SERANG, BANPOS – Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten memberikan jawaban atas tudingan terhadap pelaksanaan proyek breakwater atau pemecah ombak di Pelabuhan Perikanan Cituis, Kabupaten Tangerang yang dinilai banyak kejanggalan oleh sejumlah pihak.
Pihak DKP Provinsi Banten dituding tidak melakukan upaya apapun pada saat proyek tersebut mengalami keterlambatan hingga dua bulan lamanya.
Menghadapi adanya tudingan semacam itu, DKP Provinsi Banten melalui Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pelaksanaan proyek tersebut Muhammad Aziz memberikan tanggapannya.
Ia menjelaskan, penyebab dari tersendatnya pelaksanaan proyek tersebut karena disebabkan adanya penolakan dari masyarakat setempat.
Padahal secara administrasi, semuanya telah dipenuhi oleh pihaknya. Hanya saja pada saat sosialisasi kepada masyarakat terkait rencana pelaksanaan proyek tersebut menuai penolakan jika harus dilaksanakan lewat darat.
“Pada saat sosialisasi itulah kita baru tahu bahwa pekerjaan breakwater itu ditolak oleh masyarakat kalau lewat darat,” katanya kepada BANPOS saat dihubungi BANPOS.
Alasan penolakan itu disebabkan karena masyarakat menilai, pelaksanaan proyek tersebut dapat menyebabkan kerusakan bagi sejumlah fasilitas dan rumah-rumah warga, karena adanya aktivitas hilir mudik kendaraan berat pengangkut bahan material proyek.
Dan jika tetap memaksakan pelaksanaan proyek tersebut lewat jalur darat, pihak Kepala Desa mengancam akan menutup pelaksanaan proyek tersebut dan menuntut ganti rugi akibat kerusakan yang ditimbulkan.
“Kalau bapak-bapak memaksa lewat darat, kejadian rumah warga itu retak, kantor saya retak selain saya akan tutup selamanya tidak boleh darat, harus melakukan ganti rugi untuk rumah rumah warga kami,” kata Aziz saat menirukan pernyataan Kepala Desa Bahari bernama Kulyubi.
Menuai penolakan dari masyarakat, lantas kemudian Aziz pun berkonsultasi dengan Kepala Desa Bahari terkait adanya opsi lain dalam pelaksanaan tersebut.
Melihat dampak yang ditimbulkan, maka pihak Kepala Desa pun menyarankan Aziz untuk melaksanakan proyek tersebut lewat jalur laut dengan menggunakan bantuan kapal tongkang untuk mengangkut bahan materialnya.
“Karena itulah kata pak Kulyubi sebaiknya pelaksanaan ini harus lewat laut,” imbuhnya.
Oleh sebab itulah kemudian, akibat dari adanya dinamika seperti itu di lapangan, maka DKP Provinsi Banten pun melakukan tindakan ‘Contract Change Order’ atau CCO.
“Karena surat pernyataan itulah yang akhirnya kita boleh melakukan CCO (Contract Change Order). Jadi kami merubah dari metodologi pengerjaan jalan darat menjadi jalur laut,” tuturnya.
Karena ada perubahan tersebut, alih-alih berjalan lancar, ia menjelaskan pihak pelaksana menuai kendala lain, yakni dalam pengadaan kapal ponton.
Sebab selama ini pihak pelaksana proyek belum berpengalaman dalam pengadaan sewa-menyewa kapal tongkang.
“Yang paling prinsip vendor-vendor kami itu keberatan bawa batu kali karena tongkang mereka bisa rusak,” imbuhnya.
Setelah beberapa waktu lamanya, akhirnya masalah kapal tongkang berhasil diatasi. Namun masalah itu belum cukup, Aziz menjelaskan pihaknya menghadapi masalah lain yang dirasa jauh lebih berat. Masalah itu adalah pada saat proses pelaksanaan berlangsung.
Ia menuturkan karena kedalaman dasar laut yang cukup dalam dan kemudian ditambah dengan adanya arus bawah laut yang deras, hal itu mengakibatkan material yang ditempatkan sulit untuk dikondisikan. Namun ia mengaku saat ini masalah tersebut telah berhasil teratasi.
Sementara itu di sisi lain, ia juga menanggapi perihal upaya penindakan tegas pihak DKP Provinsi Banten kepada pihak pelaksana, Aziz mengatakan jika DKP telah melakukan Show Cause Meeting (SCM) dengan mengirimkan surat peringatan pertama dan kedua.
Dan kemudian ia kembali menegaskan, berdasarkan hasil diskusi dengan internal timnya, bila hingga hari Jumat, 15 September 2023 tidak dilakukan pelaksanaan proyek tersebut maka DKP Provinsi Banten akan melakukan putus kontrak sebagai tindakan tegasnya.
“Kalau hari Jumat ini tidak juga datang, kalau tidak ada reaksi di lapangan, tidak ada aktivitas di lapangan maka kami akan mengeluarkan SCM ketiga, berarti putus kontrak,” tegasnya.
Sebelumnya diberitakan, pengerjaan pembangunan breakwater (pemecah ombak) pada Pelabuhan Perikanan Cituis Kabupaten Tangerang dinilai banyak kejanggalan oleh Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Transformer, TB. Irfan Taufan,
Menurutnya, meski pekerjaan tersebut sempat tertunda hingga dua bulan, namun pihak DKP Banten tidak melakukan tindakan apapun.
Ditambahkannya, metode pengerjaan yang dilakukan pelaksana Cituis, juga dinilai sangat mengganggu nelayan. Sebab, kata dia, akibat proses dumping material yang dimulai dari tengah laut, menyebabkan guncangan air yang cukup besar, sehingga menyebabkan perahu-perahu nelayan yang ada disekitar menjadi oleng.
“Bagaimana tidak, batu dengan ukuran 200 hingga 300 kilogram dicemplungkan begitu saja ke laut, tentunya akan mengakibatkan air naik mendadak. Kalau menurut warga, seperti tsunami kecil,” ucapnya.
Metode pengerjaan ini, lanjut Irfan, juga patut dipertanyakan efektivitasnya. Sebab, kata dia, batu yang dijatuhkan langsung dari kapal tongkang seperti itu, posisinya rentan bergeser, akibat terseret arus laut.
“Sudah merusak lingkungan, metode ini juga mengakibatkan struktur breakwater jadi tidak padat,” tandasnya.(CR-02/PBN)
Tinggalkan Balasan