak melaksanakan pembangunan, meskipun OPD sudah siap untuk melaksanakan kegiatan pembangunan. Sebab, apabila secara administrasi pelaksanaan kegiatan itu sudah tertib, maka pembangunan dapat segera dilaksanakan.

“Kan yang dilalui tadi masih ada skema yang tidak bisa diupayakan administrasinya, kalau belum dilakukan perubahan. Jadi bukan soal setop atau lanjut. Misalkan di Perkim ada kegiatan dengan nilai X. Nah di dalam nilai itu kan ada komponen-komponen yang harus diperbaiki secara administratif. Yang sudah sesuai mah jalan, tidak ada masalah,” ujarnya.

Al mengaku, hal tersebut dia ketahui lantaran dirinya selalu melakukan reviu terhadap dokumen pembangunan yang akan dilaksanakan oleh OPD. Dia melakukan satu per satu, agar tidak ada kesalahan fatal yang dapat berakibat hukum.

“Program itu mulai dari perencanaan, proses pelaksanaan, dan pertanggungjawabannya nanti itu harus benar-benar inheren. Kalau ada yang memungkinkan ada kemungkinan mens rea di awal, itu yang harus diperbaiki. Kalau ternyata proses perbaikannya itu tidak bisa dilakukan karena ada di batang tubuh anggaran, maka bisa dilakukan perencanaan ulang melalui mekanisme APBD perubahan. Saya reviu satu-satu. Kita harus berhati-hati, harus berikhtiar agar pemerintahan ini bersih,” jelasnya.

Hal tersebut dilakukan menurut Al, lantaran pelaksanaan pembangunan tahun 2023 ini, murni merupakan tanggung jawab dirinya. Sebab, dari proses perencanaan pada tahun 2022 hingga pelaksanaan pada tahun 2023, merupakan hasil pekerjaannya.

“Pada tahun 2022 kan 2021 penganggarannya, saya lagi diberhentikan. Maka saya bertanggung jawab penuh pada tahun ini,” tegasnya.

Mengenai tudingan dari DPRD Provinsi Banten bahwa dirinya tidak disiplin anggaran, menurutnya hal tersebut sah-sah saja disampaikan oleh pihak DPRD. Pasalnya, DPRD memang memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan. Termasuk ancaman bahwa DPRD akan melakukan tindakan tegas kepadanya, atas sejumlah permasalahan itu.

“Jadi apa yang disampaikan beliau kepada saya, itu memang koridornya. Kan kita diskusi, dialog, biasa itu. Dan saya tidak anti kritik, kalau ada salah ya saya siap perbaiki. Apalagi Pemerintahan Daerah itu kan DPRD dan Pemprov Banten. Jadi kita saling koreksi tidak apa-apa, akan saya perbaiki dan konsultasi. Saya tidak pernah membela diri, karena saya bisa menjelaskan,” katanya. (DZH/ENK)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *