AMERIKA SERIKAT, BANPOS – Lebih dari 20 tahun setelah serangan 11 September 2001, diskriminasi dan kebencian terhadap Muslim di Amerika Serikat masih terjadi. Kondisi ini membuat kelompok advokasi hak-hak sipil Muslim terbesar di Amerika Serikat (AS) geram.
Ketua Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR-CA) cabang California, Hussam Ayloush, mengatakan kepada kantor berita Turki, Anadolu, hampir 1 juta dari sekitar 5 juta Muslim di AS, tinggal di negara bagian California menunjukkan, pelecehan dan prasangka terhadap komunitas Muslim masih sering terjadi, 20 tahun setelah peristiwa 9/11.
Menurutnya, lebih dari 50 persen siswa Muslim di California menghadapi beberapa bentuk intimidasi verbal dan fisik di sekolah umum, hanya karena menjadi Muslim. Selain itu, masih ada daftar pantauan Pemerintah terhadap hampir 1,6 juta orang, yang hampir semuanya Muslim, yang namanya ada dalam daftar pantauan perjalanan, atau memiliki nama yang terdengar seperti nama Muslim.
Masih kata Ayloush, orang Islam juga dilecehkan di bandara, Biro Investigasi Federal (FBI) melakukan penggeledahan serta menempatkan informan di masjid-masjid untuk melacak Muslim dari negara lain seperti Suriah, Libya dan Sudan.
“Jenis-jenis pelanggaran yang dilakukan Pemerintah telah berkontribusi membuat Islamofobia berkembang,” tegasnya.
Menurut statistik FBI, kejahatan kebencian terhadap Muslim meroket setelah serangan 9/11, meningkat 1.617 persen dari tahun 2000. Lonjakan tajam tersebut menandai angka tertinggi kejahatan kebencian terhadap komunitas Muslim dalam sejarah AS.
“Pemerintah AS di bawah pemerintahan George W Bush melancarkan kampanye dan peristiwa 9/11 menjadi dalih yang tepat untuk menjadikan Muslim sebagai musuh,” jelas Ayloush.
Ia menambahkan, setiap stereotip tentang komunitas Muslim digunakan untuk melecehkan, menganiaya, dan menahan siapa pun yang sesuai dengan stereotip tersebut.
“Cara kami makan, cara kami berpakaian, cara kami berbicara menjadi hal yang dicurigai,” katanya, tentang diskriminasi yang dihadapi umat Islam setelah peristiwa 9/11.
Lebih lanjut, kata Ayloush, jika mereka menyewa truk untuk memindahkan perabotan mereka, FBI akan memanggil mereka. Jika seorang Muslim terlalu sering bepergian ke luar negeri atau menarik banyak uang tunai untuk bisnis mereka, FBI akan memanggil untuk menyelidikinya.
Terpisah, Sosiolog dari Marquette University, Milwaukee, Wisconsin, Louise Cainkar, yang mengkhususkan diri dalam Studi Arab dan Muslim Amerika menyebut, Islamofobia sudah kuat sebelum peristiwa 9/11. Dan tragedi WTC, menurutnya, telah memperburuk keadaan.
“Reaksi keras terhadap semua orang yang dianggap Muslim membuktikan hal itu,” katanya.
Menurut Cainkar, penelitian telah menunjukkan bahwa peningkatan tidak hanya di kehidupan sehari-hari, namun juga pada saat menjelang pemilihan umum. “Jadi saya memperkirakan warga Muslim kembali menjadi target retorika kampanye tahun ini,” paparnya, merujuk pada mantan Presiden AS Donald Trump, yang saat ini berkampanye untuk pencalonan presiden dari Partai Republik.
Di era pemerintahannya, Trump memang mencetuskan kebijakan pembatasan masuk pelancong dari lima negara berpenduduk mayoritas Muslim, yaitu; Suriah, Iran, Yaman, Libya, Somalia. Namun Cainikar menambahkan, langkah-langkah penting telah diambil selama lebih dari 20 tahun terakhir untuk menciptakan pemahaman yang lebih baik tentang komunitas Muslim AS.
“Umat Muslim telah membangun organisasi dan melakukan pekerjaan yang baik dalam membangun solidaritas,” terangnya.
Organisasi-organisasi tersebut terdiri dari berbagai kelompok agama, organisasi BIPOC (Black, Indigenous and People of Color), dan kelompok-kelompok masyarakat.
“Jadi menurut saya, umat Islam telah berada di garis depan dalam menghasilkan perubahan ini,” imbuhnya.
Biden Peringati 9/11
Sementara dalam pesan 9/11, Presiden AS Joe Biden meminta warganya jangan mau dihasut dan tidak menyerah pada politik perbedaan yang memecah belah persatuan.
“Seharusnya tidak perlu ada tragedi nasional untuk mengingatkan kita akan kekuatan persatuan. Namun itulah cara kita benar-benar menghormati mereka yang gugur pada 11 September,” ujar Biden, di hadapan sekitar 1.000 personel militer AS di Pangkalan Gabungan Elmendorf-Richardson di Anchorage, Alaska, Senin (11/9).
Dia mengecam peningkatan gelombang kebencian, ekstremisme, dan kekerasan politik di AS. Ada semakin banyak bukti bahwa AS sedang bergulat dengan peningkatan kekerasan politik terbesar dan paling berkelanjutan sejak 1970-an.
“Kita tidak boleh membiarkan diri kita terpecah belah oleh hal’hal kecil,” tegas Biden.
Joe Biden, Ibu Negara Jill Biden, Wakil Presiden Kamala Harris beserta suaminya Doug Emhoff, dan komandan militer AS berpartisipasi dalam acara terpisah untuk mengenang mereka yang tewas dalam peristiwa 9/11 dan perang di Afghanistan yang terjadi setelahnya.
Sebagaimana diketahui, pada 11 September 2001, sekelompok pembajak menguasai tiga pesawat dan menabrakkannya ke menara kembar WTC di New York dan ke kompleks Kementerian Pertahanan AS (Pentagon). Serangan tersebut menewaskan hampir 3.000 orang.
Pesawat keempat jatuh di sebuah lapangan di Pennsylvania, setelah penumpang berhasil mengalahkan para pembajak. (RMID)
Berita Ini Telah Tayang Di RMID https://rm.id/baca-berita/internasional/188194/setelah-22-tahun-peristiwa-911-islamofobia-di-as-parah
Tinggalkan Balasan