JAKARTA, BANPOS – KPK dan Polda Metro Jaya sama-sama sedang mengusut perkara korupsi di tubuh Kementerian Pertanian (Kementan). Bedanya, KPK sedang gaspol mengusut keterlibatan mantan Mentan Syahrul Yasin Limpo (SYL) dan pejabat Kementan lainnya, sedangkan Polda Metro ngegas menyelidiki dugaan pemerasan yang dilakukan onkum KPK ke pejabat Kementan.
Dalam pengungkapan kasus korupsi di Kementan, KPK disebut oleh Menko Polhukam Mahfud MD, sudah menetapkan Syahrul sebagai tersangka. Namun, sampai Sabtu (7/10), KPK belum mengumumkan satu pun tersangka.
Teranyar, lembaga antirasuah itu, baru mengeluarkan surat cekal kepada Syahrul dan beberapa anggota keluarganya, serta beberapa pejabat di Kementan. Total, ada sembilan orang yang dicekal.
Dari informasi yang diterima, sembilan orang yang dicekal itu, tiga di antaranya merupakan keluarga Syahrul, yaitu istri Syahrul, Ayun Sri Harahap, anaknya, Indira Chunda Thita yang juga Anggota DPR, serta cucunya, A Tenri Bilang Radisyah Melati.
Sementara lima lainnya adalah pejabat Kementan. Mereka adalah Sekjen Kementan Kasdi Subagyono, Direktur Alat dan Mesin Pertanian Muhammad Hatta, dan Kepala Biro Organisasi dan Kepegawaian Zulkifli. Selain itu, Direktur Pupuk dan Pestisida Tommy
Nugraha, dan Kabiro Umum dan Pengadaan Sukim Supandi.
Permintaan cekal ini adalah lanjutan dari langkah penyidik yang telah menggeledah rumah dinas dan rumah pribadi Syahrul. Dari penggeledahan itu, penyidik mengamankan uang Rp 30 miliar, 12 pucuk senjata api, catatan keuangan, serta mobil Audi A6.
Penyidik juga menggeledah rumah Sekjen Kementan Kasdi Subagyono. Kemudian, penggeledahan dilakukan di kantor Kementan, yang menyasar ruang menteri dan sekjen.
Penyidik juga menggeledah rumah Direktur Alsintan Muhammad Hatta, di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Minggu (1/10/2023). Dari sana, ditemukan uang tunai senilai Rp 400 juta dalam bentuk mata uang rupiah, dolar AS, dan dolar Singapura.
Dari pengungkapan kasus ini, muncul dugaan adanya kasus pemerasan yang dilakukan oknum KPK terhadap Syahrul. Kasus yang digarap Polda Metro Jaya ini, telah meningkat dari penyelidikan ke penyidikan.
Direktur Reskrimsus Polda Metro Jaya Kombes Ade Safri Simanjuntak mengatakan, pihaknya telah melakukan gelar perkara terkait kasus dugaan pemerasan ini, Jumat (6/10/2023). Dalam gelar perkara itu, penyidik menemukan dua alat bukti yang cukup untuk
menaikkan status penyelidikan ke tahap penyidikan.
Ade mengatakan, pihaknya telah memeriksa enam orang saksi pada tahap penyelidikan, termasuk Syahrul, serta sopir dan ajudannya. Selanjutnya, kata dia, pihaknya akan menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) untuk lakukan serangkaian tindakan penyidikan guna mencari dan mengumpulkan bukti.
Ade menerangkan, selama proses penyelidikan, timnya sudah menemukan adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh sejumlah pegawai negeri atau penyelenggara negara di KPK, yang melakukan dugaan pemerasan, atau penerimaan tanpa sah dalam penanganan hukum terkait korupsi di Kementan.
Pemerasan dan penerimaan tak sah tersebut, kata Ade, dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain. “Atau dalam hal ini, menyalahgunakan kekuasaan yang ada padanya, untuk menerima pembayaran, hadiah, atau janji, dengan cara melawan hukum,” kata Ade, di Polda Metro Jaya, Sabtu (7/10/2023).
Selanjutnya, kata Ade, tim penyidik akan terus menggali keterangan saksi-saksi dan pengumpulan bukti-bukti agar kasus tersebut dapat berlanjut ke penetapan tersangka.
“Dengan adanya bukti-bukti untuk membuat terang tindak pidana yang dilakukan, dan untuk menemukan tersangka,” paparnya.
Ade menjelaskan, kasus ini bermula dari aduan masyarakat ke Ditreskrimsus Polda Metro Jaya pada 12 Agustus 2023. Polisi sengaja merahasiakan pelapor untuk efektivitas penyelidikan.
Pada 15 Agustus, polisi mengeluarkan surat perintah pengumpulan bahan keterangan sebagai dasar pengumpulan bahan keterangan atas informasi laporan tersebut, yang dilanjutkan mengeluarkan surat perintah penyelidikan pada 21 Agustus untuk menemukan apakah ada peristiwa pidana itu.
Tiga hari berselang, dilakukan pemeriksaan saksi, termasuk pelapor, ajudan, hingga sopir, serta Syahrul. Terakhir, Syahrul kembali diperiksa untuk yang ketiga kalinya pada Kamis, (5/102023).
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo ikut menanggapi kasus dugaan pemerasan yang ditangani Polda Metro Jaya tersebut. Sigit meminta tim dari Mabes Polri turun tangan dalam kasus tersebut. Ia mengatakan, penanganan kasus itu harus cermat dan hati-hati lantaran menyangkut lembaga dan orang yang dikenal publik.
Jenderal polisi bintang empat ini mempersilakan jika ada lembaga yang ingin mengawasi penanganan kasus itu. Sehingga, prosesnya betul-betul bisa memberikan rasa keadilan.
“Apakah ini bisa diproses lanjut, apakah sebaliknya, harus dihentikan. Tentunya ini jadi pelapor dan terlapor untuk kemudian kita uji, saya kira Polri transparan dalam hal ini,” kata Sigit, di GOR Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Sleman, Sabtu (7/10/2023).
Presiden Jokowi ikut menanggapi kasus dugaan pemerasan pimpinan KPK kepada Syahrul. Mantan Wali Kota Solo itu mengaku belum mengetahui permasalahan ini. “Saya ini masih mencari informasi-informasi sebetulnya kasus ini seperti apa, tapi itu memang adalah urusan penegakan hukum,” kata Jokowi di Jakarta, Sabtu (7/10/2023).
Jokowi menegaskan, kasus ini merupakan kewenangan penegak hukum. Ia tak mau berbicara lebih jauh sebelum mendapat informasi lengkap terkait kasus ini. “Jadi ya saya menunggu informasi yang detail mengenai peristiwa itu,” ujarnya.
Lalu apa kata pengamat? Pakar Hukum Pidana dari Universitas Negeri Makassar, Prof Heri Tahir mengatakan, dalam kondisi seperti ini proses hukum bisa berjalan beriringan. KPK bisa melanjutkan proses dugaan korupsi di Kementan. Polda Metro Jaya pun sama, mengusut kasus dugaan pemerasan. Sehingga, penegakan hukum bisa berjalan dengan baik dan tidak ada yang terkesan berat sebelah.
“Harus jalan, boleh beriringan itu. KPK boleh melanjutkan pekerjaannya, begitu juga kepolisian. Selama alat bukti memenuhi, maka bisa saja keduanya dihukum sesuai pelanggaran yang mereka lakukan masing-masing,” kata Heri.
Soal sikap KPK belum mengumumkan tersangka, Hari menilai bisa saja hal ini berikatan dengan unsur kehati-hatian. Kata dia, kewenangan sepenuhnya ada di KPK. Pihak lain tak berhak mengumumkan status tersangka seseorang.
Soal dugaan pemerasan, Heri menilai, biarkan penyidik Polda bekerja. “Semua yang bersalah di mata hukum harus dihukum, siapa pun itu. Selama alat bukti cukup dan sah, tidak ada alasan tidak menghukum,” pungkasnya. (AZM/RMID)
Tinggalkan Balasan